Kaiya Agata_ Sosok gadis pendiam dan misterius
Rahasia yang ia simpan dalam-dalam dan menghilangnya selama tiga tahun ini membuat persahabatannya renggang.
Belum lagi ia harus menghadapi Ginran, pria yang dulu mencintainya namun sekarang berubah dingin karena salah paham. Ginran selalu menuntut penjelasan yang tidak bisa dikatakan oleh Kaiya.
Apa sebenarnya alasan dibalik menghilangnya Kaiya selama tiga tahun ini dan akankah kesalapahaman di antara mereka berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Mata Ginran masih tidak lepas dari Kaiya. Sudah kesekian kalinya gadis itu mengerutkan kening dalam tidurnya. Bahkan gadis itu berkeringat banyak. Sepertinya ia mengalami mimpi buruk. Ginran mendekat dan berlutut disampingnya, menyentuh dahi yang berkerut itu dengan ibu jarinya. Sesaat kemudian Kaiya terbangun, ia tersentak kaget melihat Ginran dan cepat-cepat menepis tangan pria itu kuat-kuat dari wajahnya. Ekspresinya berubah dingin.
"Jangan sentuh aku!" tukas Kaiya dingin, dengan cepat ia bangkit dari sofa. Ginran tertegun sebentar kemudian tertawa keras, ikut berdiri.
"Apa katamu? Jangan sentuh kamu? Jadi pria brengsek itu bisa menyentuhmu dan aku tidak?" sentak Ginran sarkas.
Amarah yang begitu besar terlihat dalam mata hitamnya. Ia mengingat kembali kejadian pada masa mereka SMA, ketika ia melihat Kaiya dan lelaki brengsek itu berdua dalam tenda dengan pakaian Kaiya yang acak-acakan.
Kaiya sendiri tersentak. Ia baru sadar kalau pria yang berdiri didepannya sekarang ini adalah Ginran. Tadi ia bermimpi orang-orang itu mau membawanya pergi, pikirannya terlalu penuh dengan penjahat-penjahat itu hingga tidak bisa melihat dengan jelas sosok Ginran. Ia terdiam, Kaiya juga tidak bisa menjelaskan pada Ginran kalau bukan lelaki itu yang ia maksud.
Kaiya menyeka peluh yang sudah membasahi dahi dan lehernya. Ia berusaha mengatur nafas dan emosinya. Beberapa detik kemudian Ginran mendekat, menyentuh dagunya, dan membuat gadis itu menatapnya.
"Kau senang setelah melakukannya dengan sih brengsek itu?" Ginran terlalu emosi.
Tangan Kaiya meremas celananya. Nafasnya tercekat. Ia tidak menjawab namun tetap membalas tatapan Ginran dengan berani, tidak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Entah kenapa saat ini egonya sangat tinggi. Sesaat kemudian ia memberanikan diri dan mulai angkat suara.
"Waktu itu kita nggak sedang berpacaran, aku nggak ada salah apa-apa sama kamu. Kamu nggak berhak menuntut permintaan maaf dariku." ucap Kaiya dingin. Detik itu juga tamparan keras melesat kuat di pipi gadis itu.
Tapi bukan Ginran yang melakukannya. Lelaki itu juga terkejut namun memilih diam. Hatinya terlalu sakit karena perkataan Kaiya tadi. Jadi selama ini hanya dirinya saja yang terlalu berharap? gadis itu tidak pernah sekalipun menganggapnya.
Sih penampar itu adalah Jiro. Pria itu, Naomi dan Darrel telah berada dalam ruangan tersebut dan mendengar perkataan dingin Kaiya pada Ginran. Keterlaluan, gadis ini benar-benar keterlaluan. Setelah membuat Ginran jatuh cinta padanya, menjalani hubungan tanpa status, dan menghilang tiga tahun tanpa kabar, sekarang? Ia dengan sombongnya menghancurkan perasaan Ginran tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Kaiya berusaha menahan rasa sakit di pipinya yang kini serasa begitu panas akibat tamparan keras itu. Ia tidak boleh menangis didepan mereka. Tidak boleh.
"Lo keterlaluan!" tukas Jiro dengan nada tinggi. Kali ini Naomi tidak menyelanya. Kaiya memang sudah keterlaluan menurutnya.
Darrel? Laki-laki itu tidak bicara apa-apa, hanya terus mengamati Kaiya yang mencibir pada mereka. Kenapa gadis itu berubah drastis begini? Apa ada yang memicunya? Darrel lebih penasaran apa alasan dibalik perubahan seorang Kaiya. Tidak mungkin gadis itu berubah sedrastis ini kalau tidak ada pemicunya. Kira-kira apa?
Ginran menatap Kaiya lekat tapi gadis itu cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain. Ginran tersenyum sinis. Hatinya terasa begitu sakit seperti di sayat-sayat. Naomi yang melihatnya merasa tidak tahan lagi. Ia merasa kasihan pada Ginran. Wanita itu lalu menatap lurus ke Kaiya
"Yaya, bisakah kamu bersikap dewasa? jelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada kami. Kamu hanya akan membuat masalah bertambah rumit kalau begini terus." kata Naomi. Ia tidak ingin persahabatan di antara mereka dan hubungan gadis itu dan Ginran tambah renggang lagi. Ia sangat ingin Kaiya berubah seperti dulu, ketika mereka semua masih dekat.
