Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 01 - Pria Asing di Malam Perayaan
Saat itu, malam yang indah di bulan Desember. Hujan yang turun sepanjang sore telah reda dan langit kembali cerah. Bintang-bintang bermunculan membentuk titik-titik cahaya di ketinggian angkasa di atas sana. Namun, embusan angin yang memukul pepohonan membuat aroma hujan yang telah reda tetap bertahan sepanjang malam, seakan alam masih ingin menyegarkan diri lewat udaranya yang dingin dan basah.
Aku bangun menghadap kaca lemari, seraya berpose.
"Aku siap, malam ini adalah malam yang baik. Aku berdandan lebih feminin dari biasanya, biar kalau ketemu Kak Jafar, aku akan langsung mengutarakan perasaan."
Malam ini adalah malam perayaan desa sebagai tradisi tiap tahun untuk mensyukuri hasil panen. Dan malam ini juga aku akan menyatakan cinta pada lelaki pujaan hati yang selama ini aku sukai; Kak Jafar.
Sesampainya di balai desa; tepatnya di tempat pertunjukan acara perayaan, kuparkir sepeda ontel ku samping pohon mangga yang rimbun. Rupanya acara sudah dimulai. Kali ini, tampak lebih berbeda dari perayaan-perayaan di malam-malam sebelumnya, ada banyak tamu kehormatan yang diundang dari kota. Namun, diantara banyaknya kemegahan dan orang-orang itu mataku tak henti untuk mencari sosok yang memang ingin ku temui dari awal.
"Kak Jafar?" timpal Nin, tetanggaku sambil mengerutkan dahi, begitu aku selesai membisikkan tujuanku di telinganya.
"Ya," jawabku. "Lihat tidak?"
"Lihat," katanya sedikit berteriak karena suara musik di panggung yang cukup keras. "Kalau tidak salah, tadi itu Kak Jafar ke ruang penyimpanan di dalam sana." Nin menunjukkan suatu ruangan di dalam balai desa dengan jari telunjuknya.
"Terima kasih, Nin. Aku mau masuk ke sana dulu."
"Boleh, mau pacaran ya?" dia mengejekku. Nin dan semua teman sekolah ku, hampir semuanya tahu kalau aku memang mengagumi dan mencintai Kak Jafar, Kakak kelas kami dulu. Namun, karena masih sekolah aku menahan diri untuk tidak bilang, ibu bisa marah kalau tahu aku pacaran sebelum lulus.
Makanya, setelah Lulus SMA satu bulan yang lalu kini aku memberanikan diri untuk menemui Kak Jafar.
"Kalau sekarang belum," ujarku. "Tapi sebentar lagi, doakan ya."
"Oke, semangat. Aku yakin besok sudah beda status, tidak jomblo lagi."
Aku pun berharap demikian.
Aku masuk ke dalam balai desa dengan susah payah karena harus menerobos orang-orang yang sibuk berjoget. Sampai dipojok ruangan, satu-satunya tempat yang kemungkinan ada Kak Jafar. Kuputar gagang pintu, rupanya tidak terkunci. Aku segera masuk. Mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap inci ruangan yang mengerikan, hanya diterangi cahaya remang.
"Mana lampunya?"
"Sepertinya tidak ada." Kataku pasrah.
Sambil berjalan pelan, kuseru memanggil nama: "Kak? Kak Jafar?"
"Kakak ada di dalam sini tidak?"
Pada detik berikutnya, setiap panca indraku seolah tertutup begitu sebuah telapak tangan membekap mulutku dari belakang.
Dari ukuran tangannya, aku yakin kalau ini bukanlah tangan perempuan melainkan tangan seorang pria dewasa. Tapi siapa? Apakah Kak Jafar?
"Jangan bergerak!" Lelaki itu mencengkramku selagi berteriak. Sementara pikiranku mulai kacau karena ini bukanlah suara milik Kak jafar. Suara orang ini jauh lebih berat, lebih dewasa dari kisaran usia kami.
"Kamu siapa?" Kataku memberontak walau sebenarnya takut setengah mati.
"Jadi kamu yang mau menjebakku? Dasar orang kampung!"
Lelaki itu marah sambil menghembuskan napas di telingaku, sementara aku tidak mengerti sama sekali yang dia katakan.
"Bukan!" sergahku. "Aku tidak tahu apa-apa! Aku tidak tahu kamu siapa, aku kemari cuma mau cari Kak Jafar."
