Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 2
"Kenapa kamu marah Mia, gue melakukan ini atas perintah Mas Slamet," Ranti tersenyum, merasa dirinya menang karena berhasil merebut hati Slamet.
"Beraninya kamu!"
Buk!
Tinju melayang ke pipi Ranti, dia tidak menduga tangan kecil Mia bisa sekuat itu. Ranti jatuh disertai mengaduh sambil mengusap-usap pipinya. Matanya menatap kepalan tangan Mia dengan kaki yang bergerak ke arahnya hendak memukul ulang.
Ranti menyeret bokongnya ke belakang, sampai di pintu berusaha berdiri ingin lolos, tetapi tangan Mia lebih dulu menarik kasar tangan Ranti.
"Tolong... tolooong..." teriak Ranti. Lagi-lagi tidak dia duga dua sisi mulutnya dicengkram dengan satu tangan hingga maju ke depan. Nyeri yang dirasakan Ranti.
"Mia lepas..." Slamet tiba-tiba datang menarik tangan Mia dari mulut Ranti.
"Ajari mulut istrimu ini Mas, sekali lagi berani melawan saya, saya rela masuk penjara demi membela harga diriku!" Mia melepas mulut Ranti dengan sedikit mendorong, sebelum Ranti jauh ditangkap dengan dada Slamet.
Tidak ada jawaban dari Slamet karena dia tahu seperti apa jika Mia di lawan, Slamet membangunkan Ranti hingga berdiri.
"Siapa yang berani memindahkan baju-baju saya dari lemari yang saya beli dari hasil keringat saya sendiri?!" Sinis Sumiati, dia sudah tidak ampun lagi memaki-maki Slamet. Baginya saat ini Slamet bukan pria yang harus dia hormati seperti dulu.
Slamet bingung untuk menjawab tentu saja yang memindahkan baju adalah Ranti, tetapi jika jujur kemarahan Mia akan semakin memuncak.
"Kenapa diam? Jawab!" Bentak Mia, menatap tajam tangan Ranti yang memegang erat lengan Slamet.
Brak!
Kaki Mia menendang daun pintu yang masih di lantai. Sementara Ranti merangkul Slamet semakin kuat, kali ini tidak tanggung-tanggung bagian pinggang.
"Aku yang memindahkan baju kamu Mia, maaf" terpaksa Slamet mengakui perbuatan Ranti.
"Berani memasukkan baju-baju itu ke dalam lemari saya, saya akan bakar di luar," Mia memandangi pakaian Ranti yang sudah dia lempar-lempar hampir memenuhi kamar.
"Sekarang kalian simpan di mana baju saya?!" Mia mendelik tidak terima di perlakuan seperti ini.
"Di... di gudang" jawab Slamet tersendat-sendat.
Plak!
Buk! Buk! Buk.
Kali ini Mia memberondong tubuh Slamet dengan tinju. Setelah lega, kemudian keluar dari kamar itu. Dengan perasaan marah, benci, dan kecewa, Mia menuju gudang. Tiba di tempat barang-barang yang sudah tidak dipakai itu, baju-baju miliknya berada di antaranya tanpa dibungkus. Padahal tempat itu berdebu.
"Brengsek kalian!" Wajah Mia dipenuhi dendam.
Sambil menangis, Mia membereskan bajunya memasukkan ke dalam tas. Sakit sekali hatinya diperlakuan seperti ini di rumahnya sendiri. Rumah yang dibeli bukan hanya dengan uang Slamet, tetapi dari hasil kerja kerasnya juga.
Selama hidup berumah tangga dengan Slamet, Mia bukan hanya istri penadah dari suaminya itu. Tetapi Mia bekerja keras dengan berjualan kue, dan juga jamu, berkeliling menggunakan sepeda.
Setelah baju di kemas dalam tas besar, Mia mengangkatnya ke kamar yang biasa mertuanya gunakan ketika menginap.
Seminggu kemudian, selama itu Mia tidak mau lagi mengurus suaminya, tetapi tetap melakukan aktivitas meracik jamu tradisional yang akan dia jual memasukkan ke dalam botol-botol. Bukan hanya jamu saja, tetapi Mia juga ahli menerima pesanan kue.
Mia tidak mau terpuruk terlalu lama, karena dengan berjualan bisa menghibur hatinya.
"Mia... kamu sekarang tidak pernah lagi membuat sarapan untukku?" Slamet menghampiri Mia yang tengah menyusun kue di tempat.
