Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Keberanian
Eira tertegun di tempatnya, terperangkap oleh sosok bayangan yang kini berdiri di hadapannya dengan bentuk mengerikan. Arlen dan Finn segera bergegas mendekatinya, bersiap menghadapi ancaman yang semakin nyata.
Sosok bayangan itu menyeringai, menunjukkan taringnya yang tajam. “Kalian benar-benar berani masuk ke wilayahku. Ini akan menjadi akhir yang menyenangkan bagi kalian.”
Arlen mengangkat Relik Gelapnya, mencoba mengendalikan energinya. “Kami tidak takut padamu. Kami hanya akan menurunkanmu jika kau menghalangi kami.”
Finn ikut maju, belatinya siap di tangan. “Arlen, apa rencanamu?”
Arlen menatap sosok itu dengan tekad yang bulat. “Kita serang bersamaan. Jangan beri dia kesempatan untuk menggunakan sihirnya.”
Sosok itu tertawa, lalu menghilang dalam sekejap. Eira menoleh panik ke sekeliling. “Di mana dia? Bagaimana dia bisa menghilang begitu saja?”
Tiba-tiba, sosok itu muncul di belakang mereka, suaranya dingin dan menghantui. “Kalian tidak tahu apa-apa tentang kekuatan yang kalian hadapi.”
Finn berbalik dengan cepat, mencoba menebaskan belatinya ke arah sosok tersebut. Namun, belatinya hanya menembus bayangan yang menghilang seolah-olah itu kabut. Sosok itu muncul lagi di sisi lain, menatap mereka dengan senyuman dingin yang membuat bulu kuduk merinding.
“Kalian tidak akan bisa mengalahkanku dengan senjata manusia. Aku bukan makhluk biasa,” katanya pelan, suaranya bergetar di antara pepohonan.
Arlen menatap Relik Gelap di tangannya, menyadari bahwa itu satu-satunya harapan mereka. Namun, tanpa Pilar Cahaya, ia tak yakin bisa sepenuhnya mengendalikannya. “Eira, Finn, tetap di belakangku. Aku akan mencoba menggunakan Relik ini.”
Eira menatap Arlen dengan kekhawatiran. “Arlen, kau tahu apa yang bisa terjadi jika kita menggunakan Relik tanpa Pilar.”
“Tidak ada pilihan lain, Eira,” jawab Arlen dengan tegas, meskipun ia juga merasakan keraguan di dalam dirinya.
Arlen menarik napas dalam-dalam dan mulai mengarahkan Relik Gelap ke arah sosok itu. Energi hitam yang berputar-putar di dalam Relik mulai berkilau, menyebarkan cahaya redup yang menembus kegelapan di sekitar mereka. Sosok bayangan itu menatap Relik dengan tatapan penuh amarah.
“Kau bodoh, Arlen,” kata sosok itu. “Relik itu akan menjadi akhir bagimu.”
Namun, Arlen tetap fokus. Ia membiarkan energinya mengalir ke dalam Relik, mengeluarkan kekuatan yang semakin besar. Cahaya dari Relik semakin terang, dan sosok bayangan itu mulai mundur, terlihat terganggu oleh kekuatan yang terpancar.
Finn tersenyum penuh semangat. “Bagus, Arlen! Lanjutkan!”
Tetapi, tiba-tiba energi Relik berhenti. Cahaya itu meredup, dan Arlen merasa tubuhnya lemas. Kekuatan Relik tampak menguras energinya dengan cepat, dan ia mulai merasa pusing. “Aku… tidak bisa… menahan lebih lama,” ucapnya dengan napas terengah.
Eira meraih Arlen, menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Arlen, jangan paksakan dirimu. Kita tidak bisa kehilanganmu di sini.”
Sosok bayangan itu tampak menyeringai lagi, seolah-olah menikmati penderitaan mereka. “Aku sudah memperingatkanmu. Relik Gelap hanya akan menghisap energi hidupmu. Tanpa Pilar, kekuatanmu hanya akan sia-sia.”
Finn menggertakkan giginya, merasa frustrasi. “Kita harus melakukan sesuatu. Kita tidak bisa membiarkan Arlen sendirian.”
Tiba-tiba, Eira mendapatkan ide. “Finn, dengarkan. Kita akan mengalihkan perhatiannya sementara Arlen mengumpulkan tenaganya kembali. Jika kita bisa membuatnya lengah, mungkin kita bisa mencari celah untuk melarikan diri.”
Finn mengangguk. “Baiklah. Ayo kita coba.”
