Apakah anda mengalami hal-hal tak wajar disekitar anda?
Seperti suara anak ayam di malam hari yang berubah menjadi suara wanita cekikikan? Bau singkong bakar meskipun tidak ada yang sedang membakar singkong? Buah kelapa yang tertawa sambil bergulir kesana-kemari? Atau kepala berserta organnya melayang-layang di rumah orang lahiran?
Apakah anda merasa terganggu atau terancam dengan hal-hal itu?
Jangan risau!
Segera hubungi nomor Agensi Detektif Hantu di bawah ini.
Kami senantiasa sigap membantu anda menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Demi menjaga persatuan, kesatuan, dan kenyaman.
Agensi Detektif Hantu selalu siap menemani dan membantu anda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eko Arifin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 - Wanita Bergaun Putih
Sesaat Ardian masuk kedalam rumah pak Santosa, dia disuguhi ruangan yang nyaman dan sederhana. Tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Melihat sofa coklat panjang dan meja kayu jati yang khas, dia berasumsi bahwa ini ruangan tamu.
Foto pajangan pernikahan pak Santosa dan beberapa foto keluarga membujur dan menghiasi dinding rumah, serta beberapa piagam kejuaraan terpajang di dalam lemari kaca yang membuat Ardian mendekat dan melihatnya.
"Juara 1 Qori'ah sekabupaten? Mantap juga anaknya pak Santosa. Salut gue." tukas Ardian saat memandang foto anak perempuan pak Santosa yang sedang memegang piala besar.
Ardian kemudian melangkah pelan sambil berguman, "Anjir, kagak sopan amat, celingak-clinguk di rumah orang. Hadeh, sadar Ar, elu itu tamu."
Sambil memandangi ruangan sekitar, Ardian merasa nyaman dan tenang di sini, tidak seperti saat dia berada di tempat-tempat angker sebelumnya yang dingin, pengap dan mudah membuat bulu kuduknya merinding seketika.
Tetapi hal itu tidak dia rasakan di tempat ini dan sempat membuatnya keheranan karena yang dia sedang rasakan adalah banyaknya energi positif memenuhi rumah ini.
Ardian berasumsi bahwa keluarga pak Santosa adalah keluarga yang baik, harmonis dan rajin beribadah, serta anak-anaknya yang penurut kepada orang tua dan tidak membangkang.
Hal-hal semacam itulah yang membuat tempat ini di penuhi energi positif dan dapat membuat rumah ini terasa tenang dan nyaman.
Meski begitu, kenapa bisa ada gangguan dari makhluk astral?
Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Ardian saat dia sedang berjalan menuju dapur sebelum langkahnya terhenti di tengan koridor yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga dan juga dapur dengan bentuk huruf T, layaknya sebuah pertigaan di jalan.
Ada energi negatif tepat di sisi tengah dengan ukuran seujung jarum jahit yang membuat Ardian menjatuhkan satu dengkulnya dan meletakan telapak tangannya di lantai.
"Pantesan dukun-dukun sebelum gue susah mendeteksi titik ini... kecil amat, ini mah kayak mencari jarum di dalam tumpukan jerami."
Ardian yang menanggap bahwa titik energi negatif ini seperti jarum sedangkan energi positif dirumah ini layaknya tumpukan jerami di dalam pribahasa yang sering dia dengar.
Ardian yang menggunakan teknik penerawangnya dapat melihat bahwa ada pasak baja yang ditanam di bawah rumah di kedalaman 12 meter dan yang membuat dahi berkerut adalah mantra yang digunakan untuk menanamnya.
"Bentar, bukannya ini bahasa Sangsekerta ya? Wanjir, kosakatanya bahasa kuno lagi."
Ardian menggelengkan kepalanya, sebab pasak baja yang tertanam di rumah ini merupakan benda yang sering mereka sebut dengan Buhul.
Buhul adalah media-media magis yang sudah ada sejak jaman Babylonia, kegunaannya pun bermacam-macam tergangtung niat dan tujuan dari si penanam.
