Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau papa baru
Kendrick mengusap bibir Kirana lembut. Matanya terkunci menatap obyek yang begitu mempesona.
“Jangan terus menghindar, Kirana. Aku muak melihatmu terus bersikap dingin,” desisnya, bibirnya meniupkan udara lembut.
“Kamu boleh marah, memaki bahkan menamparku, tapi jangan menghindar dan menjauh. Aku tidak suka melihatnya.”
Kirana menatap manik hitam tersebut dalam diam. Bibirnya keluh untuk mengutarakan penolakan, sebaliknya dia merasakan nyaman dalam pelukan tangan kekar tersebut.
“Jawab Kirana!” Kendrick mengguncang bahunya lembut membuatnya tersadar seketika.
“Aku ....”
“Kamu milikku, tidak akan ada yang boleh menyakitimu. Bahkan jika itu suamimu sendiri, aku tak segan membunuhnya untukmu,” potong Kendrick dengan penuh penekanan, auranya begitu pekat dan mengintimidasi.
Rasanya Kirana ingin menangis saat ini juga.
Perasaan apa yang sedang dirasakan saat ini? Kenapa rasanya begitu tenang dan damai.
Kepalanya menunduk dan berkaca-kaca. “Ini tidak benar,” ucapnya lirih.
“Apa yang tidak benar? Suamimu bahkan menikahi wanita lain hanya demi keturunan,” desis Kendrick dingin.
Sontak saja ucapannya membuat Kirana terkejut, kepalanya mendongak menatap pria yang saat ini juga menatapnya.
Darimana dia tahu, pikirnya.
“Jangan tanya darimana aku tahu. Aku bahkan tahu semuanya,” jelasnya lagi.
“Anda lancang, Pak! Mencari tahu kehidupan karyawan bukanlah rana perusahaan.”
“Aku tidak bicara sebagai atasan, aku tidak bicara kepada bawahan. Aku bicara sebagai seorang pria.”
Kirana kembali mengatupkan bibirnya, dia ingin marah, tetapi perasaannya justru berbeda.
“Kenapa Anda lakukan ini,” lirihnya, bahunya merosot tetapi pria itu kembali merangkul pinggangnya erat.
“Aku benci melihatmu ditindas, Kirana!”
“Tapi itu bukan urusan Anda.”
“Akan menjadi urusanku karena pria itu tak pantas menjadi suamimu. Dia pria pengecut.”
“Tapi dia suamiku. Ayah dari anak-anakku.” Lemah, Kirana mengatakannya dengan begitu frustrasi.
Masihkah Zidan pantas disebut suami di saat pria itu lebih memilih orang lain?
“Aku siap menggantikan pria itu!”
Jantung Kirana langsung berpacu lebih keras. Matanya membulat sempurna, terkejut dengan ucapan pria di hadapannya ini.
“Anda gila!” Kirana segera memaksakan diri lepas dari pelukan Kendrick, setelah itu dia keluar dengan perasaan campur aduk.
“Dan kamu yang membuatku gila,” desis Kendrick, menatap pintu yang ditutup dengan kasar.
Pria itu menarik rambutnya dengan kasar. Dia lepas kendali. Marah karena di saat seperti ini Kirana masih saja membela suaminya.
Kirana tak kembali ke meja kerja, dia masuk ke toilet yang ada di dekat pantry. Menyalakan keran air dan menangis di dalam sana.
Tidak, ini salah, ini tidak benar. Dia terus menyangkal perasaannya.
Hampir dua puluh menit dia menenangkan diri di sana, setelah itu mencuci wajah dan kembali ke meja kerjanya.
...✿✿✿...
Sore harinya Kirana pulang tanpa pemberitahuan. Dia tidak ingin berhadapan dengan atasannya, tidak kali ini.
Sesampainya di rumah, dia disambut dengan Zidan dan keluarganya. Ada ibu, adik dan satu wanita lain yang tak diketahui.
Dia melewatinya begitu saja tanpa menyapa. Suasana hatinya sedang buruk dan diam adalah caranya menghindari pertengkaran.
“Kirana!” bentak Zidan keras, diacuhkan begitu saja.
“Dasar nggak sopan. Ada mertua datang bukannya disambut malah nyelonong gitu aja. Emang istrimu itu nggak baik,” omel ibu mertua, semakin menyulut suasana.
“Mbak Kirana kok gitu sih, nggak sopan banget,” seru Nina.
Kirana tidak peduli, dia masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya terpejam, bayangan pria itu membuatnya membuka mata lagi.
Pria itu benar-benar mengganggu dan memenuhi isi kepalanya.
Sentuhan dan ciuman pria itu begitu lembut dan membuatnya tanpa sadar kembali memegang bibirnya.
