NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Me, You, and Coffee part 2 end.

Aku memasukkan bumbu sop ke dalam periuk lalu menutupnya kembali. Aku mendesah lega. Akhirnya tinggal menunggu sop ayam buatanku matang. Aku harap Alan akan menyukai masakan buatanku. Hanya masakan ini adalah satu-satunya cara berterima kasih yang terpikir olehku atas bantuan yang Alan berikan. Aku pikir, karena Alan selalu terang-terangan memperlihatkan perasaannya padaku, ia pasti akan senang menerima makanan buatanku.

“Wih! Tumben masak.”

Aku mengulas senyum di bibir untuk menyambut Andin yang baru datang. “Kamu habis dari mana?”tanyaku.

“Pasar. Biasa, belanja mingguan.” Andin meletakkan belanjaannya di meja dapur lalu menarik kursi di sebelahku untuk duduk. “Ayo ngaku. Masak buat siapa?”godanya.

Aku tersipu-sipu.

“Aduh! Banyak yang bakal patah hati kayaknya,”godanya lagi. “Eh, iya. Tadi aku ke Café Alan tapi kok dia nggak buka, ya? Kalian janjian buat pergi bareng, ya?”

Keningku berkerut. “Nggak, kok. Ini juga mau ngasih kejutan.”

“Cariin ke rumahnya aja nanti. Cafenya nggak buka,”usul Andin.

Aku ingat, kemarin Alan sempat berkata kalau ia kena flu. Apa penyakitnya semakin parah, ya?

Aku mengetuk pintu rumah Alan, berharap ia tidak membuka pintu karena ia sedang berada di suatu tempat dengan teman-temannya, bukannya terbaring sakit seorang diri di rumah ini. Tidak ada sahutan, tapi melihat tidak satu pun jendela rumahnya yang terbuka, aku jadi khawatir Alan malah tumbang. Alan yang kukenal selalu membuka jendela rumahnya yang berteralis walau ia sedang pergi ke Café. Katanya untuk menjaga udara rumah agar tetap sehat.

“Alan! Kamu ada di rumah nggak?!”teriakku panik.

Aku medengar suara batuk yang terdengar menyiksa dari dalam rumah. Ya Allah! Mungkin sakitnya memang semakin parah.

Pintu berayun terbuka, menampakkan wajah kuyu dan pucat Alan. Meski pun terlihat lemah, ia tetap berusaha tersenyum untuk menyambutku. “Hai. Butuh bantuan lagi?”tanyanya dengan suara serak yang lebih parah dari kemarin.

Aku mendesah lalu menyentuh keningnya tanpa izin. Aku meringis saat merasakan perbedaan suhu yang jauh antara telapak tanganku dan keningnya. “Katanya cuma flu. Kok sekarang kamu malah demam?”

Alan tersenyum. “Kamu peduli?”

“Ya pedulilah! Kita udah kenal lama! Pernah hidup bareng juga! Nggak mungkin aku nggak peduli!”omelku.

Alan tertawa senang. “Aku seneng kamu masih peduli. Aku memang butuh kamu saat ini.” Ia melirik kotak makan susun yang kubawa. “Wih! Bawa makanan, ya? Kebetulan aku laper banget.”

Aku mendesah. “Udah minum obat?”

“Nggak punya obat apa pun di kotak obat. Sejak kamu pergi, nggak ada lagi yang perhatiin kebutuhanku.”

“Jangan mulai.”

Alan mengedikkan bahu. “Aku ngomong apa adanya, kok.”

“Aku bawa obat flu sama paracetamol. Habis makan nanti langsung minum obat, ya.”

“Oke Nyonya Besar!”

Aku tertegun. Panggilan lama itu kembali kudengar dari mulutnya.

“Eh, udah bukan, ya. Sorry. Aku kira kamu masih istriku,”candanya.

Aku mendengus. “Jahil.”

Alan terkekeh. “Pengen nostalgia aja.”

“Boleh masuk nggak, nih?”

“Boleh, dong. Yuk.”

Aku melangkah masuk, sedikit khawatir melihat tubuh Alan berjalan pelan terhuyung-huyung menuju ruang makan.

“Alan! Duduk di sini aja!”seruku. “Aku siapin makanannya di sini aja!”

Alan menoleh. “Kenapa? Bukannya kamu nggak suka makan kalo nggak di ruang makan?”

“Nggak usah dipaksain. Dulu kalo kamu sakit biasa juga makan di kamar.”

Alan duduk di lantai yang tertutup karpet. “Masih ingat aja kamu. Aku ngaku, deh. Emang nggak kuat gerak sejak subuh. Semalam juga nggak bisa tidur karena bersin dan batuk terus.”

“Kok nggak pake jaket, sih? Kamu kan kalo demam emang sering kedinginan,”omelku.

Alan mendesah. “Jaketku lagi di laundry semua. Belum aku jemput.”

Aku mendecak. “Manja, deh. Di rumah ini kan ada mesin cuci. Boros, ya, kamu.”

“Mau gimana lagi. Aku sibuk di Café. Pas pulang udah capek. Istri aku kan udah minta cerai, jadi aku nggak bisa asal ambil dan pakai baju lagi.”

Aku kesal di sindir terus. “Comot aja tuh, cewek yang naksir kamu! Istri kamu capek jadi babumu, makanya minta cerai!”

