Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 2
Seperti skrip dalam sinetron. Pria yang kemarin menyambangiku datang tanpa menunggu lama. Ia terlihat ceria dalam gulungan aspal oleh ban motornya. Aku juga tersipu melihat dari jauh.
"Loh, kok di sini? Supirmu belum jemput?" katanya meminggirkan motor matic-nya.
"Iya, mungkin sebentar lagi. Tadi udah ngabarin kok." sahutku tersenyum malu.
"Emh, eh. Kenalin namaku Trio. Aku kuliah di universitas, tepat di belakang sekolah ini. Rumahku gak jauh dari sini." secara detail ia memperkenalkan diri.
"Oh udah kuliah."
"Iya, kuliah. Mahasiswa abadi lagi. Haha, oh iya nama kamu siapa?" tawanya terdengar asik. Selama ini aku tidak pernah berinteraksi aktif dengan teman laki-laki, jika pun di sekolah. Hanya belajar, jam istirahat juga sangat sempit sehingga aku tidak punya waktu untuk berteman akrab dengan siapa pun termasuk juga laki-laki. Di tempat les pribadi juga kami fokus belajar. Untuk kenal satu sama lain saja kemungkinannya sangat kecil.
"Aku Devani,"
"Oh, iya. Aku boleh minta nomor wa kamu?" ia memberanikan diri namun dengan terbata-bata. Gawai yang ia keluarkan langsung kuambil dan mengetik beberapa angkat nomor wa agar kami terhubung. "makasih ya," sambungnya lalu mengembalikan handphone ke saku almamater yang dikenakan.
"Sebentar lagi jemputanku sampe. Kamu boleh pergi." aku memintanya untuk segera bergegas khawatir akan terpergok oleh pak Sarif nanti. Ia lantas me-ngegas motor Scoopy berwarna hitam glossy penuh dengan modifikasi.
*****
Malam harinya, seperti rutinitas biasa. Aku menyiapkan jadwal untuk besok dan tidak lupa belajar, ibu juga akan datang untuk melihat keadaanku di kamar dan membantu jika memang memiliki PR. Meski mungkin sangat lelah, ibu selalu berusaha mengisi kekosonganku, ia takut aku merasa jenuh dan kesepian tanpa teman. Wajah lelah ibu setiap malam selalu terlihat jelas, aku kerap memaksanya istirahat, aku tidak butuh ditemi saat mengerjakan PR, aku sudah besar dan mengerti pelajaran sehingga tidak perlu dibantu oleh siapa pun. Ini bukan kesombongan, aku hanya iba melihat ibu yang bekerja keras untuk menata kehidupan anaknya di masa mendatang.
[Dling] suara handphone berbunyi namun aku acuh. Aku sedang menikmati kebersamaan dengan ibu sambil melanjutkan belajar bersama.
"Udah paham, kan De. Ibu keluar ya, ibu juga ngantuk nih. Besok ada pesanan lumayan pagi." ibu berpamit sebelum pergi meninggalkan.
"Oke, good night Bu."
"Thank you, sayang." ibu segera menutup pintu sedang aku masih merapikan sebagian buku yang berantakan. Seusainya aku langsung mendatangi gawai yang tergeletak di ranjang tempatku tidur.
[Malam, ini nomorku, Trio.] bibirku tersungging. Orang yang dengan sengaja kutunggu akhirnya menghubungi.
[Belum tidur, kak?] balasku singkat.
Malam itu percakapan kami lewat pesan cukup panjang. Aku dan Trio semakin dalam membicarakan pribadi masing-masing juga keluarga. Padahal.kami.baru dua hari bertemu tapi keakraban sudah terjalin begitu cepat.
Beberapa hari ini aku sering berpapasan dengan Trio kala pulang sekolah, sepertinya ia sengaja menunggu dan menampakkan diri terhadapku, sayangnya aku tidak bisa untuk menemuinya. Selain karna jadwal yang padat, ibu juga memberi tahu pak Sarif untuk tidak membiarkan aku berinteraksi dengan orang yang tidak jelas atau siapa pun yang baru kukenal. Tapi Trio berbeda, untuk begitu dekat denganku ia tidak butuh waktu yang lama, hanya perkenalan singkat lalu meminta nomor waatsaap. Dia memiliki daya tariknya sendiri sehingga membuatku terpesona kemudian luluh.
