Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Malam itu hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Membuat orang-orang yang jatuh cinta hanyut dalam syahdunya perasaan, orang-orang yang sedang menunggu terasa ditemani dengan melodi yang merdu, ada pula orang-orang yang semakin sakit setelah menerima luka. Salah satunya adalah seorang gadis yang tengah beringsut memeluk kakinya. Kepala gadis itu tertunduk, air mata terus merembes dari kedua pelupuknya. Hidungnya memerah, gumaman-gumaman tak jelas keluar dari bibir mungilnya. Perlahan kedua tangannya bergerak menutupi telinga, berusaha keras untuk tidak mendengar apa yang dikatakan orang-orang di luar kamarnya.
Kamar yang biasanya terang kini taram temaram. Sama seperti hatinya, yang kehilangan cahaya petunjuk arah. Mengapa harus dia yang terluka? Berapa banyak duka yang harus dia emban? Apa tak cukup dia berduka, mengalah untuk segalanya?
Dia ingin pergi, menyusul kakeknya menuju alam lain. Berulang kali mencoba untuk mengakhiri hidup, tapi selalu gagal. Seakan-akan Sang Pencipta ingin menunjukan bahwa belum saatnya dia pulang, padahal dia sudah sangat lelah akan semua hal.
Hatinya mencelos ketika mendengar perdebatan di balik pintu kamarnya. Semua orang saling berteriak, memperdebatkan dirinya yang membawa sial, bahkan kedua orang tuanya lebih memilih pergi meninggalkannya keluar negeri. Mereka hanya pulang di acara-acara tertentu, mereka bohong tentang rasa sayang mereka kepada gadis itu.
"Kenapa harus dimasukkan ke panti asuhan? Ibu masih mampu mengurus Vika. Dia cucu ibu, dia juga anak mbakmu!" terdengar suara berat seorang wanita paruh baya. Kalimat terakhirnya menekankan bahwa mereka satu aliran darah.
"Ibu mau mati seperti besan ibu?! Dia pembawa sial, Bu. Kalo Ibu mengurusnya, Ibu bisa ikut sakit lalu meninggal. Bahkan orang tuannya saja tak mau mengurusnya, karena takut itu terjadi kepada mereka. Hendra juga nggak mau itu terjadi kepada Ibu." Itu adalah suara pria yang menentang seorang nenek untuk mengurus cucunya. Padahal cucu itu sudah tidak punya siapa-siap lagi. Dia lebih menyarankan untuk sang cucu diberikan kepada panti asuhan saja.
"Tutup mulut kamu, Hendra! Vika juga keponakan kamu. Anaknya Indah!" Suara wanita paruh baya itu meninggi. Kemudian terdengar helaan nafas lelah. Mungkin karena perdebatan kecil itu cukup menguras tenaganya. Apalagi di usianya yang sudah senja. "Ibu tidak memerlukan izin kamu untuk merawat cucu ibu sendiri. Kamu suka atau tidak, Ibu akan tetap merawat Vika."
"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusan mutlak Ibu. Saya menyerah membuat ibu sadar. Silahkan rawat anak pembawa sial itu, Hendra tidak akan melarang. Tapi satu hal yang perlu Ibu ingat, Hendra tidak akan sudi menganggapnya sebagai keponakan Hendra." Terdengar suara derap langkah yang kian menjauh. Dari dalam kamar juga gadis itu bisa mendengar neneknya berulang kali memanggil nama anaknya. Tapi tak ia gubris, sang anak tetap menjauh sampai terdengar bantingan pintu.
Sedangkan gadis itu sibuk berkutat dengan segala emosinya, seharusnya dirinya tidak ada di dunia ini. Eyangnya pernah berkata bahwa seharusnya dia sudah mati, dari nama yang ia emban di kelahiran sebelumnya saja sudah menjadi patokan agar dirinya tetap tenang di sisi Sang Pencipta. Dulu namanya "Khusnul Khotimah", ia dinamai seperti itu karena sudah terlanjur mati saat belum diberi nama—ironi sekali dengan sekarang, kini namanya "Vika Syafara", kemenangan yang istimewa tapi mengapa dirinya selalu kalah? Seperti sudah kewajibannya untuk mengalah, kepada adiknya, teman-temannya, waktu, cinta, dan segalanya.
