Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada beberapa narasumber yang pernah cerita maupun yang aku alami sendiri.
cerita ini aku rangkum dan aku kasih bumbu sehingga menjadi sebuah cerita horor komedi.
tempat dimana riyono tinggal, bisa di cari di google map.
selamat membaca.
kritik dan saran di tunggu ya gaes. 🙂🙂
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setan Kemamang
1
Pagi harinya, aku bangun kesiangan.
“Yon. Bangun sudah siang, kamu ga sekolah.?” Ibu membangunkan aku.
“Mak, aku ga enak badan.” Setelah kejadian kemari aku memang agak demam gaes. Tapi sepertinya ibuk ga percaya, keseringan bolos sekolah sih. Mueheheheehehee
“Ga usah alesan, cepat bangun. Atau aku guyur air kamu entar.” Ibu seraya ke arah kamar mandi mengambil air di gayung. Dan balik lagi ke kamarku. “Ayo cepetan.!!”
“Iya. Iyaaa.” Terpaksa aku harus bangun.
Setelah itu. Aku mandi dan bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.
Lambat laun, aku teringat kejadian sapi penasaran dan kejadian sebelum aku tidur kemarin malam. Aku berinisiatif untuk bertanya tentang Erni ke ibuku.
“Erni sudah bangun, Mak?” tanyaku sambil memakai seragam.
“Ngomong apa kamu, Erni kan nginap dirumahnya Mbah Di.” Jawab ibu. Mbah Di itu kakekku, dia tinggal di desa sebelah, desa Tebo selatan.
“Lho.?” Aku terkejut mendengar jawaban ibuku. “Kayaknya kemarin malam dia ngajakin aku main deh Mak.”
“Ngawur. Erni sudah menginap dirumahnya Mbah di sudah tiga hari ini.”
‘Lha terus siapa kemarin malam yang ngajakin aku main.?’ Aku bertanya-tanya dalam hati. ‘Tapi kalau di ingat-ingat, mulutnya yang lagi tersenyum, begitu lebar. Nyeremin. Hiiii.. masa penampakan juga sih. Disini. Di rumahku sendiri. Allahu Akbar.’
“Ya udah. Aku berangkat dulu Mak.” Kataku akhirnya. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sambil berangkat ke sekolah, aku mencoba untuk melupakan hal itu.
2
Seperti kemarin. Gosip sapi penasaran masih ramai di sekolah. Aku ga berani cerita ke temen-temen, terutamanya si Udin si mulut ember. Capek dehh. Kok geting aku.
“Kemarin malam si Riyon di ganggu sama sapi Pak Komat.” Kata Udin ke tema-tema. Aku dengar dia bercerita, dan aku samperin dia.
“Heh. Apaan kau. Pagi-pagi sudah Ngegosip aku.?” Kataku ke Udin. "Apakah aku sudah menjadi artis dadakan.?"
“Lha, ini dia si korban sapi penasaran.” Jawab Udin, . “Ceritain donk pengalaman mu semalam.”
“kata siapa aku di ganggu sapinya Pak Komat?”
“Iya deh, iyaa. Tapi aku dengar sendiri kamu kemarin malam teriak-teriak di sungai lho. Aku juga ngintip lewat jendela, kamu di antar pulang pak Komat. Ya kan?
Lagian, tadi sebelum berangkat sekolah karena aku penasaran ya, aku bertanya ke Pak Komat sendiri. Dia bilang kau ketakutan setengah mati di sungai."
“Aku tidak di tampakin setan, kok. Kemarin pas aku lagi e’ek di kali. Lagi enak-enaknya konsentrasi, di sebelahku ada ular, ularnya segedhe gaban pula. Karena kaget ya langsung aja aku lari. Hahahaha." Aku ketawa mendengar perkataan ku sendiri.
“Hahaha.” Dan sontak seisi kelas ikut tertawa.
"Jangan bercanda di kelas anak-anak." Pak Nur, guruku memasuki kelas. "Kumpulan PR kalian."