Di dalam kasus rumah pak Santosa, Buhul ini digunakan untuk mengikat makhluk astral yang kemungkinan untuk menjaga barang-barang berharga.
Sedangkan mantra yang berasal dari dalam Buhul itu menggunakan bahasa Sangsekerta yang kuno.
Dia berasumsi bahwa Buhul ini telah di tanam sejak lampau, lebih tepatnya di antara zaman kerajaan pada abad 12 hingga 15 karena besarnya pengaruh agama Hidhu/Buddha pada saat itu.
Bagaimana Ardian bisa menyimpulkan hal itu? Jawabannya ada pada Mantranya.
Mantra adalah susunan kata atau kalimat khusus yang mengandung energi, dapat berupa energi positif atau negatif. Mantra dapat berupa puisi yang memiliki rima dan irama. Biasanya mantra ini sering digunakan oleh dukun, atau pawang untuk menandingi kekuatan ghaib.
Sedangkan bahasa yang digunakan pada mantra terdiri dari beberapa macam bahasa.
Diantaranya ada yang menggunakan bahasa daerah atau bahasa arab gundul, karena kedua bahasa itu yang umum Ardian temukan.
Tetapi jika bahasa Sangsekerta itu di bagi menjadi dua, bahasa kuno dan modern. Jika menggunakan kosakata kuno maka besar kemungkinannya itu berasal dari masa kerajaan Singasari hingga kerajaan Demak.
Jika Ardian menganalisa dengan tenang informasi yang telah dia dapatkan di rumah ini, maka umur Buhul ini bisa mencapai 700 tahun lebih lamanya, dengan kata lain makhluk astralnya pun memiliki kekuatan di atas rata-rata.
Saat masih terduduk memeriksa Buhul dengan penerawangnya, bulu kuduk Ardian bediri kaku, reaksi normal tubuh manusia saat makhluk astral memadatkan energinya dan berada di sekitar mereka.
Ardian kemudian berdiri dan membalik badannya 180°.
"Cilukba!"
Sosok wanita berambut kusut bergaun putih dengan bercak darah berdiri di depan Ardian.
Wajahnya yang pucat dengan kulit putih yang mengelupas berjarak hanya beberapa centimeter di depan wajah Ardian. Mata merahnya menyala dan melotot besar, serta mulutnya robek hingga hampir menyentuh daun telinga menambah kengerian bagi siapapun yang melihat sosok ini.
Tetapi Ardian hanya diam dengan wajah datar saat menatap sosok itu yang tepat di depan wajahnya.
"DOR!"
Teriak sosok wanita itu lagi sebelum menjulurkan lidahnya yang panjang hingga sampai ke lantai, tetapi Ardian hanya diam dengan wajah datarnya.
"Ya elah bang, kaget kenapa, diem bae dari tadi. Pingsankah kau sambil berdiri?"
Sosok wanita begaun putih itu melambai-lambaikan tanganya di depan wajah Ardian yang ia kira telah pingsan dan saat dia mencoba berteriak sekali lagi.
"DUAR MEME-!"
Plak!
"Wanjir, gua di gampar!" pekik sosok wanita itu saat mendapatkan tamparan keras dari Ardian di pipinya.
"Jigong lu tuh bau anyir! Gosok gigi atau pake parfum bunga kamboja kek, biar wangi dikit." teriak Ardian pelan sebelum menutup hidungnya.
Sosok wanita itu kemudian melotot tajam marah dan melayang ke arah Ardian sebelum berteriak, "Dasar manusia biadab!".
Brug!
Dengan santainya, Ardian menendang perut sosok wanita itu dan membuatnya tersungkur ke tanah sebelum menangis dan merintih kesakitan.
"Hu... hu... hu... Jahat banget sih bang jadi orang. Tega sekali dirimu berani menyakiti seorang wanita lemah dan tak berdaya ini. Tega kau bang!"
Tangisannya yang sayu dan lirih itu dapat menakuti orang-orang normal yang mendengarkannya tetapi tidak untuk Ardian, yang hanya menghela nafasnya sambil berjalan kearah sosok wanita itu.