Suara derit pintu yang dibuka lantas membuatnya menengadah. Lampu kamarnya kemudian menyala membuat matanya sedikit mengerjap untuk menyesuaikan dengan cahaya lampu. Dia bisa melihat wanita paruh baya yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum hangat, wanita paruh baya itu eyangnya.
"Kamu dengar semuanya, Sayang?" tanya sang eyang sambil duduk di ujung kasur. Matanya memancarkan rasa bersalah yang begitu besar ketika kepala gadis itu mengangguk. Kemudian diusapnya rambut gadis itu dengan sayang. "Jangan dengar om kamu, dia cuma kaget kalau tahu kakek kamu sudah meninggal." Gadis itu tersenyum kecut. Mau sekeras apapun eyangnya menghibur, kenyatannya tetap mengatakan bahwa kehadirannya tidak di terima di keluarga kedua orang tuanya.
Jauh di dalam lubuk hatinya, wanita setengah baya itu menyalahkan diri sendiri. Seandainya saat itu ia tak memberi tahu apa yang fisinya perlihatkan, kepada orang lain, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Mungkin dia masih bisa melihat cucu perempuannya itu tersenyum bahagia, bukan murung seperti ini, menjadi peribadi yang tertutup, dingin. Semua itu karena pandangan orang lain yang menilainya sebagai anak pembawa sial.
"Kamu mau 'kan tinggal sama Eyang?"
Seketika gadis itu menelan ludahnya susah payah. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang, dan mungkin hanya eyangnya yang mau menerimanya. Tidak ada siapa-siapa lagi, bahkan kedua orang tuanya juga lebih memilih pergi jauh-jauh darinya. Omnya juga terlihat sangat membencinya. Tapi itulah yang jadi bahan pertimbangannya. Dia sangat yakin, jika dia tinggal bersama eyangnya, maka hubungan ibu dan anak akan rusak. Tapi di sisi lain juga, dia tidak bisa hidup sendirian.
"Jagan pikirin Om Hendra. Eyang yakin, sebentar lagi juga Om Hendra bakalan nerima kamu. Dia hanya butuh sedikit waktu." Wanita paruh baya itu merapihkan surai cucunya. Tak bisa ia tampik, dia bisa melihat sosok putri kesayangannya di wajah cucunya itu. "Sekarang kamu siapkan barang-barang apa saja yang mau dibawa ke rumah Eyang."
...***...
Gadis yang saat ini tengah terpana melihat rumah di depannya ialah Vika, Vika Syafara. Seorang remaja 16 tahun yang harus menjadi sebatang kara karena kedua orang tuanya pergi keluar negeri setahun yang lalu, mereka bahkan putus kontak selama ini. Sebelumnya, dia diasuh oleh kakeknya seorang diri, kini kakeknya telah meninggal. Seperti perkataan omnya kemarin, dia merasa menjadi pembawa sial bagi semua orang yang di dekatnya. Bahkan dia nyaris membunuh adiknya, setahun yang lalu mereka kecelakaan karena Vika tak bisa menghindari pengendara mobil, saat berboncengan sepeda motor dengan adiknya yang kala itu masih kelas 6 SD. Dan kemarin sore dia harus merelakan kakeknya pergi. Meninggal karena sakit-sakitan. Orang-orang berkata seharusnya Vika yang merawat kakeknya, tapi malah pria usia senja itu yang merawatnya mati-matian.
Sebenarnya dia setengah hati untuk ikut tinggal bersama eyangnya, dia takut akan membawa sial kepada eyangnya. Tapi mau bagaimana lagi, kedua orang tuanya juga menelantarkannya, dia hanya sebatang kara. Tidak mungkin dia mencukupi kebutuhannya sendiri, sementara dia masih bersekolah. Walau orang tuanya rutin mengirimkan uang kepadanya 3 bulan sekali, itu tidaklah cukup untuk membayar SPP sekolahnya. Vika hanya bisa berdoa, agar kali ini Sang Pencipta berbaik hati. Dia tidak mau sendiri lagi seperti kemarin, hanya eyangnya yang saat ini bisa menjadi haluannya.
"Kenapa bengong begitu? Ayo, masuk!" Bu Sinta, Eyang Vika, menarik lengannya menuju pintu masuk. Dengan sedikit gelagapan, Vika melangkahkan kakinya.