"Saya bukan pembantu kalian" Mia melempar tatapan sinis ke arah Slamet yang tengah di gandeng Ranti. Mia lalu berpaling, rasanya ingin muntah melihat Ranti yang tak mau melepas tangan Slamet. Mungkin saja Ranti khawatir Mia akan merebut Slamet. Padahal bagi Mia, sikapnya kepada Slamet sudah bodo amat. Seminggu ini mereka selalu berduan tanpa menganggapnya ada, tetapi dengan seenaknya minta dibuatkan sarapan.
"Tapi kan kamu istri aku Mia" Slamet menagih hak nya.
"Lalu siapa wanita di samping kamu itu Mas. Setan, kuntilanak, atau sundel bolong? Semenjak seminggu yang lalu kamu telah membawa wanita ke rumah ini, tugas saya melayani kamu sudah habis. Sekarang suruh saja istri kamu yang baru ini memasak untuk kamu" Mia menunjuk Ranti yang diam membisu.
"Tetapi Ranti tidak bisa memasak Mia"
"Hahaha... itu deritamu Mas" Mia tertawa puas. Kedengaranya lucu sekali, cari istri tetapi bukan yang lebih darinya. Wajah tidak cantik, tidak bisa memasak pula, dua sisi bibir Mia diangkat tinggi.
"Dengar Mas Slamet, saya sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Siap-siap saja, kamu akan mati kelaparan hidup bersama wanita ini," Pungkas Mia lalu mengangkat kue keluar rumah. Tidak peduli suara Slamet yang memanggilnya lantaran tidak mau di cerai.
"Kue kue..." Mia menawarkan dagangan ke sekeliling tempat tinggalnya.
"Beli..." Seorang ibu paruh baya muncul dari dalam rumah, sambil membawa piring.
"Kue yang mana Bu" Mia membuka penutup wadah memperlihatkan beberapa macam kue buatan.
"Saya milih-milih ya"
"Silahkan Bu"
Sang ibu ambil jepitan kemudian menjepit pastel, risoles, dan arem-arem, meletakkan ke dalam piring. "Jadi berapa Mbak?"
"10 biji ya Bu, 25 ribu saja" ucap Mia lalu ambil uang pas dari tangan si ibu.
"Terimakasih Bu... penglaris... penglaris" Mia bersyukur lalu memasukkan duit ke dalam dompet. Kemudian menggoes sepeda kembali.
"Mbak Sum..." Panggil seorang nenek yang sedang memegang pinggangnya, lantaran baru selesai menyapu, terasa sakit.
"Saya Nek... Nenek mau kue?" Tanya Mia lembut.
"Loh kamu tidak membawa jamu?" Nenek tampak kecewa, padahal pinggangnya sudah ngebet. Biasanya setelah minum jamu racikan Mia lantas sembuh.
"Iya, Nek. Pagi ini lagi libur jualan jamu," Mia memaparkan belum sempat ke pasar induk, karena di pasar tersebut bahan-bahan jamu lebih lengkap.
"Ya sudah... kalau begitu besok saya memesan satu botol"
"Siap Nek" Mia bersemangat, lalu menggoes sepeda kembali. Di depan para pelanggan, Mia nampak sumringah menutupi luka hatinya yang sudah menjadi borok.
Mia melintas di depan pekerja bangunan yang baru saja datang. Pekerja yang kebanyakan bapak-bapak itupun menghentikan langkah Mia. Tentu saja menanyakan jamu yang sudah biasa mereka minum untuk menambah tenaga.
"Maaf ya Pak, besok... saya berjanji akan menjual jamu" Jawab Mia, ketika akan melanjutkan perjalanan seorang pria pemilik bangunan pun datang.
"Kamu jualan apa?" Tanya pria, yang masih seumur dengan Mia. Mia sama sekali belum pernah bertemu dengan pria yang berpenampilan perlente, walaupun hanya mengenakan kaos.
"Kue Mase..."
"Coba saya lihat" Pria itu memperhatikan kue yang Mia jual. Setelah menelisik lalu minta Mia memasukkan ke dalam plastik.
"Semua Mase?" Mia bingung. Sebab kue nya masih sekitar 100 biji.
"Mau saya beli tidak?" Tanya pria itu dingin.
"Tentu boleh" Mia bersemangat lalu menghitung kue tersebut, sambil memasukkan ke dalam plastik.
"Totalnya 105 biji Mase, dibayar 250 ribu saja, selebihnya untuk bonus.
"Tidak usah ada bonus, memang tampang saya miskin?" Pria itu meletakkan uang 300 ribu, kemudian masuk lokasi bangunan, setelah pesan agar kue tersebut diberikan kepada tenaga proyek.
"Hah?? Mimpi apa aku?" Mia bengong memandangi uang 300 ribu.
~Bersambung~