"Ya maaf, lagian elu juga sih pake acara ngagetin orang. Reflekkan tangan gue mendarat tepat di pipimu." kata Ardian yang merasa tidak bersalah sama sekali dan melangkah melewati sosok wanita bergaun putih.
"Huhuhu...."
"Udah gak usah nangis, cengeng amat jadi dhemit. Kesini bentar gue mau ngobrol."
Sosok wanita itu perlahan menghilang seperti asap putih kemudian perlahan menampakan wujudnya yang duduk di sofa ruang tamu dan Ardian sudah duduk di depannya.
Sosok wanita itupun menuruti Ardian karena tidak mau di tampar lagi.
"Duh, sakit bang, bengkak kan pipi gua. Hadeh, mana make up gue jadi luntur lagi." katanya merintih kesakitan sambil mengelus-elus pipinya yang merah dan perutnya yang masih sakit.
"Udah, gak usah nangis, atau mau gua gampar lagi?"
"Jangan lah bang, galak amat ya jadi manusia." sahutnya pendek dan masih mengelus-elus pipinya yang bengkak.
"Lah lu juga kurang kerjaan pake ngagetin orang segala. Untung bukan kakiku yang melayang ke kepala kau."
"Ya elah bang, sadis amat."
Ardian menghela nafasnya pelan dan menunggu sosok ini untuk berhenti menangis agar situasi menjadi kondusif.
Sesaat kemudian, setelah sosok wanita sudah berhenti menangis, Ardian pun langsung mengajukan pertanyaan kepada makhluk astral yang duduk di depannya, "Punya nama gak?".
"Hush, ketus amat. Gak mau lah kalau nada bicaramu kayak gitu. Punya sopan santun gak?".
"Waduh merajuk ini. Iya udah deh maaf ya nona cantik." sosok wanita bergaun putih itu tersipu malu tetapi Ardian menghiraukannya sebelum berdehem dan mulai mengajukan pertanyaan.
"Maaf mbak, kalau boleh tau siapakah nama anda?" tanyanya yang dengan nada formal layaknya interview di kantor-kantor perusahaan.
"Nah gini kan enak di dengar, tapi kalau soal nama, maaf nih mas, bukannya gak mau jawab tapi udah lupa. Udah lama juga soalnya."
"Waduh kalau lupa nama susah ini, masa harus di panggil "Kau" atau "Lu" kan gak etis." kata Ardian sembari menghela nafasnya pelan.
"Kalau gitu masnya aja yang kasih saya nama. Gimana?" saran si wanita bergaun putih.
"Oh, kalau gitu... gimana... kalau saya kasih nama Kinanti... Neng Kinanti?"
Sosok wanita itu kemudian berpikir sebelum menganggukan kepalanya berkali-kali, seakan setuju akan nama yang di berikan Ardian.
"Bagus juga namanya, kayak anaknya kang Bahar. Geluis pisan teh atuh, pinter juga kau kasih nama."
Sosok yang bernama Kinanti itu pun menangguk dengan senyum kecilnya.
"Hihihihihihi!"
Sontak Ardian dengan cepat mengambil selembar koran yang ada di meja sebelum membuntelnya menjadi bola kemudian melemparkannya kearah Kinanti dengan sekuat tenaga.
"Aduh! Sakit atuh bang!" pekiknya kesakitan setelah bola kertas itu menghatam kepalanya dengan sangat keras.
"Gak usah pake acara ketawa! Nanti orang-orang bisa terkencing-kencing tuh dengernya!"
"Ya elah, namanya juga lagi seneng masa gak boleh ketawa. Aneh kau ini bang! Hu, dasar lawang!"
"Eh, si anying malah ngatain, dikira kagak tau itu kata artinya apa di bahasa sunda. Yeuh, jangan sampai vas bunga ini melayang juga ke kepala kau ya!" ancam Ardian setelah mengambil vas bunga yang terletak di atas meja.
"Widih, santai bang. Santai, kan cuman bercanda. Peace!" kata Kinanti sambil mengacungkan jari tengahnya, sebelum merubahnya menjadi huruf "V" dengan jari telunjuk, karena panik saat mau di kasih bogem sama Ardian.