Astaga. Aku lupa belum mengerjakan PR Lagi.
3
Sepulang dari sekolah. Ibu sudah siap-siap dengan rotannya.
“Bak-Buk-Bak-Buk!!” rotan mendarat dengan indahnya di pahaku. Karena aku sudah tidak bisa memberikan alasan apa lagi. Aku pasrah saja.
“Pak Nur, gurumu baru saja dari sini, kamu lupa ga mengerjakan PR kan?.” Omel ibu panjang lebar. “Pokoknya, sekali lagi aku di datangi Pak Nur. Lihat saja nanti. Tak pondokin kamu. Biar taurasa.”
Pondokin. Artinya di masukkan ke pondok pesantren. Aslinya bagus ya masuk pondok pesantren. Tapi mengingat jaman itu, ga ada listrik, ga ada gadget, ga ada televisi, apalagi internet. Wah itu mimpi buruk bagi anak-anak Badung gaes. Di tambah di pondok pesantren itu hidup harus teratur. Bangun harus sebelum subuh. Ngaji tiap hari. Wah itu berat, ga bisa maen sampe Maghrib deh.
“Iya Mak. Iyaa.” Jawabku. “Lagian kan kemarin aku capek main.”
“Bak-Buk!!” dua pukulan rotan kembali mendarat, tapi kali ini di bokongku. Sebagai jawaban. “Nanti aku laporin ke bapakmu juga kelakuanmu.”
“Jangan Mak, jangan. Aku saja masih di hukum ga di kasih uang saku seminggu.”
“Bukan urusan ku.” Dan ibu pun pergi meninggalkan aku yang meringis kesakitan.
4
“Yon. Nanti habis isya kamu tahlilan di rumah Efi ya.” Kata bapak menyuruh dengan nada kalem. Sepertinya aku ga di laporin ke bapak sama ibu kalo aku tadi berkelahi. Terimakasih Mak. I lap u.
“Kok aku sih.” Aku memprotes, masih ingat kejadian sapi penasaran kemarin. “Kan ada Mas Andri.”
“Mas Andri nanti ada jadwal ronda sama bapak. Jadi dia ga bisa. Sudah pokoknya ga usah alasan lagi. Dan kamu harus nurutin kata-kata bapak. Ingat, kamu masih dalam masa hukuman.”
“Iya. Iyaa.” Jawabku. Dan pembicaraan pun berakhir.
Saat itu masih sekitar jam 3 sore. Dan bapak langsung tidur ( Dia harus ronda nanti malam ). Dan aku langsung keluar rumah mencari teman-teman, aku langsung menuju ke arah sungai Lanang. Tapi mereka tidak ada di sana. Aku cari ke sawah depan kelurahan. Ternyata memang mereka bermain di sana.
Pohon beringin kembar yang di ceritakan Efi kemarin, sekarang tepat di depan mataku. Sambil aku ingat-ingat lagi ceritanya kemarin.
Setan kemamang, memikirkannya, pikiranku pun melayang.
Eh, nanti kerumahnya Efi kan harus lewat bawah ringin kembar itu. Pikiranku langsung berkecamuk, membayangkan gimana jadinya kalo setan kemamang itu beneran ada. Wah gawat nih. Aku kudu piye?. Ga berangkat, di marahin bapak. Berangkat, aku takut penampakan setan.
“Ada apa Yon.?” Tiba-tiba ada suara mengajakku bicara, membuat lamunanku buyar.
“Ah, wes wos wes wos. Eh kamu Ef.” Ternyata suara Efi. “Bikin kaget aja.”
“Eh. Ga biasanya kamu kaget kayak gini.” Kata Efi. “Jangan-jangan emang benar kata Udin, kamu di ganggu setan.?”
“Enak aja. Aku ga di ganggu penampakan setan tau. Lagian aku ga takut sama yang namanya setan.”
“Iya deh. Iya. Aku percaya kok sama si bang paling pemberani ini.”
“Awas kau Ef. Mentang-mentang anak pak lurah.”
“Hehee." Efi mengejek sambil mengulurkan lidahnya.
