Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Nihaya dan pamannya sudah tiba di Jakarta. Kedatangan mereka disambut baik para pekerja lain yang satu tempat tinggal dengan Angga.
"Wah Bang Jagur ada tamu." Sapa teman Angga dengan senyum ramah.
"Hehe, iya bang. Kenalin ini adik saya, Nihaya. Dan ini paman saya." Angga sumringah memperkenalkan Nihaya dan pamannya kepada rekan kerja. Kemudian yang diperkenalkan saling bersalaman dan melontarkan salam kenal. Basa-basi pun terjadi.
Menit-menit berikutnya perbincangan masuk tahap serius ketika teman Angga pamit ke keluar menuju laundry. Sepeninggalnya teman di telan belokan, paman membuka mulut, membicarakan maksud kedatangannya dengan Nihaya. Akan tetapi Angga yang antusias dengan kedatangan anggota keluarganya tersebut, memotong hanya untuk menawarkan jamuan. Angga pelit kepada dirinya sendiri tapi loyal kepada orang lain.
"Mau bakso, soto, mi ayam, atau yang lain?"
"Ora usah repot-repot tole. Begini saja sudah cukup."
"Repot apanya paman, gak ada yang ngerepotin kok." Angga tetap memesan banyak makanan via online. Klik sana klik sini selesai, tinggal menunggu makanan datang di sela-sela obrolan mereka. Andai temannya belum pergi ke laundry, sudah pasti si teman menggerutu soal sikap Angga yang kontradiktif. Untuk dirinya sendiri irit, tapi kepada keluarganya loyal sekali.
Angga perhatikan, Nihaya banyak diamnya sejak tadi. Laki-laki itu berderap mendekat untuk memperhatikan Nihaya.
"Kamu sehat kan Ni?" yang ditanya mendongak, menatap wajah Angga. Sepersekian detik kemudian kembali menunduk setelah menjawab.
"Sehat Mas. Mas Angga bagaimana?"
"Alhamdulillah Mas juga sehat. Oh ya tadi paman mau ngomong apa? maaf malah saya potong nanya soal makanan." Tatapan Angga bedalih kepada paman.
Paman berdiri mendekati Angga. Beliau berusaha mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Pundak Angga di usap-usap perlahan. Paman pun menarik nafas dalam-dalam.
"Nihaya hamil."
Dua kata yang terdengar seakan-akan membuat bumi berhenti berputar. Rasanya bak kesamber geledek di siang bolong. Angga susah payah menelan ludah, memastikan kembali kalau yang di dengarnya salah.
"Maksudnya gimana paman? Nihaya kan belum nikah, masa bisa hamil!" Sarkasnya. Angga tidak dapat mengontrol diri sehingga berkata demikian pada paman yang sebenarnya dimaksudkan pada Nihaya. Wajahnya kian memerah dibarengi air mata Nihaya jatuh ke pangkuannya sendiri.
"Ni, kamu beneran hamil?!" Angga beralih pada Nihaya.
Nihaya mengangguk lemah. Angga hancur sehancur-hancurnya, mengusap kasar wajah dan mengumpat kata-kata tak enak didengar. Melihat situasi merujuk ketegangan, paman langsung menginterupsi menjelaskan kronologi kejadian. Seolah tuli Angga pun tidak mendengar pamannya berbicara karena tersumbat riuhnya isi kepala.
"Saya bilang juga apa!!!" ujar Angga kepada Nihaya dengan nada tinggi yang tertahan. Angga betulan menepati omongannya bahwa jika terjadi apa-apa, Angga tidak mau dianggap kakak lagi. Terbukti panggilan 'Mas' digantikan kata yang lebih formal, menegaskan diantara mereka bukan siapa-siapa lagi.
"Mas, aku minta maaf. Ini gak seperti apa yang Mas Angga bayangkan. Ini bukan anaknya Aji. Aku.. aku telah mengalami--"
"Diam! saya sudah tidak percaya lagi omongan kamu Nihaya!! mulai detik ini, urus saja dirimu sendiri. Saya tidak peduli. Jangan ganggu saya, karena sekarang saya bukan kakak mu lagi. Ingat itu baik-baik."
