menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2 ( perkenalan )
Sebelumnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Seperti yang kamu lihat di cover, itu memang namaku, **Nura**—panggilan sayang dari ayahku. Nama lengkapku adalah Ridha Nurrazahra.
Sempat aku bertanya pada ibuku, "Kenapa aku diberi nama Ridha Nurrazahra? Kenapa nggak Ridha Nur Azzahra?" Ibuku menjawab bahwa itu 100% adalah pemberian dari ayahku dan menyuruhku bertanya langsung pada beliau.
Dengan penasaran, aku pun bertanya pada ayahku, "Yah, lagi sibuk nggak?"
"Enggak dong, sayang. Sini-sini, duduk di samping ayah. Ada apa? Kelihatannya serius banget," jawabnya lembut.
"Yah, artinya 'Nura' itu apa?" tanyaku lagi.
"Eh, ada apa tiba-tiba nanyain itu?" Ayahku balik bertanya dengan senyum di wajahnya.
"Enggak apa-apa sih. Nura cuma heran aja. Kenapa nama Nura, bukan Nur atau Naura? Terus cara penulisannya juga aneh, Ridha Nurrazahra bukan Ridha Nur Azzahra. Itu typo atau emang sengaja?" tanyaku lebih detail.
Sambil membelai rambutku, ayah tersenyum dan mengajakku ke kolam ikan di belakang rumah. "Ayo, ayah ceritain semuanya sambil ngasih makan ikan."
Aku mengangguk dan mengikuti ayah ke kursi di pinggiran kolam. Ayah duduk dan bersandar ke batang pohon jambu, lalu mulai berbicara, "Sebetulnya, nama 'Nura' itu diambil dari dua kata: 'Nur' yang berarti cahaya dan 'Ra' dari bahasa Sunda, artinya sinar. Jadi, Nura itu berarti sinar cahaya. Ridha artinya keikhlasan, sementara Zahra diambil dari nama ibumu, Fatimah Aulia Zahra. Jadi, Ridha Nurrazahra itu bermakna sinar cahaya yang lahir dari keikhlasan ibumu. Harapan ayah, kamu bisa menyinari orang-orang di sekitarmu dengan kelembutan dan menjadi cahaya bagi mereka yang kamu cintai."
Aku mendengarkan dengan takjub saat ayahku melanjutkan, "Kamu tahu nggak, kamu itu lahir prematur, 7 bulan, dan waktu lahir kamu nggak nangis. Detak jantungmu lemah, sampai-sampai perawat bilang kalau kamu meninggal."
"Hah? Seriusan? Kenapa ayah dan ibu nggak pernah cerita?"
"Iya, serius. Kalau nggak percaya, tanya aja ke ibumu. Tapi jangan, nanti dia nangis ingat kejadian itu."
"Terus, gimana Nura bisa hidup lagi?" tanyaku, penasaran.
"Saat itu, semua sudah pasrah. Ibumu minta untuk memelukmu terakhir kali sambil menangis. Dia bilang, 'Insya Allah, Lia ikhlas. Maafin Lia, ya.' Ayah nggak kuat dengar itu. Saat ayah mau mengembalikanmu ke ibumu, tiba-tiba kamu nangis. Perawat langsung mengambilmu kembali."
Aku tertawa kecil, "Lebay, ah. Mana mungkin kayak gitu. Ayah bohong, ya?"
"Beneran, nggak bohong! Kalau nggak percaya, tanya ibumu."
Percakapan kami terpotong saat ponselku berbunyi. Mira, sahabatku, menelepon. Janji kami ke toko buku terpaksa menghentikan cerita ayahku.
"Yaah, tanggung ceritanya, tapi Nura udah janji sama Mira ke toko buku," gumamku, kecewa.
Ayahku tertawa, "Ingat pesan ayah, ya. Jangan bohong, dan jangan ingkar janji. Sudah, cepat siap-siap, nanti Mira kasihan nunggu. Nanti ayah ceritain lagi."
"Janji ya, ayah harus ceritain semua!" Aku mengajaknya untuk ikut, tetapi ayah menolak dengan lembut, mengatakan mulai hari ini dia akan memberiku kebebasan.
Dengan perasaan campur aduk, aku masuk ke rumah dan langsung memeluk ibuku dari belakang. "Bu, Nura sayang Ibu. Maafin Nura ya, belum bisa bahagiain Ibu."
Ibuku terkejut, tapi ia tersenyum hangat dan memelukku kembali.
Hari itu perasaan di dadaku terasa sesak, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku mencoba mengabaikannya dan segera bersiap-siap untuk pergi menemui Mira.
Saat tiba di tempat yang disepakati, aku melihat Mira tampak murung, dan setelah beberapa percakapan, ia tiba-tiba menangis dan menunjukkan pesan dari kakaknya bahwa ibunya masuk rumah sakit.
Panik, aku segera menelepon ayahku untuk meminta izin pergi ke Pangandaran bersama Mira.
"Assalamualaikum, Yah. Boleh nggak Nura ke Pangandaran? Ibunya Mira masuk rumah sakit."
Ayahku menjawab dengan tenang, "Tunggu di sana, ayah akan ke sana sekarang."
Mira terus menangis dalam pelukanku, sementara aku hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.