Bapak Efi itu pak lurah. Namanya pak Rawi. Orang terkaya di desa, dia pemilik sawah di depan kelurahan. Dan beberapa sawah lagi di desa sebelah. Orangnya tinggi sekitar 175an, badannya sangat kekar dan kumis lebat menghiasi wajahnya. Nyeremin deh. Mengingat itu. Aku langsung nyengir kuda.
“Hehehee. Piss Fi. Piss. Oh ya, dimana kamu di tampakin setan kemamang nya?”
“Sini, kesini.” Dia meraih tanganku.
Astaga, ini anak. Tangannya lembut amat. Pikiranku pun melayang. Ku melayang, bagaikan. Terbang ke awan. Lha malah nyanyi lagunya ungu sih?
“Ngapain bengong Yon.?” Dia melepaskan tangannya dan langsung memukul kepalaku.
“Aduh. Iyaa iyaa.” Aku pun mengikutinya dari belakang. Dan dia pun menunjukkan tempatnya, lali bercerita seperti kemarin di sekolah. Tempat kejadiannya tepat di bawah pohon beringin sebelah timur. Dari arah masjid AL-Barokah, jadi sebelah kiri.
Pohon beringin kembar itu berumur cukup tua. Kata Mbah Mulyo- (almarhum bapaknya pak Rawi, kakeknya Efi.) Pohon beringin itu sudah ada sejak pembukaan tanah oleh Mbah Mulyo.
Mbah Mulyo mulai membuka tanah di Mulyorejo, ketika beliau berusaha baru Tigapuluh tahunan. Dan beliau meninggal saat usia sembilan puluh tahunan. Kata beliau, pohon itu walaupun sudah di coba untuk di tebang. Pohon itu tetap kokoh berdiri, bahkan Kapak pun tidak bisa membuat bekas samasekali di pohon tersebut. Jadi pohon itu di keramat kan oleh beliau. Dan menjadikan tempat itu sebagai pusat desa.
Setelah selesai bercerita, Efi pun pamit pulang, karena dia harus membantu menyiapkan makanan buat tahlilan nanti malam. Dan aku pun bergabung dengan teman-teman lainnya.
5
Sore sehabis isya. Aku bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Efi. Ingat ya gaes. Tahun enam puluhan masih belum terpasang listrik. Bayangkan saja gelapnya suasa saat itu.
“Buk, aku berangkat kerumahnya Efi.” Teriakku sambil berlari keluar rumah. “Assalamualaikum.”
“Waalikumsallam.”
Aku keluar rumah dengan membawa obor buat penerangan saat jalan. Senter hanya di miliki oleh orang-orang kaya. Aku orang miskin gaes. Hiks.
Suasana di luar rumah. Gelap dan hanya di terangi obor-obor dan lampu templek di depan rumah penduduk, rumahnya jarang pula. Dan itupun cahayanya remang-remang, pohon-pohon tinggi rindang, semak belukar yang tinggi dipinggir jalan, jalan setapak berbatu, dan kabut sangat tebal plus asap dari orang-orang yang membakar jerami di sawah, membuat suasana semakin berkabut dan sangat sulit untuk melihat kedepan.
Ada seberkas cahaya dari arah masjid AL-Barokah itu cukup menolong aku yang sedang berjalan sendirian. Ku lihat ada seseorang keluar dari dalam masjid. Ternyata ustadz Fatkhur Rohman, dia membawa obor juga. Alhamdulillah.
“Assalamualaikum.” Pak ustadz menyapaku. “Sendirian saja dik Yono.?”
“Waalaikumsalam.” Jawabku. “iya ustadz, sendirian saja.”
“Mau tahlilan di rumah Pak Rawi kan.? Biasanya kamu barengan sama Udin. Mana si Udin Yon.?”
“Eh, anu. Kayaknya Udin sudah berangkat duluan tadi.”
“Hoo.” Saat ustadz Fatkhur Rohman bicara ‘hoo’ terdengar suara menyapa dari arah belakang.