Naomi jelas tahu Ginran akan bertambah hancur kalau sampai hubungan mereka makin renggang. Pria itu hanya menunjukkan egonya yang tinggi dengan melampiaskan amarah dan emosinya di depan mereka semua. Tapi sebenarnya, ia hanya butuh Kaiya disampingnya. Terlepas dengan apa yang sudah dilakukan gadis itu, Ginran tetap tidak akan pernah tega membenci gadis yang dia cintai.
Kaiya menatap Naomi sekilas,
"Maaf Naomi, aku sungguh nggak ingin membahas masa lalu."
Dan detik itu juga sebuah kursi langsung melayang dari tempat itu. Ginran tidak tahan lagi. Sungguh semua kata-kata Kaiya membuatnya merasa semakin hancur.
"Pergi, aku tidak mau melihatmu lagi." ucapnya dengan nada rendah.
"PERGI!" Kali ini suara Ginran menggelegar di seluruh ruangan, bahkan sampai di luar. Untung letak ruangan tersebut jauh dari keramaian, tidak ada yang akan mendengarnya. Karena Kaiya tidak bergerak-bergerak juga, Jiro menarik tangan gadis itu dengan kasar dan mendorongnya keluar.
"Akan lebih baik kalau lo nggak pernah muncul lagi di depan kita semua!" katanya menatap Kaiya dingin sebelum akhirnya membanting pintu dengan kasar sampai tertutup.
Darrel lah yang merasa serba salah. Ia tidak tahu harus bagaimana jadi hanya memilih diam. Mereka kini menatap ke Ginran yang terlihat kacau.
"Lo mau kemana?" tanya Naomi melihat Ginran yang melangkah ke pintu keluar.
"Gue pengen sendiri dulu." balas pria itu lalu melanjutkan langkahnya. Naomi mendesah pelan. Ia sungguh bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ia pikir kemunculan Kaiya akan membuat hubungan mereka kembali seperti semula, tapi gadis itu malah menambah masalah. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
***
Pulang kampus, Kaiya duduk sendirian sambil merenung di danau pinggiran kota. Sesekali ia mendesah berat lalu menatap langit-langit malam yang begitu menyejukan mata. Matanya mungkin masih membengkak karena menangis lama.
Ia merasa bersalah dan tidak berdaya. Dirinya sudah melukai Ginran dan yang lain karena egonya. Mungkin akan sulit nantinya membalik keadaan. Pasti Ginran sudah sangat membencinya. Gadis itu melirik jam lalu berdiri. Sebaiknya ia pulang sekarang.
Jalanan yang dilewati gadis itu sudah sepi. Hanya ada segelintir orang yang berdiri di beberapa tempat.
Sepanjang perjalanan pulang Kaiya menyibukkan pikirannya dengan tugas-tugas apa saja yang belum dibuatnya. Sementara berpikir, tiba-tiba bunyi keras dibelakangnya membuatnya terperanjat, gadis itu berputar cepat dan membelalak. Seseorang menabrak tong sampah. Dan Kaiya mengenalnya.
"Lory?" serunya.
Lory menyengir lebar.
"Ngapain di sini?" tanyanya heran. Entah kebetulan atau gadis itu memang sengaja mengikutinya. Tapi buat apa coba Lory mengikutinya?
"Rumah gue di sekitar sini, pas mau ke indomaret tadi gue nggak sengaja liat lo, makanya gue ikutin. Lo kenapa sih ada di sini? Rumah lo deket sini juga?"
Kaiya terkekeh. Ternyata begitu ceritanya.
"Nggak, gue cuman pengen duduk-duduk depan danau doang, sambil menikmati pemandangan malam." jawab Kaiya.
"Oh." Lory manggut-manggut lalu teringat kejadian sore tadi di kampus. Bagaimana Kaiya membuat semua anggota club iri padanya.
"Eh, lo sama kak Ginran sebenarnya ada hubungan apa sih? Ceritain dong. Gue liat kak Ginran peduli banget sama lo, malah tadi pake gendong-gendong segala lagi." Cewek itu antusias sekali bertanya. Sudah tiga kali dia liat seniornya itu perhatian sekali pada Kaiya. Pokoknya perlakuannya beda kalo sama Kaiya.
"Gak ada apa-apa, lo salah liat kali." balas Kaiya. Lory menyipitkan mata. Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Kaiya pasti berbohong padanya. Jelas-jelas ia perhatikan perlakuan kak Ginran, senior mereka sangat berbeda pada gadis itu.
"Lo yakin nggak ada apa-apa? Bohong kan pasti?" selidik Lory. Ia melirik Kaiya yang terus-terus menggeleng. Lory jadi merasa lelah sendiri. Ya sudahlah, mungkin Kaiya belum siap cerita padanya. Ia tidak akan memaksa lagi. Biarkan saja gadis itu. Yang pasti ia yakin seratus persen mereka ada apa-apa.
"Baiklah, gue nggak bakal bahas kak Ginran lagi. Sekarang, bagaimana caranya lo pulang?" Lory mengganti pembicaraan. Jalanan ini sepi dan jarang sekali ada kendaraan umum yang lewat.
"Gue udah pesan taksi online."
oh iya. Lory menepuk jidatnya. Kenapa ia lupa kalau jaman sekarang ini sudah modern. Sudah ada banyak sekali kendaraan online yang memudahkan mereka melakukan perjalanan tanpa takut ketinggalan bus dan lain sebagainya.
Lory melambai-lambai ke Kaiya setelah taksi yang dinaiki gadis itu mulai berjalan meninggalkan lokasi itu.
kl kyk ginran naomi apalagi jiro, mereka kyk bukan teman, tp org lain yg hanya melihat "luar"nya saja
2. teman d LN