"Pergilah sejauh mungkin dan lupakan bahwa kau pernah melahirkan anak untuk suamiku!"
Arumi tidak pernah menyangka bahwa saudara kembarnya sendiri tega menjebaknya. Dia dipaksa menggantikan Yuna di malam pertama pernikahan dan menjalani perannya selama satu tahun demi memberi pewaris untuk keluarga Alvaro.
Malang, setelah melahirkan seorang pewaris, dia malah diusir dan diasingkan begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Akan Pergi Ke Tempat Yang Baru
Mobil yang dikemudikan Rafli melesat cepat menerobos jalanan yang padat. Beberapa kali ia hampir menabrak kendaraan di depan ketika berusaha menyalip. Rafli tak peduli apapun lagi, yang ia inginkan hanya menemukan Aika dan juga Arumi, dan membawa mereka pulang ke rumah.
"Aku tahu kau sedang buru-buru, tapi tolong jangan gila!" ucap Evan sambil mengetatkan pegangan. Karena kegilaan Rafli, ia harus beberapa kali terbentur ke jendela mobil.
"Jangan banyak bicara! Kau mengganggu konsentrasiku!"
Bukannya mengindahkan peringatan Evan, Rafli malah semakin menggila. Menginjak pedal gas dalam hingga mobil melaju cepat bak hembusan angin.
"Setidak nya aku harus ada saat anakku lahir. Aku tidak mau mati karena kekonyolanmu ini!" Lagi, Evan bersuara. Laki-laki itu agak trauma berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebab beberapa bulan lalu ia mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa berjalan dalam waktu yang cukup lama.
Osman yang duduk di belakang ikut merasakan ketegangan. Ia agak menyesal mengapa tadi membiarkan Rafli yang menyetir. Padahal ia tahu betul bagaimana laki-laki itu saat sedang panik.
"Itu benar! Kalian berdua enak, sudah punya anak. Aku masih sendiri sampai sekarang," tambah Osman meratapi kejombloan-nya.
"Kenapa kalian berisik sekali sejak tadi?" Rafli melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan di depan. Dia sudah cukup terganggu dengan ocehan Evan dan Osman.
"Bukan kami yang berisik, tapi kau! Apa kau tidak sadar kalau perbuatanmu ini bisa membahayakan orang lain?" gerutu Evan.
"Aku tidak peduli!"
Sebuah jawaban singkat yang berhasil membungkam Evan. Sejenak ia menoleh ke belakang. Osman terlihat sedang berpegangan pada kursi dengan raut wajah tertekuk.
*
*
Jarak tempuh yang normalnya satu jam hanya ditempuh dalam 20 menit, karena Rafli mengemudi dengan kecepatan penuh, hingga membuat Evan dan Osman merasa mual.
"Oh perutku mual sekali," keluh Evan sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
Begitu mobil terhenti, Rafli bergegas turun meninggalkan Evan dan Osman. Ia bahkan memarkir mobil dengan sembarangan dan mengakibatkan kemacetan sepanjang jalan di depan lobi. Osman pun harus menjadi sasaran omelan pengendara lain dan harus membereskan kekacauan itu.
Sementara Rafli sudah memasuki lobi. Kaki nya perlahan melangkah menerobos lautan manusia. Mencari sosok wanita bercadar dan juga putri nya.
"Aika!" panggil nya dengan raut frustrasi.
Rafli berjalan dengan gelisah, berharap menemukan Aika dan Arumi pada salah satu dari orang yang dilihatnya. Tetapi sama sekali tidak terlihat salah satu dari mereka di sana.
"Arumi, Aika!" teriak Rafli sekali lagi.
Tak menemukan tanda keberadaan mereka, Rafli nekat menerobos ke ruang tunggu. Tetapi seorang petugas bandara menghadang dan menghentikan nya.
"Maaf, bisa tunjukkan tiket Anda?" tanya lelaki itu.
"Aku tidak punya tiket. Aku hanya ingin menyusul anakku dan ibu nya yang menjadi salah satu penumpang. Tolong izinkan aku masuk, ini sangat penting!"
"Maafkan saya sekali lagi, Tuan. Hanya penumpang yang memiliki tiket yang bisa masuk ke ruang tunggu," ucap petugas keamanan itu dengan sopan.
Rafli semakin frustrasi. Apa lagi jadwal keberangkatan pesawat Arumi tinggal beberapa menit lagi dan ia takut tidak akan punya cukup waktu. Sementara petugas bandara tersebut sama sekali tak memberi izin.