“Assalamualaikum.”
“Waalakumsalam.” Jawabku dan pak ustadz bareng.
“Eh. Pak Komat.” Jawab ustadz Fatkhur. “Aku kira sudah berangkat duluan. Kok tadi tidak kelihatan di masjid.?”
“Iya ustadz, tadi masih harus mengurus sapi-sapi dulu, baru berangkat.” Jawab Pak Komat. “Ga tau kenapa kok tiap malam sapi-sapi ku kok kayak ketakutan gitu.”
“Emangnya kenapa kok bisa ketakutan gitu pak.?”
“Tidak tahu nih, mungkin ada ular yang masuk kedalam kandang. Tapi aku cari tidak ketemu ketemu juga. Atau juga seperti kata orang-orang, kalau sapi ku yang mati kemarin arwahnya gentayangan.”
“Astaga. Pak Komat, kamu jangan mengada-ada.”
“Tidak pak ustadz. Tanya saja sendiri ke Riyono, kemarin malam dia di ganggu sama sapi itu. Ya kan dik Yono.” Kata pak Komat sambil melihat ke arah ku.
“Bener dik Yono.?” Ustadz Fatkhur ikutan menoleh ke arah ku.
“Kemarin Yono ketakutan, sampai lari kecirit-cirit lho.” Kata Pak Komat sambil meringis ke arah ku.
‘Deg.!’ Jantung ku serasa mau copot. Sialan nih orang tua. Pikiranku. Dan kurasakan panas di wajahku. Malu setengah mati deh rasanya. Jadi ya aku Cuma mesam mesem saja.
“Makanya dik Yono harus mengaji, biar ga di ganggu sama setan.” Kata ustadz Fatkhur.
“Bukan pak ustadz, kemarin pas lagi e’ek di dekatku ada ular. Ularnya Gedhe banget, jagi aku kaget setengah mati. Dan kabur lah aku.” Aku berbohong. Malu dunk, hehee.
Dan pembicaraan pun berlanjut ke arah yang lain. Sampai kami sampai di rumah Efi.
6
Baru mulai acara tahlilan. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk. Aku duduk di pojokan dekat pintu ke arah dapur. Aku dengar ustadz Fatkhur melakukan sambutan dan doa-doa.
“Yaasin, seterusnya.. dan seterusnya...” Mendengar ustadz membaca surah Yasin sampai di situ aku pun langsung tertidur pulas, capek gara-gara main seharian penuh. Tahlilan pun berakhir.
Sampai semua orang pada pulang duluan. Aku baru di bangunin sama Pak Rawi.
“Heh. Nak, bangun, acara sudah selesai. Kamu ga pulang? Sudah jam sepuluh malam ini. Tapi kamu makan dulu, ini jatah makanan mu.” Pak Rawi menyodorkan soto ayam ke aku. Aku pun menerimanya.
“Lho kok sudah sepi pak.?” Tanyaku.
“Kamu dari tadi di bangunin, ga bangun-bangun juga. Jadi yang lain makan duluan dan terus pulang. Cepet sana dimakan, langsung pulang. Aku sudah ngantuk berat. Belum beres beres juga.”
“Iya pak, maaf.” Aku menghabiskan soto ayamnya dan langsung pulang.
7
Saat keluar dari rumah Efi. Aku baru sadar kalau oborku tidak ada. Mau tanya ke Pak Rawi, tapi pas aku keluar – pintu rumahnya langsung saja di tutup sama Pak Rawi. ‘Astaga, galak amat.’ Jadi terpaksa aku harus jalan di kegelapan malam tanpa penerangan samasekali. Sendirian boss.
Tapi alangkah beruntungnya aku, suasana berkabut tadi sudah hilang. Dan sekarang cahayanya bulan menerangi langkahku pulang. Tapi walaupun begitu tetap saja rasa was-was, harap-harap cemas, datang menyelimuti ku sepanjang perjalanan.