"Astaghfirullah, Angga jangan ngomong begitu. Pamali. Istighfar le..." Paman mengurut dada. Ternyata apa yang terjadi melebihi perkiraannya. Pikiran paman hanya sebatas Angga membentak marah-marah, tetapi yang terjadi malah lebih dahsyat. Angga tega memutus hubungan persaudaraan, meskipun hubungan darah tidak akan pernah terputus. Dimana-mana tidak ada yang namanya mantan saudara.
Angga tidak menjawab perkataan paman.
"Angga, sebenarnya Nihaya diperkoosa begundal beberapa waktu yang lalu. Dia baru cerita sekarang sama paman, sama bapak dan ibu mu. Tadinya Nihaya nutupin masalahnya, biarin dipendam semata-mata agar keluarga tidak terbebani pikiran. Tapi hal yang tidak diduga malah terjadi. Pemerkosaan itu berbuntut panjang karena Nihaya hamil."
"Paman, Nihaya tidak sebodoh itu ngalamin tindak kriminal tapi malah diam. Saya lebih percaya dia sengaja ngelakuinnya, ketimbang dia diperkoosa."
"Ka-mu tidak percaya adik mu?"
"Tidak paman, sedikit pun tidak percaya. Nihaya sendiri yang sudah merusaknya."
Nihaya bersimpuh, "Mas Angga, percayalah yang dikatakan paman itulah kebenarannya."
"Menyingkir dari kaki saya, dan pergilah dari sini! pergilah dari kehidupan saya Nihaya. Saya benar-benar gak mau lihat kamu lagi." Angga berdiri menjauhkan kaki darinya pelukan adiknya. Nihaya enggan beranjak, kontan badannya tersentak mundur saat Angga berusaha menyingkir.
Teman-teman Angga sudah kembali berdatangan. Pembicaraan sudah tidak bisa dilanjut lebih jauh sehingga mau tidak mau Nihaya dan paman pergi dari tempat Angga.
Sepeninggal kepergian Nihaya dan paman, pesanan Angga datang silih berganti. Angga tidak berselera melakukan apapun. Dia memilih beranjak dari tempatnya, pergi ke semaunya kaki melangkah. Teman-teman Angga yang menerima makanan sontak kebingungan.
"Eh, siapa yang pesan makanan ampe sejibun begini?"
"Bang Jagur." Celetuk yang tahu kronologinya.
Dengar nama Jagur, mereka bilang itu merupakan suatu ketidakmungkinan. Tapi memang itulah faktanya.
...*****...
Sepanjang jalan Nihaya membasahi pipinya dengan air mata. Gadis itu terisak pilu, terbayang-bayang perkataan Angga yang terasa menyakitkan.
"Sudah nduk, jangan nangis lagi. Angga hanya marah saja. Dia butuh waktu untuk menerima ini semua sebagai takdir, jadi lain waktu kita bicarakan lagi dengannya."
"Paman, aku udah nyakitin Mas Angga sampai segitunya. Aku hanya ingin maaf dari Mas Angga."
"Iya, paman mengerti situasi mu. Sekarang lebih baik kita pulang dulu ke rumah. Kasih Angga waktu buat menenangkan diri."
Nihaya mengangguk.
Mereka berada di dalam bus perjalanan menuju kampung halaman. Nihaya menghapus air matanya, lalu mendongakkan kepala menatap lurus ke depan. Capeknya hari ini sudah tidak lagi dirasa. Ia menatap nanar, kemudian matanya menyipit karena cahaya menyilaukan datang dari sisi depan. Isi bus menjadi riuh.
Tiba-tiba ada kejadian begitu cepat, dimana Nihaya merasa terombang-ambing dalam bus. Itu hanya guncangan saja, iya, dia meyakinkan dirinya seperti itu. Tanpa dia sadari kalau tubuhnya memang betulan jungkir balik.
Nihaya merasa sakit, sakit sekali. Terutama dibagian perutnya.
Saakiit hhh. Perutku...
Lalu hari yang sudah gelap semakin menggelap.
.
.
.
Bersambung.