Siang itu tiba-tiba saja Trio menelepon dan mengajak untuk sekedar keliling di mall menghabiskan sore berdua. Sontak aku tidak bisa menolak, sayangnya dalam waktu 2 jam aku harus memikirkan cara untuk meminta izin pada ibu dan membuatnya percaya. Aku juga tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mengobrol banyak dengan Trio adalah keinginanku setelah kami seling melepas pesan di hand phone.
Akhirnya dengan bantuan Lia, aku melancarkan aksiku. Beralasan akan berkunjung rumah Lia dengan membawa screen shot percakapan bersama akhirnya ibu setuju. Lia memang bukan teman dekat, tapi ia selalu mau diajak kompromi, namun begitu aku tidak memberi tahukan alasan mau ke mana dan dengan siapa aku akan pergi. Aku takut Lia kapan-kapan membocorkan rahasia.
*****
Untuk pertama kalinya, aku gadis tujuh belas tahun berkencan dengan pria dewasa menurutku. Selama perjalanan, Trio terdengar begitu menyenangkan, cara ngobrolnya sangat nyambung, tidak membosankan. Meski mungkin baginya aku hanya bocah ingusan, tapi ia mampu mengimbangiku. Dan pada waktu yang bersamaan, aku mulai nyaman dengannya.
Ayah jarang ada di rumah, sedang ibu cukup sibuk dengan bisnis rumahannya. Membuat pesanan kue yang laris manis, sedangkan aku disibukkan dengan beberapa les pribadi, pelajaran tambahan, sisanya menghabiskan waktu di kamar untuk belajar atau sekedar scroll hp. Selain itu, aku tidak sadar bahwa aku hanyalah anak yang kesepian. Aku berpikir sudah cukup dengan cinta dari keluarga, nyatanya aku masih kehausan. Kehadiran Trio seolah mengubah keseharianku.
Sejak pertemuan pertama kami, aku lebih intens menghubunginya. Terlalu banyak yang kuceritakan dan ia selalu punya waktu untuk menyimak. Sekolah, teman, bahkan keluarga. Ibu tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesah dan kisahku. Aku sangat paham ibu pasti kelelahan meski sudah menyewa tiga asisten karena dagangannya sohor sehingga setiap hari orderan selalu menumpuk. Setelahnya ibu butuh istirahat, aku tidak ingin menambah beban dengan cara menceritakan hari-hari tidak penting padanya. Trio menggantikan posisi ayah dan ibu dalam satu waktu, harusnya aku berterimakasih atas kedatanganya ke dalam kisah hidupku karena ia adalah warna yang memancarkan cahaya yang membuatku tersorot dan merasa dicintai. Aku mungkin terlalu labil dalam memilah keadaan ini, namun tidak bisa kupungkiri bahwa bertemu dengan Trio adalah kebahagiaan yang nyata kurasakan.
Setelah hari itu, aku menjadi hobby membohongi ibu hanya demi bertemu dengan orang yang katanya mencintaiku, secara tidak sadar aku terjerumus akan segala rayuan gombalnya. Aku kerap membawanya makan di luar dan belanja di mall. Semuanya aku yang membayar karena ayah memberiku kartu kredit. Aku hilang kesadaran meski sudah jelas ia hanya ingin memoroti.
Aku tidak lagi perduli jika nanti ayah menanyakan untuk apa pengeluaran uang yang cukup besar di setiap minggunya. Mungkin ayah akan menegur, marah ayah bahkan menyita kartu kredit yang diberikannya padaku jika aku tidak lolos dalam memberikan jawaban pasti. Yang ada di pikiranku sekarang, aku nyaman jika berada di dekat Trio, itu sebabnya aku mungkin akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia.
Setiap pertemuan terjadi, Trio semakin kalap menggunakan kartu kredit kepunyaanku, setengah jengkel tapi tetap kututupi atas nama cinta. Sebeuntung itukah dia atau aku yang terlalu bodoh?