Ryo seorang pengusaha yang sukses harus menelan musibah dari tragedi yang menimpanya. Sebuah kecelakaan telah membuatnya menjadi lumpuh sekaligus buta. Istrinya sudah tidak Sudi lagi untuk mengurusnya.
Aura, adik sang istri tak sengaja hadir ditengah mereka. Aura yang memerlukan uang untuk kebutuhan hidupnya kemudian ditawari sang kakak sebuah pekerjaan yang membuat semua kejadian cerita ini berawal.
Pekerjaan apakah yang ditawarkan pada Aura?
dan bagaimana nasib Ryo selanjutnya?
Biar tau kisah selengkapnya, yuk ... di intip kisahnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 - Perlakuan sang kakak
Di malam yang sedikit pengap,
“Bagaimana kalau kau terima tawaran kakakmu untuk sementara, Dik. Sementara aku akan cari pekerjaan yang lebih layak. Karena untuk melunasi hutang-hutangku saja gajiku belum cukup” kata Bagas di ranjang besi peninggalan orang tuanya, ketika Aura menceritakan yang dialaminya tadi siang.
“Tapi, aku akan jadi pembantu disana, Mas! Kak Jesica benar-benar merendahkan aku!” Aura yang mulai tersulut emosi lagi mencoba mengungkapkannya pada sang suami.
“Apa salahnya menjadi pembatu?, bukankah itu masih pekerjaan halal?” ucap Bagas masih di atas ranjang yang kerap berdenyit jika ia bergerak.
“Bukan masalah itu, Mas. Tapi dia kan kakakku, apa nda ada pekerjaan yang lebih layak untuk adiknya?”
“Iya, aku paham, tapi kesempatan ini harusnya bisa kita manfaatkan”
“Aku kan sudah bilang berapa kali Mas, nda usah lagi hutang-hutang ke pinjol, atau ke Pak Daros yang rentenir itu, aku nda pernah meminta apa-apa kan Mas?, sebenarnya penghasilanmu sudah cukup untuk kebutuhan kita kalau saja Mas tidak berhutang!” ujar Aura seolah ingin meluapkan kekesalannya.
“Pinjaman itu kan tempo hari aku ajukan untuk mengambil motor juga membeli kulkas, tadinya kupikir untuk membayar pinjaman itu bisa ku cicil dari hasil lemburanku, tapi ternyata sejak sepekan lalu tidak ada lagi lemburan di pabrik, malah sebagian karyawan dirumahkan”
Setelah hampir setengah jam mereka berdiskusi dengan sesekali percikan emosi, akhirnya Aura memutuskan untuk menerima tawaran kakaknya untuk memperbaiki keuangan mereka.
Dua hari kemudian, di mansion mewah Jesica,
Aura bertugas membersihkan seluruh ruangan pagi dan sore hari. Ia kerap menyaksikan kelakuan Jesica yang diluar ekspetasinya.
Terkadang Jesica berbelanja menghabiskan puluhan juta, padahal yang ia belanjakan lagi-lagi tersimpan di lemari, karena pakaian, sepatu dan semua perlengkapannya sudah terlalu banyak.
Di suatu pagi,
Aura yang tengah membersihkan kamar kakaknya, tanpa sengaja menyenggol sebuah pajangan bunga kristal yang berada di atas meja kaca.
PRANG!
Suara pecahan itu spontan membuat Jesica berteriak pada Aura.
“Aura!, apa itu yang pecah?!” pekik Jesica dari lantai bawah.
Tanpa berlama-lama, Jesica sudah berada di depan bibir pintu kamarnya. “Kau mmecahkan pajangan kristal itu?!” mata Jesica melotot ketika melihat pajangan tersebut sudah hancur berserakan di lantai.
“M-maaf, Kak … aku tidak sengaja” ucap Aura penuh ketakutan dan penyesalan.
Tanpa menjawab, Jesica langsung menjambak rambut adiknya hingga Aura memekik kesakitan, kemudian Jesica menyeret tubuh Aura yang sudah jatuh kelantai lalu menghempaskan wajah Aura kearah serpihan beling kristal yang pecah.
Jesica mendorong kepala Aura ke pecahan beling di lantai, hingga beberapa serpihan beling yang tajam ada yang meggores wajah Aura.
“Kau tau berapa harga pajangan kristal ini hah?!, gaji setahun suamimu belum cukup untuk membayarnya!, ini adalah hadiah dari pacarku! Kau tahu!” tanpa sadar Jesica mengungkapkan sesuatu di luar kesadarannya.
