Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Kecewa Dan Sesal
"Apa!" Castilo tercengang mendengar penuturan dari wanita yang telah melahirkannya. Pria itu menatap dua wanita yang baru saja melepaskan diri dari pelukan satu sama lain begitu mendengar suara lantang Castilo dengan wajah terkejutnya.
"Di saat rumah Namira kebakaran, Mommy meminta istri saya untuk menghilang? Maksud Mommy apa?" Castilo menatap tajam Eliza menuntut penjelasan.
"Udah, Mas. Nggak ada apa-apa kok. Itu cuma masa lalu," ujar Namira sembari mendekati sang suami dan berusaha menenangkannya.
"Tidak, Namira, tidak. Saya butuh penjelasan dari Mommy," balas Castilo penuh penekanan. "Tolong, Mommy jelaskan, apa maksud ucapan Mommy tadi?"
Eliza membalas tatapan anak pertamanya yang menuntut penjelasan saat itu juga. Wanita itu menghela nafas panjang, lalu duduk di sofa dan menundukkan kepalanya. Wajahnya nampak begitu tertekan dengan segala rasa penyesalan yang begitu dalam.
Sang suami yang bernama Carlos, memilih diam. Pria yang belum sempat menyapa menantunya, memilih duduk di sofa, menatap tenang ke arah istrinya.
Sedangkan Denada sendiri, justru ketakutan melihat reaksi kakaknya. Dia memilih mendekati Namira dan memeluk lengan kakak iparnya.
"Mom..." Castilo berdiri tak jauh dari ibunya. Tatapannya benar-benar menuntut wanita itu agar segera memberi penjelasan. "Jadi Mommy diam-diam menemui istriku di saat rumah kebakaran?"
Eliza kembali menghela nafas panjang. Tak lama setelahnya dia mengangguk pelan.
"Astaga!" Castilo syok mendengarnya. "Jadi selama ini, istri dan anakku menghilang karena permintaan Mommy? Ya ampun!"
Castilo benar-benar tidak menyangka dengan fakta yang baru saja dia ketahui. Sungguh, tidak sekalipun pria itu terlintas dalam pikirannya, sang Mommy akan bertindak sejauh itu.
"Kenapa, Mom? Kenapa Mommy tega melakukan itu? Kenapa!" Bentak Castilo lepas kendali sampai semua yang ada disana terlonjak kaget.
Diluar ruangan, Erik yang baru saja membuka pintu sedikit, juga tak kalah kaget mendengar suara sang Ayah yang menggelegar. Erik pun seketika terdiam. Dia jadi penasaran, apa yang terjadi di dalam ruangan tersebut.
"Mas ..." Namira segera melempar tatapan memperingatkan.
"Kenapa, Sayang? Kenapa harus aku?" tanpa terasa Castilo bulir air matanya. "Kenapa Mommy bisa setega itu sama aku? Kenapa Mommy tidak pernah ingin melihat aku bahagia sedikit saja. Kenapa?"
Namira mencoba menenangkan sang suami.
"Mommy selalu beralasan, melakukan semuanya untuk kebaikan saya, untuk kebahagiaan saya, tapi mana? Mommy justru hanya mementingkan kebaikan dan kebahagiaan Mommy sendiri, tanpa mempedulikan perasaanku, Namira."
Namira tak bisa berkata-kata. Yang dilakukan wanita itu hanya bisa memeluk sang suami dan menenangkannya.
"Maafkan aku, Namira. Maafkan aku yang kurang peka. Disaat kamu butuh perlindungan, justru kamu mendapat perlakuan buruk dari orang terdekatku. Maaf kan aku," rintih Castilo penuh penyesalan.
"Sudah, Mas, sudah. Itu udah berlalu," dengan lembut Namira mengusap punggung suaminya.
Castilo menoleh, menatap tajam ke arah Eliza. "Mommy tadi lihat kan? Ulah orang-orang yang dulu sangat Mommy percaya, bagaimana kelakuan mereka?" Castilo tidak berhenti meluapkan emosinya.
"Bahkan kebaikanku yang membiayai anak-anak mereka, tidak pernah terlihat dimata orang-orang dulu sangat Mommy percaya. Mereka justru semakin serakah. Mereka berusaha menyingkirkan anak dan istriku. Mommy lihat kan!"
"Mas ..." Namira kembali memberi tatapan peringatan agar Castilo bisa menahan diri.
Castilo memeluk sang istri dan untuk beberapa saat. "Maaf," bisiknya dengan suara bergetar. Seketika suasana menjadi sangat hening.