“Ini nggak bener, jangan merusak pernikahanmu. Cukup Zidan aja yang gila, kamu jangan ikutan,” gumamnya lirih.
Kirana sudah membentengi diri sekuat mungkin. Dia menyadari statusnya, tetapi entah mengapa akhir-akhir ini tubuhnya begitu berkhianat.
Apa yang ditolak justru semakin kuat membara dalam dirinya.
Daripada pikirannya menjadi membayangkan hal-hal yang lebih, dia memutuskan mandi dan mengguyur kepalanya agar kembali waras. Setelahnya dia melihat Zidan duduk di sofa dengan tubuh yang disandarkan, kepalanya segera menoleh meliriknya yang duduk di depan meja rias.
“Kirana, sikapmu semakin hari semakin keterlaluan. Nggak jelas, apa yang membuatmu seperti ini,” ucap Zidan.
“Kamu bodoh atau pura-pura bodoh.”
“Jaga bicaramu, nggak sopan.”
Zidan menghampirinya. Dari pantulan cermin, Kirana bisa melihat bahwa pria itu menatapnya tajam.
“Terus aku harus ngomong gimana? Kamu kok malah nanya kayak orang bodoh, jelas kamu tahu apa yang bikin aku berubah.”
“Kirana Mirabelle!”
“Apa! Apa! Mau nampar aku, tampar lagi. Nggak cukup kamu nyakitin hatiku, sekarang main tangan udah jadi kebiasaan kamu, ya.”
“Itu karena kamu sendiri yang semakin hari semakin kurang ajar.”
“Kan, aku diajari kamu. Ingat, Mas, ada sebab ada akibat. Segala sikap pasti ada timbal baliknya, jadi segera bangun dan sadari kekacauan ini semuanya bermula dari kamu dan keluargamu.”
“Ya Tuhan, salah apa aku,” gumam Zidan lirih.
“Salahmu karena mengkhianati pernikahan kita. Kalau kamu dari awal ngomong dan mau terbuka, semuanya nggak akan jadi seperti ini. Masalah anak laki-laki, kita bisa program jika memang kamu pengen banget, tapi kamu ambil langkah lain.”
“Aku udah minta maaf soal itu,” bantah Zidan membuatnya terkekeh sinis.
Kirana sengaja melempar vas bunga yang ada di dekat meja rias hingga hancur berkeping-keping dan perbuatannya membuat Zidan terkejut.
“Apa yang kamu lakukan?!”
Tangan Kirana menunjuk pecahan vas tersebut, matanya melirik Zidan sekilas.
“Oh, maaf, enggak sengaja Mas.”
Kirana segera melewati Zidan begitu saja, sebelum membuka pintu dia kembali menoleh menatap suaminya.
“Apa kata maaf aja bisa bikin vas itu kembali utuh? Apa kata maaf bisa mengulang keadaan sebelum aku memecahkannya? Sama seperti itulah hubungan kita,” ucapnya, segera menutup pintu.
Keluar dari kamar Kirana bisa mendengar suara gelak tawa dari arah ruang tamu. Mencoba mengabaikannya dan segera masuk ke kamar sang anak.
“Anak mama lagi ngapain? Kok diem aja,” tanyanya. Biasanya kedua anaknya akan selalu bertanya dan menyambut dengan senyum hangat.
“Kata papa yang di depan itu mama baru. Dia mamanya Radit,” gumam Rina muram.
Jantungnya berdetak, terkejut bahwa Zidan mengaku begitu saja bahkan memperkenalkan secara jujur pada anaknya.
Dasar brengsek, beraninya kamu mengakui itu di depan anak-anak.
“Aku enggak mau punya mama baru, Ma.”
Kepalanya menggeleng secara tegas. “Nggak akan ada mama baru.”
“Tapi nenek bilang, dia mama baru dan kita harus panggil dia mami, sama kayak Radit.”
“Katanya kita mau punya adek,” sahut Lina polos.
“Aku enggak mau, Ma.” Rina menoleh dan menatapnya dengan buliran bening yang membasahi pipi.
Segera dia maju dan merengkuh kedua anaknya. Dia mengusap bahu mereka lembut dan penuh kasih sayang.
Dalam hatinya mengumpat berkali-kali. Dia mengutuk setiap perkataan Zidan yang menyakiti hati sang putri.
“Mama Kirana tetep mama kalian. Nggak akan ada yang baru,” ucapnya lembut.
Setelah keduanya tenang, dia segera mengajak keduanya makan malam. Saat mereka berjalan keluar, tiba-tiba ucapan polos Lina membuatnya terkekeh.
“Kalau kami punya mama baru, mama harus nyari papa baru biar bisa sama-sama baru.”
“Mau ya, Ma?”
To Be Continue ....