**
**
Di sisi lain,
Arumi mengusap puncak kepala putri nya yang sedang menikmati snack kesukaan nya. Mereka sedang duduk di sebuah ruangan sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat.
Sesekali Aika menatap beberapa pesawat yang terparkir, yang dapat terlihat jelas dari dinding kaca transparan di ruang tunggu. Gadis kecil itu sangat antusias, karena ini adalah pertama kali nya melihat pesawat dari jarak dekat.
"Kakak Alesha, apa kita akan naik pesawat?" tanyanya polos.
"Iya, Sayang. Kita akan naik pesawat dan akan pergi ke tempat yang sangat menyenangkan," jawabnya.
"Apa daddy-ku sudah menunggu di sana?"
Arumi terdiam selama beberapa saat. Ia tak tahu harus memberi jawaban apa. Karena sudah beberapa kali si kecil Aika menanyakan keberadaan daddy-nya. Bahkan semalam sebelum tidur di hotel, ia terus menanyakan mengapa daddy-nya belum juga datang.
"Maafkan mommy, Sayang. Kita hanya akan pergi berdua saja, tanpa daddy. Mommy berjanji kita akan bahagia walaupun tanpanya."
Sedikit rasa bersalah menjalar ke hati Arumi. Ia merasa tidak memiliki hak untuk memisahkan Aika dengan daddy-nya. Tetapi, Arumi tidak punya pilihan lain, selain membawa Aika pergi bersamanya. Karena dia yakin Rafli pasti akan kembali menjauhkan nya dari Aika, jika mereka sampai tertangkap hari ini. Dan kenangan buruk mungkin akan terulang kembali. Ketika Rafli tega mengasingkan nya ke tempat yang jauh.
Bahkan saat itu Arumi hampir putus asa. Hingga timbul benih-benih kebencian di hatinya untuk Rafli.
"Apa kamu sangat menyayangi daddy?" tanya Arumi.
Aika mengangguk dengan cepat. "Aku sayang daddy. Karena daddy juga sayang padaku dan tidak jahat seperti mommy."
Jawaban polos nan menyakitkan itu mendorong Arumi untuk mendekap putrinya. Membayangkan perbuatan kejam Yuna selama bertahun-tahun, hingga membuat anak sekecil Aika harus mengalami trauma.
Hal inilah yang membuat Arumi belum memiliki keberanian untuk menunjukkan wajah nya kepada Aika dan memilih tetap menggunakan cadar. Karena wajah nya sangat mirip dengan Yuna dan ia takut Aika akan ketakutan.
"Dia bukan mommy-mu, Nak. Tapi aku," lirih Arumi dalam hati.
Sepasang mata nya melelehkan cairan bening. Rasa nya sangat menyakitkan harus menyembunyikan wajah dari putri nya sendiri. Dan tidak mudah untuk menyembuhkan trauma yang dialami Aika. Menyebut nama Yuna saja sudah membuatnya gemetar ketakutan.
Selain itu, tidak mungkin bagi balita sekecil itu untuk mengerti kondisi rumit seperti ini. Sehingga, Arumi memutuskan untuk menunggu sampai putri nya itu sedikit lebih besar. Biarlah ia bersembunyi di balik cadar untuk sementara waktu.
"Sayang, di tempat yang baru nanti Aika pasti akan senang. Di sana Aika hanya akan bermain dan sekolah. Juga bertemu dengan teman-teman baru."
"Tapi aku tidak mau kalau di sana ada mommy. Mommy itu jahat," lirihnya pelan.
"Tidak, Sayang. Di sana tidak ada tempat untuk orang jahat. Kamu pasti akan sangat senang."
Aika mengulas senyum penuh semangat mendengar jawaban Arumi.
Setelah beberapa menit berlalu, terdengar panggilan yang ditujukan untuk penumpang. Arumi memeriksa lembar tiket demi memastikan nomor penerbangan.
"Ayo, Sayang. Kita akan berangkat sekarang."
Arumi menggandeng tangan putrinya dan hendak berjalan menuju pintu yang sudah terhubung langsung ke badan pesawat.
Saat akan masuk, tanpa sengaja Aika menjatuhkan boneka kesayangannya. Sebelum berdiri, gadis kecil itu menolehkan kepala sejenak ke suatu arah, yang membuat senyum terangkat di sudut bibirnya.
"Daddy!"
...*****...