Beberapa meter aku berjalan ke arah timur, aku sudah tepat di bawah pohon beringin kembar yang angker itu. Banyak sesajen di sekitarnya. Bau kemenyan sangat mencekat hidung ku. Dan ku rasakan bulu kudukku berdiri seketika.
Entah kenapa aku tidak beranjak dari bawah pohon beringin kembar itu. Tidak lama sih, tapi terasa sangat lama juga.
‘kresek.. kresek..’ terdengar suara gesekan daun di atasku. Seketika itu juga aku menoleh ke arah tersebut. Tidak ada apa-apa. Tapi suara itu terus saja terdengar, dan tetap aku cari-cari, tidak ketemu juga suara apa itu.
‘kresek...kresek...’ suara itu semakin dekat di atas kepalaku. Lambat laun, aku melihat cahaya remang dari salah satu dahan pohon beringin itu. Dan...
‘BUM!’ benda bercahaya itu jatuh tepat di semak-semak depanku. Suaranya sangat keras sehingga mengagetkanku. Karena penasaran, aku pun menghampiri benda itu.
“Apa yak.?” Tanpa sadar aku bertanya kepada diriku sendiri dengan suara yang cukup keras. Tadi kan benda itu bercahaya, tapi pas jatuh ke tanah, cahayanya langsung padam, sehingga aku tidak tahu pasti benda apa itu tadi yang jatuh.
Karena takut, kakiku gemetaran. Tapi anehnya rasa penasaranku melebihi rasa takutku. Jadi aku korek korek itu semak-semak. Kulihat benda itu tergeletak di dekat salah satu akarnya pohon beringin yang menonjol keluar. Aku konsentrasi pandangan ku ke arah benda itu. Benda itu bulat, dan ada dua lubang berjejer sejajar. Lambat laun lubang itu menyala, semakin terang, dan semakin terang. Dan kini pun benda itu terlihat sangat jelas. Itu ‘tengkorak kepala manusia’ kemamang yang di ceritakan Efi.
Saat sadar benda apa itu, benda itu langsung bersinar sangat terang seperti lampu petromax. Dan melesat ke arah ku. Aku pun langsung lari tunggang-langgang.
“Waaaaaahhhhh.!!!! Toooolllllooooonggggg..!!!” teriakku. Dan tanpa aku sadari. Aku pun ngompol.
Aku berlari ke arah masjid AL-Barokah, dan kulihat kemamang itu masih melayang mengejar ku. “Waaaaaaahhh..!!!” aku tetap berteriak kencang. Tepat di perempatan jalan. Aku belok ke kanan menuju rumahku.
Di sepanjang jalan itu aku tetap berteriak minta tolong. Saat masuk tikungan tadi, aku sudah tidak sempat menengok lagi ke belakang untuk memastikan kemamang itu masih mengejar atau tidak. Bodoh amat deh.
Rumahku sudah dekat. Dan ternyata rumah sudah dikunci sama ibuku.
“Maak!! Bukain pintunya.!” Aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu. “Maaakk. Cepet MAAKK. Ada setan, maaak..”
Beberapa saat kemudian pintu pun dibuka oleh ibu. Aku langsung melesat ke kamarku dan tidur. Ga peduli ibu saat itu ngomel-ngomel karena aku teriak-teriak.
“Ada apa Yon.” Tanya ibuku. “Riyono.” Ibuk sepertinya mulai cemas melihat keadaanku seperti itu.
“Ada setan Mak.” Jawabku akhirnya.
“Setan.? Masah sih ada setan?”
“Beneran Mak. Aku ga bohong.” Sambil bilang begitu. Aku langsung bangun dari tempat tidur dan melihat ke arah ibuku.
Jreeng. Kulihat muka ibuku, mukanya rata, tidak ada mata dan mulutnya. Polos-los deh.
“Se... Setaaaaaaannnn.” Aku berteriak. Mau kabur kemana ga tau. Karena satu-satunya jalan keluar sekarang ini ibuku yang mukanya rata, dia berdiri tepat di tengah-tengahnya. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Alias Semaput.
silahkan komen, dan share. tengkyu ferimat. 😁😁