Lelaki itu tiba-tiba mendorongku ke lantai. Dia menimpa tubuhku, sementara aku terbaring di bawahnya, memberontak dan ketakutan. Dia menutupi tubuhku dengan tubuhnya, dan kedua tanganku terkunci oleh cengkeraman tangannya yang kuat. Aku terus berteriak, berharap seseorang datang menolongku dari pria buas yang gila ini dan dia menyuruhku agar tetap diam, berharap itu berhasil membungkamku.
Mataku terbelalak karena shock saat sedang memandang lelaki ini, tak ada yang bisa ku saksikan dengan jelas karena cahaya ruangan yang remang bahkan sangat gelap. Dadaku naik turun seiring napas yang memburu, kurasakan tekanan tubuh pria itu pada tubuhku.
"Jangan bersuara. Tetap di sini."dia memerintahku lagi.
Dan aku tidak terbiasa dengan perbuatan semacam ini.
"Aku tidak kenal kamu. Aku sedang mencari seseorang di sini. Demi Tuhan aku tidak ada urusan apa pun denganmu." Suaraku terdengar semakin tinggi seiring setiap kata yang keluar. Rasa takut seolah mengambil alih segalanya. Aku yakin lelaki ini pun bisa melihatnya di mataku, dan merasakan ketegangan mendadak yang mencengkeram tubuhku.
"Diam!" Dia berkata tegas.
"Tidak. Menyingkirlah dariku. Kamu harus menyingkir. Aku harus keluar dari sini, aku harus menemui seseorang---"
Tiba-tiba lelaki itu mencivmku. Seakan itu adalah cara paling jitu untuk membungkam. Mulutnya menyentuh mulutku, dan sesuatu yang seharusnya menjadi sederhana untuk menyelesaikan masalah, dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang sangat berbeda.
Selagi aku berusaha melepaskan diri, tangan lelaki itu mencengkeramku dengan kekuatan sepuluh kali lipat lebih kuat dari kekuatan yang kumiliki. Dia sama sekali tak memberikan ku ruang untuk mundur, dia menuntut untuk memeluk ku lebih erat, lebih kuat. Sementara mulutnya, masih sibuk mencumbv yang seharusnya bukan diperuntukkan untuknya. Aku benci mengatakan ini, tetapi lelaki itu seolah ingin mengambil sesuatu yang lebih dari ku.
Tubuh lelaki itu tegang karena gairah dan hasrat. Dan saat aku berusaha mengamatinya, mata gelap miliknya memancarkan sinar keperakan yang mengisyaratkan kebutuhannya terhadapku.
Aku tak memiliki kemampuan lagi untuk melawan, setelah pria itu kembali mendaratkan civmannya di bibirku. Tangan lelaki itu menyusup ke balik baju yang kukenakan, membelai setiap inci kulit ku yang tidak seharusnya dia sentuh. Napasku kian tersengal, saat dia perlahan-lahan mulai berkuasa.
Kemudian seluruh pikiranku terhenti. Semua usahaku menghilang selagi tubuhku akhirnya menyerah pada sentuhan seorang lelaki yang sama sekali tidak aku kenal. Dengan lihai dan dalam sekejap, dia melucuti pakaian miliknya dan menyentuhku di atas tumpukan seprai sutra biru. Meski sekali lagi aku mencoba memberontak dan melepaskan diri, namun lelaki ini jauh menahanku lebih kuat.
Dia menikati duniaku, sementara aku hanya bisa memandang tato harimau hitam di dadanya, gambar yang kuingat telah membelenggu hidupku dalam kesuraman. Dia menikmati kehalusan kain sutera, memuaskan hasrat sensvalnya serta memuaskan kilatan api di mata keperakannya.
Kuhela napas dan membiarkan tatapanku menjelajahi tiap inci tubuh lelaki itu. Sepertinya dia sudah siap untuk hal itu lagi, dan aku gemetar penuh harap agar dia mau membebaskan ku. Tetapi, dia menahanku seolah menginginkan milik wanita melebihi apa pun.
Tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku, dan tak ada seorangpun yang masuk ke dalam. Nampaknya perayaan di luar memang sangat menyenangkan....
Malam ini, aku gagal menyatakan cinta pada Kak Jafar. Bukan hanya malam ini, kupikir. Melainkan untuk selamanya aku tak akan pernah bisa menyatakan cinta pada lelaki yang kupuja, sebab hari ini, seorang pria telah datang merenggut dunia ku secara paksa...