Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan yang mengganggu
Di sela-sela istirahat makan siangnya, Raka duduk di sudut restoran pribadinya sambil menyesap kopi. Ia membuka ponselnya dan menggeser layar Instagram, mencari kabar dari orang-orang terdekatnya. Tiba-tiba, sebuah story dari Mika menarik perhatiannya.
Video singkat itu memperlihatkan interior rumah yang baru saja dibeli Mika: dinding bercat putih dengan sentuhan kayu, sofa abu-abu yang nyaman, dan jendela besar yang menghadap taman kecil. Mika menambahkan teks sederhana:
“Finally, new chapter begins. 🏡✨ #NewHome #NewLife”
Raka memiringkan kepalanya, merasa ada sesuatu yang tidak asing dengan rumah itu. Ia memperbesar layar ponselnya dan mengamati setiap sudut video. “Kayaknya aku pernah liat rumah ini. Tapi di mana ya?” pikir Raka, sambil mencoba mengingat-ingat.
Raka menutup ponselnya sejenak, mengingat beberapa lokasi di kota lamanya. Rumah itu terasa akrab, tapi dia tidak bisa langsung mengingat tempat pastinya. Ia kembali membuka story Mika, mengulang videonya dengan cermat, memperhatikan detail ornamen dan tata letaknya.
Tiba-tiba memori lama muncul di benaknya:
Suatu sore beberapa tahun lalu, ia pernah menemani temannya mencari rumah di kawasan perumahan elit. Salah satu rumah yang mereka kunjungi memiliki nuansa yang sangat mirip—dinding putih dengan aksen kayu dan taman kecil di belakang. "Ah! Kayaknya di kawasan yang sama..." pikir Raka dengan perasaan yakin.
Raka mengerutkan kening. Apakah Mika pindah kembali kesini? Ia sempat ingin menghubungi Mika beberapa kali setelah reuni, tetapi ia menahan diri agar tidak terlihat terlalu ingin tahu. Namun, melihat Mika dengan rumah baru di kota ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah.
“Kenapa dia nggak cerita kalau dia mau balik ke sini?” gumam Raka pada dirinya sendiri. Selama ini, ia mengira Mika sudah melupakan masa lalunya dan memilih untuk melanjutkan hidup di kota baru. Tapi sekarang, Mika kembali—dan tidak hanya kembali, tetapi dengan kehidupan yang jauh lebih mewah dan sukses.
Kembali ke Ponsel
Raka membuka aplikasi chat-nya, jemarinya melayang di atas nama Mika. Ia sempat ragu untuk mengirim pesan, takut terlihat terlalu penasaran. Namun, akhirnya ia menuliskan pesan singkat:
“Hei, liat story-mu barusan. Kamu pindah ke sini? Kok nggak bilang-bilang?”
Ia menatap layar, menunggu pesan itu terkirim. Perasaan tak tenang muncul di dalam dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar terjadi di balik semua ini. Apakah Mika punya rencana khusus dengan kepulangannya?
***
Mika duduk bersandar di sofa sambil menggulir pesan dari Raka di ponselnya:
“Hei, liat story-mu barusan. Kamu pindah ke sini? Kok nggak bilang-bilang?”
Ia berniat membalas pesan itu, tapi sebuah notifikasi lain muncul di layar, mengalihkan perhatiannya:
Antony Donavan: “Jadi, kapan kita bisa ketemu? Aku nggak sabar ngobrol sama kamu.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Mika. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran dalam pesan Antony. Tatapan pria itu saat di reuni tidak bisa ia lupakan—tatapan penuh keinginan, berbeda dari masa SMA ketika Antony mengabaikannya dan lebih memilih Dara.
Mika menutup pesan Raka untuk sementara dan fokus pada obrolannya dengan Antony. Jemarinya lincah mengetik balasan:
Mika: “Sabtu depan, kan? Kamu beneran nggak sabar ya?”
Antony: “Haha, iya. Ada tempat favoritku, bisa kita kunjungi bareng.”
