Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Serangan Panik!
Seperti saat Hanung berada di kediaman Pak Kyai kemarin, Gus Zam mengikuti Hanung kemanapun. Termasuk saat ini, Gus Zam duduk tenang menunggu Hanung yang sedang memasak makan malam di dapur pribadi kediaman Pak Kyai. Dapur yang hanya digunakan saat Bu Nyai atau Ning Alifah sedang ingin memasak.
Hanung dengan cekatan mengolah bahan masakan yang sebelumnya ia ambil dari dapur umum. Gus Zam sempat ingin membantu, tetapi Hanung menolak dan mengatakan agar suaminya menunggu sampai ia selesai.
"Masak apa Hanung?" tanya Ning Alifah yang mendekat saat mencium bau masakan.
"Masak sop bakso, sambal goreng tempe dan udang goreng tepung, Kak." jawab Hanung yang masih menggoreng udang.
"Aku dan suami boleh gabung?"
"Gabung saja, Kak. Aku memang sengaja memasak untuk semuanya."
"Terima kasih."
Setelah semua masakan selesai, Hanung menyeduh teh dan membuat kopi untuk Bu Nyai dan Pak Kyai. Hanung juga menyediakan air dingin untuk Ning Zelfa dan air biasa untuk Ning Alifah. Hampir semua kebiasaan keluarga Bu Nyai ia hafal, hanya Gus Zam saja yang ia tak tahu.
"Mas, mau minum apa?" tanya Hanung setelah menyajikan semuanya di meja makan.
"Sirup dingin." Gus Zam berdiri dari duduknya dan mengambil sirup yang ada di kitchen set.
"Oke, tunggu sebentar."
Hanung menerima sirup leci yang yang diberikan Gus Zam dan membuatkan sirup dingin seperti yang dipesan. Kemudian menyuguhkan nya dihadapan sang suami, bertepatan saat semua orang telah selesai sholat isya' dan berkumpul di meja makan.
Pak Kyai memimpin doa dan semuanya makan malam bersama. Tak ada percakapan saat mereka makan. Tetapi setelah selesai, mereka terkejut melihat Gus Zam yang menarik piring yang berisi sisa makanan Hanung.
"Luar biasa!" seru Ning Zelfa.
"Alhamdulillah.." kata Pak Kyai dan Bu Nyai memandang kearah Ning Zelfa.
"Alhamdulillah.." ucap Ning Zelfa diikuti Ning Alifah dan suaminya, Gus Miftah.
Hanung yang tidak mengerti malah sibuk menahan Gus Zam yang ingin menghabiskan makanannya. Entah mengapa ia merasa perutnya tidak nyaman, sehingga tak menghabiskan porsinya yang biasa.
"Tidak apa-apa. Kalau tidak dihabiskan mubadzir." kata Gus Zam melepaskan tangan Hanung yang menahannya.
"Tak apa, Hanung. Biarkan saja." kata Bu Nyai.
"Tapi kenapa kamu tidak habis?" tanya beliau.
"Sepertinya perut Hanung kembung, Umi."
"Mau minum obat atau periksa?"
"Tidak, Umi. Biasanya reda sendiri."
"Minum teh hangatnya biar hangat perutnya." Ning Alifah menyodorkan segelas teh.
Hanung mengangguk, menerima teh tersebut dan meminumnya. Setelah Gus Zam selesai makan, semua orang pun bubar. Setelah Hanung selesai membereskan semuanya, Gus Zam menggandeng Hanung masuk kekamar mereka. Gus Zam meminta Hanung untuk duduk di sofa.
"Bagian mana yang sakit?" tanya Gus Zam sambil berjongkok.
"Tidak ada yang sakit, Mas. Hanya tidak nyaman, sepertinya tamu bulananku akan datang."
"Kenapa tadi bilang kembung?"
"Malu."
"Ada yang bisa aku lakukan?" Hanung mengangguk iseng.
"Apa?"
"Kita keluar untuk membeli pembalut." kata Hanung dengan lirih.
"Kenapa tidak ke koperasi santri saja?"
"Sekalian jalan-jalan, Mas. Aku bosan beberapa hari hanya di pesantren."
Gus Zam berpikir sejenak. Hanung memang tidak terbiasa kehidupan pesantren. Ia pun kemudian berdiri dan mengambil dompetnya di laci. Gus Zam menggandeng tangan Hanung dan berjalan keluar. Hanung mengikuti Gus Zam sambil tersenyum. Ia tak menyangka sang suami akan memenuhi permintaannya.
Hanung mulai menyesali keputusannya untuk ikut Surati. Tetapi ia segera menepisnya, bagaimanapun ia telah mengambil keputusan maka ia harus menanggung konsekuensi nya. Hanung mengeratkan pegangan tangannya, membuat Gus Zam melirik nya. Mereka pun melewati gerbang pesantren dengan lancar karena Kang Rahim yang sedang berjaga.
"Tapi apakah tidak apa-apa kita keluar malam seperti ini, Mas?"
"Tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?"
"Aku belum pernah keluar pesantren seperti sekarang. Aku keluar pesantren hanya saat ada pemeriksaan." kata Gus Zam lirih.
"Lalu, semua kebutuhan Mas siapa yang menyediakan?"
"Umi, Kang Rahim dan yang lain. Aku baru keluar berbelanja kemarin, saat membeli perabotan kamar." jawab Gus Zam jujur.
"Apa yang Mas rasakan saat berada diluar seperti ini?" Hanung menghentikan langkahnya dan menatap heran kearah Gus Zam.
"Di tempat ramai, aku merasa pandangan mereka tertuju kepadaku semua. Itu membuatku tidak nyaman dan.. panik." Hanung merasakan tangan Gus Zam bergetar.
"Maaf, Mas. Aku seharusnya mengerti keadaanmu, tetapi aku justru mengajakmu keluar. Kita kembali saja, ya?" Hanung memutar tubuhnya bersiap kembali.
"Bukankah kamu mau membeli sesuatu?"
"Di koperasi santri ada." Hanung meringis.
Hanung menarik Gus Zam, tetapi tak bergerak sedikitpun. Justru ia yang tertarik oleh Gus Zam yang melanjutkan jalannya. Ia ingat ada melewati minimarket kemarin. Hanung hanya diam mengikuti langkah Gus Zam.
Beberapa meter kemudian, mereka pun sampai di sebuah minimarket. Gus Zam sempat ragu untuk mendekat karena minimarket sekaligus cafe itu sedang ramai. Hanung pun dengan sabar menunggu Gus Zam, tanpa bermaksud memaksa. Kalaupun ingin kembali, ia juga tidak akan protes.
"Bismillah.." gumam Gus Zam sebelum melanjutkan langkahnya.
Saat memasuki minimarket, tangan Gus Zam bergetar. Tanpa topi dan masker, pandangan orang-orang langsung tertuju kepadanya. Hanung sampai menarik tubuh Gus Zam saat ada orang yang mau lewat karena mereka menghalangi jalan masuk.
"Mas tidak apa-apa?" bisik Hanung dengan berjinjit.
"Y-ya.." suara Hanung sukses menyadarkan Gus Zam.
Hanung pun menuntun Gus Zam menuju rak pembalut. Pandangan Gus Zam kini hanya tertuju pada Hanung. Ia berusaha sebisa mungkin menekan rasa takutnya sampai Hanung selesai berbelanja. Selain membeli pembalut, Hanung juga membeli beberapa cokelat dan eskrim.
Saat ingin membayar, Hanung menepuk dahinya karena lupa dirinya tak membawa dompet. Gus Zam pun menyodorkan dompetnya. Hanung tersenyum. Tanpa sungkan ia membuka dompet suaminya dan mengambil uang yang ada disana.
"Mas, kita makan es krim nya dulu. Nanti cair sampai pesantren." Gus Zam mengangguk.
Keduanya duduk di trotoar, sedikit jauh dari minimarket dan menikmati es krim. Tetapi setelah selesai, Gus Zam heran mengapa Hanung tak kunjung berdiri.
"Kamu kenapa?"
"Bocor, Mas." cicit Hanung.
"Apanya?" Hanung pun menarik tubuh Gus Zam dan membisikkan sesuatu.
Gus Zam mengangguk. Ia pun melepaskan kemeja, menyisakan kaos lengan pendeknya dan melingkarkannya di pinggang Hanung. Hanung benar-benar malu saat ini, andai saja ada lubang ia sudah pasti akan bersembunyi.
"Ayo!" Ajak Gus Zam.
"Terimakasih, Mas."
"Sama-sama."
Keduanya kembali berjalan beriringan sambil bergandengan tangan. Saat melewati sebuah warung yang ramai dengan anak-anak tongkrongan, Gus Zam tiba-tiba berhenti dan duduk memeluk lututnya.
"Mas!" panggil Hanung, tetapi tak ada respon.
Hanung yang bingung pun ikut duduk dan melihat mata Gus Zam bergetar, begitu juga dengan tubuhnya dan nafas yang kacau.
"Serangan panik!" gumam Hanung.
Ia memutar otak, bagaimana cara ia mengahadapi situasi ini karena tak mungkin meminta tolong. Orang asing akan semakin membuat Gus Zam panik. Tanpa pikir panjang, Hanung duduk bertumpu lutut dan memeluk tubuh Gus Zam sambil memintanya untuk tenang.
"Tenang, Mas. Hanung disini. Istigfar, Mas.." Hanung mulai melantunkan sholawat dengan lirih.
Cukup lama mereka pada posisi tersebut, sampai akhirnya Gus Zam merasakan hangat tubuh Hanung dan mendengar suara lantunan sholawat. Tangannya yang awalnya memeluk lutut, memeluk tubuh Hanung yang seketika membuat si empunya menegang.
"Mbak! Tidak sopan seperti itu di tempat umum!"