Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 _ Pilihan Yang Tak Terelakkan
Malam itu, Amara terbangun dari tidur yang nyenyak, namun matanya terasa berat. Pikiran tentang Darren dan Rian menghantui setiap sudut otaknya. Tiba-tiba dia merasa terjaga dari mimpi indah dan tersadar bahwa hidupnya kini dipenuhi oleh kebingungan. Terus menerus berputar dalam siklus cinta yang tak kunjung menemukan arah.
Dia menggerakkan tubuhnya keluar dari tempat tidur dan melangkah menuju jendela. Memandangi kerlip lampu kota yang gemerlap, rasanya ada sesuatu yang harus dia putuskan. “Haruskah aku memberi tahu mereka tentang perasaanku?” gumamnya pada diri sendiri.
Ponsel di atas meja bergetar dan mengalihkan perhatiannya. Pesan dari Darren muncul di layar:
Darren: “Hey, Mara! Besok ada festival makanan di taman. Mau ikut?”
Amara tersenyum, merasa hangat dalam hati. Namun, perasaan itu cepat sirna ketika ponsel bergetar lagi. Pesan dari Rian datang:
Rian: “Gimana kalau kita nonton film bareng malam ini? Kangen.”
Kedua tawaran itu mengusik pikirannya. Festival makanan yang mengundang rasa petualangan atau nonton film yang menghangatkan hati? Dia merasa seolah terjebak di persimpangan yang tidak bisa ia lewati dengan mudah.
---
Pagi harinya, setelah berbincang dengan ibunya tentang kegundahan hati, Amara memutuskan untuk keluar dan bertemu dengan teman-teman di kafe. Setidaknya dia butuh suasana baru untuk menenangkan pikirannya. Di kafe, Amara duduk bersama teman-temannya—Sari dan Tania—yang dengan antusias mendengarkan ceritanya.
“Jadi, lo bingung antara Darren dan Rian, kan?” tanya Sari, mengangkat alisnya.
“Iya, kadang gue mikir, kenapa harus sesulit ini?” keluh Amara sambil menyeruput cappuccino. “Keduanya baik, tapi…”
Tania menyela, “Tapi lo nggak bisa milih satu, ya?”
Amara mengangguk, frustasi. “Iya! Setiap kali bareng Darren, gue merasa ceria. Tapi sama Rian, gue merasa tenang.”
“Lo harus nentuin mana yang lebih lo butuhkan sekarang. Kebahagiaan sesaat atau stabilitas jangka panjang,” Sari berkata bijak.
“Stabilitas?” Amara bertanya, bingung.
“Kalau sama Darren, lo mungkin akan selalu dihibur. Tapi sama Rian, lo lebih merasa ada dukungan. Coba deh pikirin baik-baik,” Tania menambahkan.
Kata-kata teman-temannya itu terus berputar di benaknya sepanjang hari. Setelah berkali-kali melihat layar ponselnya, Amara akhirnya memutuskan untuk membalas pesan Rian.
Amara: “Oke, Rian. Kita nonton film malam ini.”
---
Malamnya, Amara bersiap-siap dengan semangat campur aduk. Memilih outfit yang nyaman namun tetap terlihat menarik. Sebelum berangkat, dia melirik ke cermin dan berkata pada dirinya sendiri, “Semoga ini keputusan yang tepat.”
Rian datang tepat waktu, dan Amara merasa hatinya berdebar saat melihat senyumnya. “Lo cantik banget malam ini,” puji Rian, yang membuat Amara tersenyum.
“Thanks! Lo juga,” jawabnya sambil melangkah keluar.
Mereka menuju bioskop, di mana suasana ramai dengan anak muda. Sepanjang perjalanan, Amara merasa lebih santai. Rian yang ceria dan penuh energi selalu membuat suasana jadi hangat. Saat mereka memilih film, Rian mengajak Amara untuk memilih genre yang ringan—komedi romantis.
Film itu membuat mereka tertawa dan berinteraksi lebih dekat. Di beberapa momen, Rian mencuri pandang pada Amara dan senyum manisnya membuat jantung Amara berdebar. Momen-momen kecil seperti itu membuatnya menyadari bahwa Rian tahu cara membuatnya merasa diperhatikan.