Aura yang tidak sanggup menjawab berusaha melepaskan cengkraman kakaknya. Setelah Jesica melepasan kasar tangannya dari rambut Aura, ia berdiri dengan berdecak pinggang dan tangan sebelahnya memijit keingnya.
“Dasar bodoh!, kerja segini saja tidak becus!” sambil mendengus nafas kasar, Jesica berlalu kearah pintu kemudian keluar dari sana.
Aura akhirnya bangkit sambil mebersihkan pecahan kristal di pipinya, darah mulai mengalir sedikit demi sedikit di wajah Aura, begitupun air mata yang mulai ikut mengalir di pipi Aura, terasa perih ketika meyentuh luka-luka tadi.
Wanita itu tidak pernah melawan perlakuan kasar kakaknya, meskipun kadang sedikit keterlaluan. Aura merasa memiliki hutang budi pada Jesica, karena ketika mereka remaja, saat orang tua mereka bercerai dan menelantarkan mereka, Jesica-lah yang mencari uang untuk keperluan hidup mereka berdua, sampai-sampai Jesica berhenti sekolah dan bekerja.
“Non Aura!, kenapa pipinya, Non?” mbok Jum membelalakan mata melihat pipi Aura yang lecet-lecet dan berdarah.
“Tidak apa-apa, Mbok” kilah Aura tidak ingin memperpanjang.
“Tunggu saya ambil obat ya Non” Mbok Jum buru-buru kedalam kemudian kembali dengan menenteng kotak obat-obatan.
“Sama Nyonya Jesica ya Non?” selidik Mbok Jum sambil mengobati luka di wajah Aura.
“Sudahlah, Mbok. Gak apa-apa kok” sambil sedikit menyeringai, Aura tidak ingin kakaknya terus disalahkan.
“Nyonya Jesica itu memang keras, banyak pelayan disini yang keluar karena gak betah, salah sedikit main tempeleng. Tapi masa iya sama adiknya sendiri kasar juga sih, keterlaluan!” geram si Mbok sambil sedikit mengecilkan suaranya.
Siang hari telah beranjak, petang menjelang dan Aura akan segera pulang. Ia meminta Bagas untuk menjemputnya di depan mansion.
Ketika Aura tengah menunggu suaminya menjemput, ia duduk di teras depan mansion. Tiba-tiba pintu pagar yang megah terbuka, dan mobil mewah memasuki halaman mansion.
Jesica keluar dari mobil dan seorang pria juga terlihat keluar dari sedan mewah itu.
‘Apa itu Mas Ryo, suami kak Jesica?’ batin Aura sambil memincingkan matanya.
“Ayo masuk” ajak Jesica pada pria itu.
“Kamu sudah mau pulang?” tanya Jesica ketus pada Aura.
“Iya, Kak. Aku nunggu Mas Bagas”
“Dia adikmu, Jes?” tanya pria itu.
“Ck!, sudahlah, ayo masuk.” Jesica tak menjawab pertanyaan pria itu, lalu mereka meninggalkan Aura di teras.
“Jes, suaramu kok mirip sama wanita yang didepan itu ya?” suara si pria masih terdengar samar oleh Aura ketika mereka masuk kedalam.
Pak Dimin tukang kebun yang mengerti betul keadaan di dalam mansion, karena dialah pekerja paling lama di mansion itu, tiba-tba saja merasa iba dengan kondisi Aura. Pria paruh baya berambut separuh uban itu medekati Aura yang masih duduk di kursi teras.
“Non, itu mukanya gak apa-apa?, udah diobatin belum Non?” tanya Pak Dimin perduli.
“Gak apa-apa, Pak. Sudah diobati kok” senyum Aura merebak, karena para pelayan, tukang kebun dan satpam semua baik dan ramah pada Aura, mereka tahu Aura adalah adik kandung Jesica, tapi ia kerap mendapatkan perlakuan buruk dari kakaknya sendiri.
Ketika Pak Dimin akan melangkah pamit, Aura memanggilnya.
“Um, Pak, laki-laki yang tadi itu siapa ya?” selidik Aura.
“Eng, gimana ngomongnya ya Non …“ Pak Dimin seolah bingung menjelasan kebenaran pada Aura.
“Dia bukan suami Kak Jesica, kan Pak?” alis Aura menaut.
“Bukan, Non. Dia itu, pria simpanan, ya seperti itulah. Em, maap Non, saya permisi dulu ya” terasa sekali Pak Dimin yang tidak ingin membahas lebih jauh tentang pria itu, dan Aura mengerti ketakutan Pak Dimin.
Dada Aura serasa panas. ‘Pria simpanan?’ batin Aura, tak meduga kakaknya akan sejauh itu.