Alan tertawa pahit. “Kok dia nggak pernah bilang, ya? Kalo aku tau pasti aku cariin pembantu. Ini malah langsung minta cerai aja. Bikin hatiku sakit aja.”

Aku menggeram kesal. “Kamu kan sibuk ngurus Café! Bahkan buat program hamil aja kamu nggak mau! Kamu nggak peduli sama istri kamu yang kangen gendong bayi! Café terus yang diurusin sampai buka cabang di mana-mana! Uang terus yang kamu cari! Padahal istri kamu rela hidup sederhana asal bisa bangun keluarga bahagia kayak yang dia impiin sejak kalian masih pacaran! Emang kamu inget?!”

Alan terlihat kaget. Ia terus menatapiku yang terengah-engah seolah ia baru mendengar semua ini. Oh, iya. Ini luapan amarah dengan pikiran jernihku yang pertama. Ini memang pertama kalinya aku mengatakan semua penyebabku ingin bercerai. Dulu aku lebih banyak menangis tanpa menjelaskan apa-apa. Aku tidak pernah memberinya kesempatan untuk memperbaiki apa pun karena ia tidak punya waktu untuk mendengar keluh kesahku. Ia hanya mencariku saat butuh seks dan makan. Selebihnya, ia hanya berkutat dengan pekerjaannya.

“Kamu nggak pernah bilang. Jadi selama kita nikah kamu nggak bahagia sama aku?”tanyanya, terdengar merasa bersalah.

“Aku mau gendong bayi! Tapi kamu selalu nolak periksa dengan alasan sibuk! Kamu nggak pernah ada saat aku butuh kamu! Padahal aku selalu jadi istri yang selalu ada buat kamu! Aku ngerasa waktuku yang aku kasih buat ngurus kamu nggak bisa bikin kamu mau ngasih aku waktu kamu juga buat hidupku! Aku capek! Kamu nggak pernah jadiin aku dan keluarga yang kita bangun sebagai prioritas dalam hidup kamu! Makanya aku pergi! Jangan sindir-sindir aku lagi! Aku muak dengernya!”

“Kamu nggak pernah bilang! Aku nggak tau salah aku apa! Ya aku kesel, lah! Aku sama kamu nggak pernah berantem tapi tiba-tiba kamu minta cerai! Kenapa nggak bilang kalo Mau program hamil?!”

“Kamu selalu sibuk!”

“Kalo aku tau kamu butuh aku, aku pasti luangin waktu!”

Aku mendesah. “Nggak usah bahas ini lagi. Kita udah selesai. Aku siapin makanan dulu. Habis kamu makan dan minum obat, aku pergi,”kataku dingin.

“Kenapa kamu peduli?”tanyanya dengan suara bergetar. “Biarin aja aku mati sekalian.”

Aku tercengang mendengarnya bicara seperti itu. Seperti bukan Alan yang kukenal saja. Nada putus asa itu bukan bagian yang kukenal dari dirinya. Nada itu membuatku berpikir dia bukan lagi Alan si independent yang tidak butuh siapa pun dalam hidupnya. Sekarang ia terdengar seperti memohon belas kasihanku.

“Aku hancur sejak kamu pergi, Mina. Aku ngerasa nggak punya alasan buat hidup lagi. Tiap hari setelah aku talak kamu dipengadilan agama, aku mikir sebaiknya ajalku datang lebih cepat dari yang seharusnya. Padahal kamu pernah janji kalo kita akan selalu sama-sama sampai jadi tua renta, tapi kamu malah buang aku dari hidup kamu,”katanya dengan nada putus asa yang asing itu. Air mata lalu mengalir dari kedua matanya yang terus menatapku.

Mataku berkaca-kaca. Aku merasa bersalah. Kalau saja aku cukup kuat dulu saat minta bercerai, aku pasti melontarkan alasanku minta bercerai agar dia bisa memutuskan akan menuruti keinginanku atau melepasku. Tapi aku malah meninggalkannya tanpa menyatakan alasan. Rasanya ini semua memang salahku.

Aku mendekati tubuh laki-laki yang kukira kuat itu, meletakkan kotak makan yang kubawa lalu memeluknya. “Maafin aku, ya,”mohonku.

Alan meraungkan tangisnya lalu memelukku erat. “Jangan tinggalin aku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu tau aku selalu bergantung sejak dulu sama kamu. Aku nggak bisa nahan rasa sepiku tiap kali pulang ke rumah kita. Aku beli rumah ini buat kita, bukan buat aku tinggali sendiri. Aku kesepian. Nggak peduli berapa kali pun aku berusaha buka hati buat perempuan lain, kenangan tentang kamu selalu menghantui hidupku. Kalo nggak sama kamu bahagia nggak punya defenisi dalam hidupku.”

Aku mengusap-usap punggung Alan sambil menahan air mataku. Sekarang aku mengerti siapa sebenernya yang salah dalam hubungan kami. Mungkin Alan memang salah karena terlalu sibuk, tapi akulah yang lebih salah karena meninggalkannya tanpa alasan. Hatiku damai mengetahui hal ini. Ternyata Alan bukannya tidak mencintaiku. Kami hanya saling salah paham. Aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan memperbaiki semua ini.

~Selesai~

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!