Vika hanya pernah berkunjung kemari sekali, itu pun saat dia masih duduk di bangku kelas 4 SD. Selama ini dia juga jarang berkomunikasi dengan eyangnya. Vika benar-benar kagum dengan rumah di hadapannya, rumah ini benar-benar megah, halaman depan pun dihiasi dengan berbagai macam bunga. Taman halaman depan seperti dua kali lipat luas rumah orang tuanya. Desain rumah itu seperti menggunakan gaya klasik Amerika, antik tapi elegan. Tidak salah Vika memiliki nenek sekaya itu? Ia bahkan tak pernah bermimpi tinggal di rumah ini sebelumnya.
Vika sangat yakin, seluruh funiture yang ada di rumah ini pasti harganya tinggi. Setelah melewati ruang tamu yang membuatnya terkagum-kagum, Vika dibuat sakit hati ketika melihat satu sisi tembok ruang keluarga yang memajang foto keluarga berukuran besar. Meski terlihat lebih muda, tapi Vika yakin wanita yang duduk bersama seorang pria dan diapit oleh dua anak remaja itu pasti neneknya. Beliau tampak terlihat begitu bahagia di foto itu. Vika juga melihat tangan Om Hendra merangkul bahunya.
"Kamu mau kamar yang mana? Di lantai atas masih ada kamar kosong, samping kamar eyang."
Vika dibuat terkejut dengan suara eyangnya. Tanpa sadar kepalanya melirik lantai atas. Rumah yang sangat megah, dia merasa tidak pantas untuk tinggal sana. Tapi kemudian matanya melirik pintu kamar yang ada di belakang sofa. "Aku pilih kamar ini aja eyang," Vika menunjuk kamar itu.
Eyang Sinta tersenyum. Dia tahu pasti cucunya masih merasa asing dengannya, sangat wajar, mereka baru bertemu kembali setelah 6 tahun lamanya. Ingin sekali dia memarahi Bu Indah, karena sudah bertahun-tahun ini dia di luar negeri seperti lupa akan jalan pulang. "Eyang harap, kamu bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa mita tolong ke Bu Jumi, asisten rumah tangga di sini, kalau eyang nggak ada."
Vika hanya menganguk sambil tersenyum kaku. Setelah melihat eyang berjalan ke lantai atas, barulah ia memasuki kamar barunya. Seperti yang sudah ia bayangkan, kamarnya benar-benar mewah. Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Saat membukannya Eyang Sinta tersenyum sambil menyodorkan stopmap biru kepadanya. "Ini formulir pendaftaran ke sekolah baru kamu. Sekolahnya deket dari sini kok. Tapi kalau kamu butuh sopir untuk antar jemput, eyang akan—"
"Nggak perlu, Eyang" potong Vika dengan cepat, dia tahu akan kemana arah pembicaraan mereka berlangsung, "sudah terlalu banyak yang eyang kasih ke aku. Aku bisa kok naik motor kakek, atau angkutan umum."
Pandangan Eyang Sinta tiba-tiba melembut, membuat Vika dilanda cemas, ia takut salah bicara dan membuat Eyangnya tersinggung. Sungguh dia sangat segan menerima pemberian dari eyangnya, baginya ini sudah lebih dari cukup. "Kamu sangat mirip dengan Indah."
Hati Vika mencelos begitu saja ketika mendengar nama ibunya. Rindu yang menggunung selama setahun ini tiba-tiba longsor tak terkendali. Matanya sudah memanas pertanda akan menangis detik itu juga, tapi Vika berusaha menahannya sekeras mungkin. Dia tak mau menangis di depan Eyang Sinta, karena hal itu juga akan membuat beliau sedih. Vika berusaha menampilkan senyum terbaiknya. "Makasih, Eyang. Aku akan rajin belajar dan bikin eyang bangga. Kalau begitu Vika masuk dulu," pamitnya yang diangguki oleh Eyang Sinta.
Begitu selesai mengunci pintu, Vika tersungkur di pinggir tempat tidurnya dan menangis sejadi-jadinya. Tanpa ia ketahui, Eyang Sinta juga melakukan hal yang sama di balik pintu itu.
**
*
Awal yang memilukan hiks ಥ‿ಥ.... Semoga kalian suka ya sama ceritanya...