"Permisi...".
Karena suasana di dalam terasa tenang, Erik memutuskan untuk masuk. Meski masih penasaran, Erik juga sedikit memahami dengan apa yang sedang terjadi di sana.
Castilo segera menghapus air matanya. Dia melepaskan diri dari pelukan Namira dan melangkah menuju kamar, untuk menenangkan diri.
"Wah! Apa ini cucu saya?" dengan suara keras, Carlos nampak sumringah melihat kedatangan Erik. Pria itu bahkan langsung berdiri dan mendekati Erik, lalu memeluknya.
Erik malah kebingungan diperlakukan seperti itu. Dia hanya terdiam karena Erik tidak pernah berpelukan seperti itu, apa lagi sesama laki-laki.
"Kenapa wajah kamu malah mirip Kakek di waktu muda?" Carlos nampak percaya diri begitu melepaskan pelukannya.
"Erik, beri salam, pada kakek, nenek dan tantemu," titah Namira.
Erik segera melakukan perintah sang ibu. Satu persatu dia menjabat tangan sekaligus mencium punggung tangan mereka satu-persatu.
"Ini baru keponakanku," ucap Denada bangga. "Dia sangat sopan, Kak Nam. Tidak seperti dua anak itu. Tahunya hanya minta duit terus."
Namira tersenyum. Seketika, ruang yang tadinya nampak begitu tegang, berubah menjadi lebih hangat, karena sikap Carlos dan Denada berusaha mengakrabkan diri kepada Erik.
Sementara itu, acara yang berlangsung di gedung Paragon grup, meninggalkan banyak kesan dan cerita. Beberapa peristiwa yang terjadi dalam acara tersebut, masih menjadi perbincangan hangat di pelosok negeri.
Para pencari berita pun berusaha mencari tambahan informasi yang bisa mereka gunakan untuk menaikkan rating acara yang disiarkan di tempat mereka bekerja.
Para wartawan itu tak segan menyambangi tempat keberadaan empat orang yang tadi membuat gempar semua yang menyaksikan acara itu.
Sayangnya, penjagaan keamanan yang sangat ketat, menyebabkan para wartawan kesulitan, menemui empat orang tersebut.
"Sial! Bisa-bisanya kita terkecoh oleh Castilo," umpat Marco, yang sedari tak berhenti meluapkan kekesalannya.
"Yah, aku juga nggak nyangka," sahut Bram. "Bagaimana bisa dia memiliki ide seperti itu?"
"Itu semua pasti otak Alex. Tanpa orang sialan itu, mana mungkin Castilo bisa kepikiran ide seperti tadi," celetuk Victoria.
"Terus sekarang kita harus bagaimana? Aku khawatir, terjadi apa-apa sama Dave," Natalia terlihat panik.
"Aku juga," Victoria menimpali. "Pasti saat ini, Morgan sangat frustasi."
"Semoga anak-anak tidak melakukan hal yang mengerikan," balas Victoria nampak begitu cemas.
"Tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan bodoh. Mereka pasti tahu, apa yang harus mereka lakukan," ujar Bram agar kedua wanita bisa lebih tenang.
"Emang mereka bisa melakukan apa? Selama ini mereka selalu mengandalkan nama Castilo. Jika mereka melakukan tindakan yang merugikan, kali ini mereka mau berlindung pada siapa? Nggak mungkin kan, mereka menggunakan nama Castilo lagi."
Seketika semua terbungkam. Apa yang dikatakan Victoria memang benar adanya. Akibat yang mereka tanggung, berdampak luar biasa pada kehidupan mereka saat ini.
"Sekarang, kita harus bagaimana? Apa kita akan mendekam di sini lebih lama?" rengek Natalia. "Coba kalian cari bantuan, kira-kira siapa yang mau membantu mengeluarkan kita dari sini?"
Bram dan Marco sama sekali tidak bisa menjawab. Mereka juga tidak tahu, siapa yang bisa menolong mereka setelah tidak bisa lagi mengandalkan nama besar Castilo.
"Jadi, seperti ini, akhir dari nasib kalian? Mengenaskan sekali."
Tiba-tiba terdengar suara orang mengejek tak jauh dari tempat mereka berada. Empat orang yang sedang kebingungan sontak menoleh dan diantara mereka, ada yang terkejut kala melihat pemilik suara tersebut.
"Bobby ... kau ..."
"Kenapa?" Sosok itu menyeringai. "Pasti sekarang kalian membutuhkan bantuanku untuk menghancurkan Castilo, bukan?"