Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gobed Berangkat Ke Sekolahnya
Setelah makan, Gobed yang kini duduk di bangku sekolah dasar masih kelas 3 bersemangat bergegas menuju kamar kecil mereka yang hanya memiliki satu kran air. Slumbat mengikuti langkahnya, sambil menyiapkan handuk dan sabun. Gobed mulai membuka baju, dan Slumbat menyoroti, “Jangan lupa bersihkan telinga, Nak. Biar nanti di sekolah teman-teman enggak penasaran kalau ada apa di dalamnya.”
Gobad tertawa kecil sambil memasukkan kepala ke dalam ember berisi air. “Jangan khawatir, Bu. Enggak ada harta karun di telingaku!”
Slumbat tersenyum, “Kalau begitu, pastikan airnya tidak membanjiri kamar mandi kita.”
Gobad mencuci badan dengan cepat, lalu bersih-bersih. Sesudah itu, dia memakai seragam sekolah yang sudah agak kusut namun masih layak pakai. Saat hendak memakai sepatu, dia menemukan sepatu satu pasang yang hampir putus talinya. “Bu, sepatu ini sudah hampir putus. Aku takut nanti di sekolah sepatu ini copot!”
Slumbat cepat-cepat memeriksa sepatu itu, dan melihat talinya sudah hampir putus. Dia mencari benang dan jarum, lalu dengan cepat memperbaiki sepatu Gobed sambil berkata, “Ini supaya sepatu ini enggak cuma jadi alas kaki, tapi juga bisa jadi senjata ampuh melawan kapur!”
Gobad tersenyum lebar. “Terima kasih, Bu. Aku akan hati-hati agar sepatu ini tidak terbang ke mana-mana.”
Setelah siap, Gobed mengambil bekal dari Slumbat, yang berupa beberapa potong roti yang dibungkus rapat. “Makasih, Bu. Kalau ada yang tanya roti ini rasanya apa, aku jawab ‘kaya sayang Ibu’,” ujarnya sambil melambai.
Slumbat menatapnya dengan penuh kasih, “Hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai tertinggal.”
Jengkok juga memberi semangat, “Belajar yang rajin, Gobed. Kalau ada yang ngajarin ngitung, jangan cuma ngitung sampai sepuluh. Cobalah sampai seratus!”
Gobad melambai sambil berlari keluar rumah menuju jalan utama, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan sampah dan hewan kecil. Di sepanjang jalan, dia berjumpa dengan tetangga yang sedang ngobrol di depan rumah mereka.
“Eh, Gobed! Mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Pak RT.
Gobad menjawab dengan ceria, “Mau ke sekolah, Pak! Biar nanti bisa jadi orang pintar!”
Pak RT tertawa, “Hati-hati di jalan. Jangan sampai berlari terlalu cepat nanti sepatunya copot!”
Gobad tersenyum dan melanjutkan perjalanannya. Di jalan menuju sekolah, dia bertemu dengan teman-temannya yang juga menuju ke sekolah. Mereka berjalan bersama, bercanda dan tertawa.
“Gobed, ayo cepat! Nanti kita ketinggalan pelajaran!” seru teman sekelasnya, Dani.
“Kalau kita ketinggalan pelajaran, nanti bisa jadi ‘tim terlambat’!” jawab Gobad sambil tertawa.
Sesampainya di sekolah, Gobed memasuki ruang kelas dengan penuh semangat. Guru mereka, Bu Sari, sudah menunggu di depan kelas.
“Selamat pagi, Bu Guru!” seru Gobed saat masuk ke kelas.
Bu Sari tersenyum, “Selamat pagi, Gobed. Bagaimana kabar hari ini? Sudah siap belajar?”
Gobad mengangguk dengan semangat, “Siap sekali! Tapi jangan bilang, ya, kalau sepatuku hampir putus.”
Bu Sari tertawa, “Jangan khawatir, Gobed. Sepatu bukanlah ukuran kecerdasan. Yang penting semangat belajarnya!”
Pelajaran dimulai, dan Gobed dengan serius mengikuti setiap materi yang diajarkan. Namun, di sela-sela pelajaran, dia tidak bisa menahan tawa saat salah satu teman sekelasnya, Rudi, berusaha keras menyelesaikan soal matematika dan malah menghitung dua ditambah dua menjadi enam.
“Rudi, kamu menghitungnya terlalu banyak! Apa ada yang salah dengan kalkulatormu?” ejek Gobed sambil tertawa.
Rudi mengernyit bingung, “Bukan, Gobed. Aku cuma mencoba cara baru dalam berhitung.”
Suasana kelas penuh dengan tawa. Meskipun demikian, Gobed tetap berusaha yang terbaik dan mengikuti pelajaran dengan serius.
Di rumah, Jengkok dan Slumbat melanjutkan pekerjaan mereka, tetap berharap hari itu membawa berkah. Slumbat memasak makanan sederhana untuk makan malam, sementara Jengkok merapikan area depan rumah.
Ketika Gobed pulang dari sekolah, dia bercerita tentang hari-harinya dengan penuh semangat. “Bu, Pak, hari ini ada soal matematika yang membuat aku tertawa. Tapi aku belajar banyak!”
Slumbat dan Jengkok tersenyum bangga. “Baguslah, Nak. Terus semangat belajar. Kita selalu mendukungmu,” kata Jengkok sambil mengelus kepala Gobed.