Setelah film, mereka pergi ke kafe terdekat untuk menikmati makanan ringan. Rian mulai berbagi cerita tentang kegiatannya akhir-akhir ini, sementara Amara mendengarkan dengan antusias. “Gue ikut komunitas fotografer, dan ini foto-foto yang gue ambil kemarin,” ujarnya sambil menunjukkan foto-foto di ponselnya.
“Wow, keren! Lo harus ajarin gue, dong,” Amara balas bersemangat.
Malam semakin larut dan percakapan semakin dalam. Rian mulai bertanya tentang cita-citanya dan harapan di masa depan. “Kalau lo bisa punya impian, apa yang mau lo capai?”
Amara terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Gue ingin bisa membuat orang-orang di sekitar gue bahagia, mungkin dengan jadi psikolog atau guru.”
“Gue yakin lo bisa! Lo punya potensi besar,” puji Rian.
Mendengar itu, Amara merasa lebih ringan. Ada dukungan yang tulus dari Rian, dan itu membuatnya merasa dihargai.
---
Setelah berpisah dengan Rian dan kembali ke rumah, Amara tidak bisa tidur. Malam itu, pikiran tentang Darren kembali mengganggu. Dia membayangkan betapa serunya jika dia pergi ke festival makanan bersamanya, berpetualang mencicipi berbagai hidangan. Ternyata, masing-masing pria itu menawarkan kebahagiaan yang berbeda.
Di tengah kebisingan pikiran, Amara mencoba mencari jawaban dalam sebuah buku yang baru dibelinya. “Mungkin, cinta itu memang nggak perlu dipaksakan,” pikirnya. “Mungkin gue harus merasakan saja mana yang lebih cocok untuk gue.”
Akhirnya, menjelang pagi, Amara memutuskan untuk memberi waktu pada dirinya sendiri. Dia tidak perlu terburu-buru dalam menentukan pilihan. Cinta bukan tentang siapa yang lebih baik, melainkan tentang siapa yang membuatnya merasa di rumah.
---
Keesokan harinya, Amara memutuskan untuk kembali ke taman tempat dia bersama Darren beberapa hari lalu. Dia ingin merasakan suasana itu lagi. Sesampainya di sana, aroma makanan yang menggoda langsung menyambutnya. Festival makanan itu memang sudah dimulai, dan keramaian membuatnya merasa bersemangat.
Ketika tengah asyik menikmati beberapa hidangan, tiba-tiba dia melihat Darren di antara kerumunan. Darren juga melihatnya dan langsung menghampiri. “Mara! Lo di sini? Mau coba ini!” serunya sambil menunjuk ke arah gerai makanan.
Amara merasakan jantungnya berdebar. Dengan Darren, suasana jadi penuh keceriaan. Mereka menghabiskan waktu berkeliling, mencicipi berbagai makanan, dan tertawa bersama. Dalam satu momen, Darren menggenggam tangannya dan berkata, “Gue seneng bisa di sini bareng lo. Lo bikin semuanya jadi lebih seru.”
Amara merasa hangat. Di satu sisi, dia menyadari bahwa Darren bisa membawa kebahagiaan yang luar biasa dalam hidupnya, tapi di sisi lain, dia teringat kembali pada Rian yang selalu ada untuk mendukungnya.
Satu hal yang pasti, Amara harus membuat keputusan. Setiap interaksi dengan keduanya membuatnya semakin mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan. Di satu sisi ada kebahagiaan yang penuh warna bersama Darren, di sisi lain ada ketenangan dan dukungan dari Rian.
---
Perasaannya semakin membingungkan. Terkadang, cinta itu memang membuat seseorang berada dalam dilema. Namun, di tengah kebingungan itu, Amara merasa satu hal: dia tak ingin menyakiti hati siapa pun.
Amara menatap Darren yang tertawa lepas di sampingnya. “Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya dalam hati, merasakan ketegangan yang semakin menggebu di dalam dirinya.
...----------------...
Bagaimana dengan episode ini, Apakah Iman Kalian Goyah, Mau Sasimo juga??🤣🤣
#Jangan ya dek ya 🤣
Ok Next Part aja Lahhh.....
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/