Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Yang Tertinggal
Malam itu, setelah seharian penuh melayani pelanggan di kafe, Amara memutuskan untuk pulang lebih awal. Rasa lelah yang biasanya melekat di ujung hari kini terasa berbeda—seolah ada perasaan ringan namun samar yang berdesir di hatinya, menyusup di antara rasa kantuk dan rasa lega karena pekerjaannya telah selesai. Suara-suara kecil di dalam benaknya terus memutar percakapan singkatnya dengan pria misterius yang ditemuinya siang tadi.
“Kenapa aku terus memikirkannya, ya?” batinnya, sedikit kesal pada dirinya sendiri. Hanya sapaan sederhana, tetapi cukup untuk membuatnya terjebak dalam bayang-bayang yang entah dari mana datangnya.
Saat berjalan menyusuri jalanan menuju apartemennya, angin malam meniup lembut, membawa aroma hujan yang sebentar lagi akan turun. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, memantulkan cahaya ke permukaan jalan yang sedikit basah setelah hujan gerimis sore tadi. Udara malam terasa dingin, namun menenangkan, seolah memberi kesempatan bagi Amara untuk merenungkan perasaannya yang selama ini ia abaikan.
Sesampainya di apartemen, Amara langsung melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya di meja dekat pintu. Ia merasakan kedamaian dalam keheningan kamar kecilnya, meski ada sisa-sisa ingatan dan perasaan tentang pria misterius itu yang terus berputar di benaknya. Menjauhkan pikiran itu nyatanya tak semudah yang ia bayangkan. Ia mencoba menyalakan televisi, berharap tayangan yang ia lihat bisa mengalihkan perhatiannya. Namun, layar televisi yang menampilkan acara berita hanya sekilas menarik perhatiannya. Semua terasa hambar, kosong.
“Apa aku memang sebegitu penasaran tentangnya?” gumamnya dalam hati, sedikit terkejut pada dirinya sendiri. Amara, yang biasanya rasional, tak pernah menyangka akan terpikirkan terus-menerus tentang seseorang yang baru saja ia temui. Ia pun tertawa kecil, merasa aneh dengan perasaannya sendiri.
Namun, seiring malam yang semakin larut, rasa penasaran itu semakin tumbuh. Siapa sebenarnya pria itu? Mengapa tatapannya terasa begitu dalam dan penuh misteri? Ada sesuatu dalam sorot matanya, seperti menampilkan cerita panjang yang belum terungkap. Tanpa sadar, ia mulai mengingat wajah pria itu dengan begitu jelas—garis wajahnya yang tegas, senyumnya yang tipis, serta tatapan matanya yang tenang namun dalam. Semua detail itu seolah terukir di benaknya, membuatnya sulit untuk diabaikan.
Keesokan harinya, Amara terbangun dengan perasaan sedikit lebih lega. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya perasaan sesaat, dan tidak ada yang perlu terlalu dipikirkan. Setelah sarapan dan bersiap-siap, ia kembali ke kafe dengan semangat baru, berharap bisa melewati hari itu tanpa terbawa oleh ingatan kemarin.
Namun, begitu ia tiba di kafe, perasaan yang sempat hilang tadi malam mendadak kembali saat matanya menangkap sosok yang familiar di sudut ruangan. Pria misterius itu kembali duduk di tempat yang sama, dengan laptop dan buku-buku yang tersusun rapi di depannya. Amara merasa jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. Ada perasaan gugup yang tak biasa, seperti remaja yang bertemu dengan pujaan hati untuk pertama kalinya.
Bima yang sedang berada di belakang meja kasir langsung menyadari perubahan di wajah Amara. "Eh, kenapa kamu kelihatan kaget begitu? Lihat hantu, ya?" canda Bima, sambil melirik ke arah pria di sudut ruangan itu.
Amara tersenyum tipis, mencoba menutupi kegugupannya. "Enggak, cuma... pelanggan itu datang lagi. Aku nggak nyangka dia bakal balik ke sini."
Bima mengangguk pelan, menatap pria itu sejenak. "Kelihatannya dia memang betah di sini. Mungkin dia suka suasana kafe kita yang tenang."
"Mungkin," balas Amara sambil berjalan menuju dapur untuk menyiapkan pesanan. Namun, meskipun ia berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkan, kehadiran pria itu benar-benar menyita perhatiannya.
Selama beberapa jam, Amara terus memperhatikan pria itu dari kejauhan, mencoba mengamati tanpa terlihat mencurigakan. Ia mulai menyadari hal-hal kecil dari pria tersebut; cara pria itu mengetik dengan tenang, bagaimana ia menghela napas dalam setiap kali memeriksa layar laptopnya, dan cara ia menyesap kopinya dengan perlahan, seolah menikmati setiap tegukannya. Semua hal ini terasa begitu... menenangkan. Pria itu seperti membawa atmosfer tenang yang sulit untuk dijelaskan.
Di sela-sela kesibukannya melayani pelanggan, Amara merasakan dirinya terhanyut dalam imajinasi yang mulai liar. Ia mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan pria itu, hobinya, dan bahkan kehidupan pribadinya. Apakah pria itu sudah memiliki seseorang di hidupnya? Mengapa ia terlihat begitu serius dan fokus? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bergulir di pikirannya tanpa henti.
Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat, dan hari sudah beranjak sore. Pria misterius itu bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke meja kasir untuk membayar pesanannya. Amara, yang kebetulan sedang berada di sana, langsung menyiapkan bill-nya dengan sedikit gugup.
"Kopinya seperti biasa enak," ucap pria itu sambil menyodorkan kartu kredit.
Amara tersenyum sambil menerima kartu tersebut. "Terima kasih. Kami senang Anda kembali lagi ke sini."
"Ya, saya suka tempat ini. Sangat tenang dan nyaman untuk bekerja."
Setelah menyelesaikan pembayarannya, pria itu tersenyum tipis lagi, kali ini dengan tatapan yang sedikit lebih dalam, membuat Amara merasa tatapan itu seolah menyentuh jiwanya. "Oh ya, nama Anda Amara, kan? Nama yang cantik."
Amara sedikit terkejut, lalu tersenyum kecil. "Iya, terima kasih... kalau begitu, Anda juga bisa panggil saya Amara."
Pria itu mengangguk, "Senang bertemu dengan Anda, Amara. Sampai jumpa lagi."
Ia pergi meninggalkan kafe, sementara Amara hanya bisa berdiri terpaku di balik meja kasir. Tatapan pria itu terasa begitu menghipnotis. Entah bagaimana, ia merasa bahwa setiap kata dan setiap senyuman pria itu menyimpan pesan yang lebih dalam dari sekadar basa-basi pelanggan dan barista.
Setelah pria itu pergi, Amara kembali ke dapur dengan perasaan berdebar-debar yang sulit ia kendalikan. Lia yang sedang menyiapkan stok kue langsung menyadari wajah Amara yang sedikit memerah.
"Eh, kok mukanya merah gitu, Mara? Ada apa?" tanya Lia penasaran.
Amara hanya menggeleng sambil tersenyum malu-malu. "Nggak, cuma... ah, nggak ada apa-apa kok."
Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan itu lebih dari sekadar "nggak ada apa-apa." Ada sesuatu tentang pria misterius itu yang membuat Amara merasa bahwa hidupnya akan segera berubah. Mungkin ini hanya perasaan sesaat, atau mungkin... ini awal dari sesuatu yang lebih besar. Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan singkat itu telah meninggalkan jejak dalam hatinya, dan Amara tahu, ia akan terus menunggu kesempatan untuk melihat pria itu lagi.