“Dan jangan lupa, jangan terlalu cepat lari kalau sepatumu hampir putus!” tambah Slumbat, membuat Gobed tertawa.
Malam itu, meskipun mereka kembali ke rutinitas sehari-hari, kebersamaan mereka di meja makan dan cerita hari itu membuat segala kesulitan terasa lebih ringan. Mereka saling mendukung dan penuh harapan untuk masa depan yang lebih baik, meskipun setiap hari penuh dengan tantangan.
Malam itu, setelah seharian beraktivitas, keluarga Jengkok berkumpul di rumah mereka yang kecil dan sederhana. Udara malam terasa hangat dan lembap, dan nyamuk-nyamuk mulai menyerbu. Lampu minyak yang menyala di sudut ruangan menarik perhatian para nyamuk, membuat suasana di rumah jadi kurang nyaman.
Jengkok, yang baru saja selesai memperbaiki atap rumah yang bocor, duduk di kursi sambil mengelap keringat di dahinya. “Nyamuk-nyamuk ini benar-benar menggila malam ini. Rasanya kayak kita lagi jadi menu makan malam mereka!”
Slumbat yang sedang menggantungkan tirai di jendela sambil mencoba menghalangi nyamuk, menanggapi, “Iya, Pak. Rasanya kayak jadi pertunjukan makan malam bagi mereka. Kalau terus begini, kita bisa bikin resepsi nyamuk!”
Gobad yang sudah selesai mandi dan mengenakan piyama mulai merasa terganggu oleh gigitan nyamuk. Dia menggigit bibirnya dan bertanya, “Bu, Pak, kenapa nyamuk-nyamuk ini kayaknya lebih suka kita daripada makanan mereka?”
Slumbat menjawab sambil memukul nyamuk dengan handuk, “Mungkin mereka merasa kita adalah hidangan yang spesial, Nak. Atau mungkin mereka juga bingung kenapa kita enggak pakai bumbu-bumbu!”
Jengkok tertawa kecil, “Kalau begitu, mungkin kita harus memesan ‘Anti Nyamuk’ untuk malam ini. Siapa tahu mereka lebih suka pesanan daripada makanan langsung!”
Slumbat menyiapkan beberapa daun sirih dan minyak serai sebagai usaha terakhir untuk mengusir nyamuk. Dia menempelkan daun sirih di sekitar ruangan dan menuangkan minyak serai di sudut-sudut ruangan sambil bercanda, “Kalau ini enggak berhasil, kita bakal jadi pengantin nyamuk malam ini.”
Gobad, yang masih merasa gatal, mencobakan cara yang dia pelajari dari temannya di sekolah. “Bagaimana kalau kita pakai teknik ‘pantomim pengusir nyamuk’? Begini caranya!” Dia mulai bergerak-gerak konyol, berputar-putar sambil mengibas-ngibaskan tangannya seperti menari.
Jengkok dan Slumbat tidak bisa menahan tawa melihat Gobed yang beraksi. “Wow, Gobed! Itu bukan tarian pengusir nyamuk, tapi mungkin nyamuk-nyamuk malah ngerasa ada pertunjukan hiburan!” kata Jengkok sambil tertawa.
Slumbat mencoba menahan tawa, “Kalau mereka bisa tertawa, mungkin nyamuk-nyamuk juga bakal kasih standing ovation!”
Tapi nyamuk-nyamuk itu tetap saja enggak mau menyerah. Akhirnya, Jengkok memutuskan untuk mencoba ide terakhirnya. “Oke, kalau begitu kita harus menyulap kamar ini jadi benteng pertahanan!”
Dia memindahkan semua barang-barang ke tengah ruangan dan menutup jendela dengan kain yang dia ikat rapi. Dia berkata, “Sekarang, kita sudah punya benteng yang kokoh. Tapi jangan harap nyamuk-nyamuk ini gampang menyerah.”
Malam semakin larut, dan keluarga Jengkok masih berusaha bertahan di tengah serangan nyamuk yang tak kunjung reda. Mereka bercanda dan berbagi tawa meski merasa lelah.
Ketika akhirnya mereka semua berbaring di ranjang yang sudah dipasang kelambu, Gobad bercanda, “Semoga malam ini kita jadi bintang film di kalangan nyamuk. Kalau enggak, kita jadi pemenang kontes bertahan hidup!”
Slumbat, dengan senyum lelah, membalas, “Iya, dan kalau mereka menang, kita bisa bikin poster ‘Pertunjukan Malam Nyamuk’!”
Jengkok memeluk keluarganya dan berkata, “Malam ini memang penuh tantangan, tapi yang penting kita masih bisa bersama. Kita hadapi ini dengan tawa dan kebersamaan.”
Mereka semua tertawa, meski rasa gatal masih mengganggu, dan perlahan-lahan tertidur dalam kelambu yang memberikan perlindungan dari nyamuk. Meskipun malam itu penuh dengan gangguan nyamuk, mereka tetap saling mendukung dan merasa bersyukur karena memiliki satu sama lain.
Keesokan paginya, setelah terjaga dari tidur malam yang penuh perjuangan, Jengkok, Slumbat, dan Gobad tertawa mengingat betapa lucunya malam sebelumnya. “Well, mungkin kita bisa jadi ahli pertunjukan nyamuk kalau perlu,” kata Jengkok sambil menatap keluarganya dengan penuh kasih.