Eira dan Finn mulai bergerak ke arah berlawanan, mencoba menarik perhatian sosok itu. Finn berteriak, mengayunkan belatinya dengan gerakan-gerakan yang cepat. Sementara itu, Eira mengeluarkan sihir perlindungan, membuat kilauan cahaya kecil yang mengaburkan pandangan sosok bayangan tersebut.
Sosok itu menoleh ke arah mereka, tampak terganggu oleh usaha Eira dan Finn. “Kalian pikir bisa melarikan diri dariku begitu saja?”
Finn tersenyum penuh tantangan. “Kami akan mencoba, lihat saja nanti.”
Dengan cepat, sosok itu melesat ke arah Finn, mencoba menangkapnya. Finn berlari sekuat tenaga, membawa sosok bayangan itu menjauh dari Arlen dan Eira.
Arlen, yang mulai pulih, mengangkat pandangannya dengan napas yang masih tersengal. Ia melihat Eira dan Finn yang dengan berani melawan sosok bayangan itu demi memberi waktu padanya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk melindungi teman-temannya.
Ia meraih Relik Gelap di tangannya lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. “Aku tidak akan membiarkan kalian tersakiti,” bisiknya.
Dengan keberanian yang baru, Arlen menyalurkan kembali energinya ke dalam Relik. Kali ini, ia merasakan kekuatan itu lebih stabil, seolah-olah ada yang membimbingnya. Perlahan, cahaya Relik mulai berpendar lagi, semakin terang.
Sosok bayangan itu berhenti menyerang Finn, menyadari bahwa Arlen telah bangkit kembali. Ia menoleh ke arah Arlen, tampak marah.
“Kau tidak belajar dari kesalahanmu, Arlen,” katanya dengan nada mengejek.
Namun Arlen tetap tenang, kali ini merasa lebih yakin dengan kekuatannya. “Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi.”
Ia mengangkat Relik itu tinggi-tinggi, membiarkan kekuatan hitamnya melesat dengan lebih besar ke arah sosok bayangan itu. Sosok itu berteriak, tampak terdesak oleh serangan Arlen yang kini lebih kuat.
Finn dan Eira menatap Arlen dengan takjub, melihat temannya berhasil melawan sosok bayangan itu dengan kekuatan yang luar biasa.
Namun, tepat saat mereka merasa situasi mulai membaik, suara tawa yang lain muncul dari dalam hutan. Tawa itu bergema, dingin dan mengerikan.
Eira menoleh, matanya membelalak. “Tidak mungkin… ada lebih banyak dari mereka?”
Dari balik pepohonan, muncul beberapa sosok bayangan lain, masing-masing dengan mata merah yang menyala seperti bara. Mereka berdiri dalam barisan, mengelilingi mereka bertiga dari segala arah.
Mereka bertiga terdiam, menyadari betapa gentingnya situasi yang sedang mereka hadapi. Jumlah sosok bayangan itu jauh lebih banyak dari yang mereka perkirakan, dan setiap bayangan tampak semakin mengerikan, menatap mereka dengan mata merah yang penuh kebencian.
Finn menggenggam belatinya lebih erat, mengusap keringat yang mengalir di dahinya. “Kita tidak bisa melawan sebanyak ini, Arlen. Ini… ini seperti misi bunuh diri.”
Eira menatap Arlen dengan tatapan penuh harap, meski juga tergurat ketakutan. “Apa yang harus kita lakukan? Mereka terlalu banyak.”
Arlen menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari cara untuk menyelamatkan teman-temannya. Namun, di dalam hatinya, ia juga merasakan kebimbangan. Relik di tangannya terasa semakin berat, dan energi yang tadi ia kumpulkan mulai menguras kekuatannya sekali lagi.
Dengan suara yang hampir berbisik, Arlen berkata, “Kita harus menemukan jalan keluar. Melawan mereka semua bukanlah pilihan.”
Tiba-tiba, salah satu bayangan bergerak maju, menunjuk ke arah Arlen. “Kau tahu Relik itu tidak akan menyelamatkanmu. Kegelapan ini sudah lama menunggu kalian, siap menelan jiwa kalian seluruhnya.”
Arlen menatap sosok itu, menyadari bahwa waktunya hampir habis. “Kita tidak bisa membiarkan kegelapan menang,” katanya pelan, tetapi penuh keteguhan.
Finn dan Eira bertukar pandang, saling mengangguk. Mereka tahu bahwa di tengah ancaman ini, persahabatan dan keberanian mereka adalah kekuatan terbesar. Meski dikelilingi oleh bayangan, mereka bersiap mengerahkan segala upaya terakhir untuk melarikan diri dari lingkaran kegelapan.
Sebelum mereka sempat bergerak, salah satu sosok bayangan melesat maju—seolah ingin memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi mereka bertiga.