Mika: “Kalau Dara tahu, gimana?”
Antony: “Tenang aja, aku punya banyak alasan.”
Mika tertawa kecil sambil menggigit bibirnya. Ini kesempatan emas. Antony terlihat berani bermain api di belakang Dara, dan Mika akan memastikan setiap langkahnya memperkuat rencana balas dendamnya.
***
Di sisi lain kota, Raka masih menatap ponselnya, menunggu balasan Mika. Ia menyesap kopi yang sudah mulai dingin, merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Ia tahu ada yang berubah dari Mika—bukan hanya penampilannya, tapi juga caranya membawa diri.
Setelah beberapa menit berlalu tanpa balasan, Raka mulai merasa kecewa dan bingung. Apakah Mika sengaja mengabaikannya? Atau dia hanya terlalu sibuk dengan kehidupan barunya?
Setelah puas dengan percakapannya bersama Antony, Mika kembali membuka pesan dari Raka. Ia membaca ulang pesannya sejenak dan berpikir. Raka memang pernah menjadi teman dekatnya di masa lalu, tapi fokus Mika sekarang bukanlah memperbaiki hubungan lama—melainkan memainkan semua kartu yang ia punya dengan cermat.
Ia mengetik balasan singkat:
“Maaf ya, Rak. Aku sibuk banget akhir-akhir ini. Baru bisa fokus ke banyak hal. Nanti kalau ada waktu, kita ngobrol ya.”
Ia tahu balasan seperti itu akan membuat Raka tetap penasaran dan terikat padanya, tanpa membuka terlalu banyak pintu. Mika ingin Raka tetap di orbitnya, tetapi tidak sampai mengganggu rencana utamanya dengan Antony.
Saat menerima balasan Mika, Raka merasa ada sesuatu yang aneh. Balasan Mika terasa terlalu formal, seperti ada jarak yang disengaja. Ia mengernyit, mencoba menghubungkan petunjuk kecil yang ada di pikirannya.
“Kenapa rasanya kaya Mika yang sekarang... beda banget ya?” pikirnya. Bukan hanya secara fisik, tapi ada sesuatu yang lebih mendalam, seolah Mika menyembunyikan sesuatu.
Raka menaruh ponselnya di meja dengan rasa tak nyaman. “Ada apa, sebenarnya?” gumamnya pelan, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih gelap.
***
Hari yang dinanti tiba. Mika menarik napas panjang di bandara, membawa koper dan segala ambisinya. Ia telah mengurus segalanya: bisnisnya, kuliah, bahkan cuti panjang untuk fokus pada satu tujuan besar—menghancurkan Dara dan gengnya.
Saat pesawat mendarat di kota lamanya, Mika melangkah keluar dengan perasaan berdebar. Bukan karena ketakutan, tapi kegembiraan yang bercampur dengan dendam. Ia tahu, setiap langkah yang akan ia ambil adalah bagian dari rencana yang sudah matang di kepalanya.
Setelah tiba di rumah barunya yang aesthetic, Mika mulai menata ruangannya. Ia memastikan setiap sudut cocok untuk membuat konten dan menunjang bisnis kosmetiknya. Di depan cermin besar di ruang tamu, Mika menatap pantulan dirinya—seorang wanita yang dulu mereka hina, kini menjadi sosok cantik dan berdaya.
Sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Pesan dari Antony:
"Sudah sampai? Kapan kita bisa ketemu?"
Mika tersenyum kecil. Langkah pertamanya adalah Antony. Ia tahu betul, menghancurkan Dara akan lebih mudah jika Antony berada dalam genggamannya. Tapi Mika tidak ingin terburu-buru. Rencana harus dijalankan dengan sempurna.
Mika: “Baru sampai. Mungkin besok atau lusa, kita ketemu ya?”
Antony: “Oke. Aku tunggu.”
Mika meletakkan ponselnya dengan senyum penuh arti. Antony sudah terpancing.