"Nih anak ngajakin berantem kali ya?" celetuknya agak emosi.
"Temperamen amat ya jadi orang, di ajak bercanda kagak bisa. Bang, tak kasih wejangan ya. Hidup itu di bawa santai aja kali bang. Selow, biar gak sepaneng." sahutnya yang sedikit meledek.
"Eh, lu udah mati anjir, malah ngasih wejangan tentang kehidupan."
"Iya bener, status gue udah meninggoy di dunia loe bang, tapi di dunia gue kan masih hidup. Kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, jadi wajar-wajar aja ngasih wejangan satu sama lain. Jangan dilihat siapa yang ngasih nasehat tetapi apa yang di nasehatkan."
"Mau bilang benar tapi gak salah juga sih." sahutnya santai sambil meletakan kembali vas bungan ke atas meja.
Ardian hanya geleng-geleng kepala serta menghela nafas sebelum Neng Kinanti menatapnya dengan wajah serius.
"Emang masnya ke sini mau apa? Mau ngusir saya ya?" tanyanya pendek dengan wajah datar tanpa senyuman, menandakan bawah Kinanti sangat waspada.
Biasanya, para makhluk astral akan marah dan murka jika ada yang mau mengusir atau memindahkan mereka, karena tidak terima dan dengan alasan bahwa mereka telah lebih dulu ada di tempat itu.
Menurut Ardian dari punuturan keluarga pak Santosa, Neng Kinanti ini hanya hidup sesuai alurnya dan tidak ada ungsur kesengajaan untuk mengganggu atupun menunjukan wujudnya di hadapan mereka.
Itu terjadi murni kebetulan.
Meskipun ada beberapa hal yang menjadi ungsur kesengajaan, Ardian merasa bahwa sosok wanita ini tidak ada niat buruk untuk mencelakai keluarga pak Santosa.
Tetapi Ardian perlu mencari informasi lebih dalam untuk bisa melangkah ke tahap selanjutnya.
"Sorry aja ini, pak Santosa dan keluarga merasa terganggu dengan kehadiran Kinanti. Kalau saya pribadi sih pengen dua-duanya sama untung, makanya kita ngobrol sekarang, biar tahu niat neng di sini sebenernya apa. Mau ganggu atau gimana?" pancing Ardian untuk melihat reaksi sosok wanita pucat begaun putih di hadapannya.
Neng Kinanti hanya menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Niat saya di sini tidak mengganggu bang. Tugas saya hanya menjaga barang-barang berharga di wilayah saya seperti emas, uang, pedang, perisai, baju zirah dan pusaka-pusaka lainnya".
"Seperti dugaan gue. Mantra yang ada di Buhul itu bertujuan untuk menakuti dan mencelakai orang-orang yang berniat mencuri di wilayahnya." guman Ardian dalam hati.
"Tetapi setelah tuan saya meninggal. Tugas saya menjaga barang berharga pun menjadi subjektif." lanjut Neng Kinanti.
"Maksud loe?"
"Setelah yang menanam saya itu meninggal "barang-barang berharga" yang dimaksud oleh tuanku telah berubah arti." jelas Kinanti mencoba memberi tahu Ardian niatnya.
"Apa yang dimaksud Neng Kinanti ini bahwa deskripsi barang berharga itu bukan emas, pedang, baju zirah, perisai, dan yang lain-lain seperti tugasmu terdahulu? Tetapi subjektif di sini itu menurut anda sendiri?"
Perlahan tapi pasti, Ardian mulai memahami apa yang di maksud oleh sosok wanita ini.
"Iya mas."
"Jadi anda di sini mau menjaga apa?" tanya Ardian pelan.
Neng Kinanti pun tersenyum kecil dengan penuh kasih setelah mendengar pertanyaan itu. Tiada niat buruk yang terpendam di dalam senyum indahnya. Raut pucat wajahnya tidak menunjukan sedikit kengerianpun, hanya perasaan tulus dan ikhlas yang terpajang terang.
"Saya ingin melindungi keluarga ini mas."