Arden membenci wanita gendut yang merupakan teman masa kecilnya. Permusuhan itu semakin menjadi ketika Kayla bertunangan dengan pria bernama Steve. Selain kebencian, ada yang aneh dari sikap Arden ketika bertatapan dengan Kayla. Hasrat untuk memiliki wanita itu timbul dalam benaknya.
Sekuel dari Istri Rasa Simpanan.
Follow IG : renitaria7796
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renita april, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelab Malam
Arden tidak langsung pulang ke rumah selepas dari hotel, ia mengarah ke sebuah kelab malam. Rasa jengkelnya lebih baik diredakan terlebih dulu dengan segelas minuman memabukkan.
Mobil sampai di parkiran kelab ternama. Arden mengacak-acak rambut, membuka sebagian kancing kemejanya, dan menggulung lengan baju sampai ke siku.
Arden menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya masuk dan meja, dan langsung menuju ke sana setelah mendapatkannya. Ia memesan minuman beralkohol ringan karena Arden akan menyetir untuk pulang.
Suasana kelab sangat bising dengan musik yang menghentak. Aroma dari berbagai tubuh pengunjung, asap rokok menjadi pemandangan biasa bagi Arden.
Tidak lama setelah itu, dua wanita datang menghampiri. Wajah menarik Arden mengundang kupu-kupu itu untuk datang. Arden merentangkan tangan di atas kursi yang ia duduki, mengisyaratkan kalau ia menerima mereka untuk mendekat.
Dengan senang hati wanita berpakaian terbuka masuk ke dalam pelukan Arden. Mengelus tubuh bidang pria itu diselingi beberapa kecupan. Arden menengadahkan kepala, matanya terpejam, merasakan sentuhan jari jemari dua wanita itu.
"Tuangkan aku minuman," pinta Arden.
Salah satunya melakukan apa yang diminta. Arden meraih gelas dari tangan wanitanya. Menyesap minuman tersebut hanya dalam satu kali tegukkan.
"Jangan sampai kalian memegangnya," ucap Arden ketika wanita di sisi kanannya mengarah ke bawah.
Arden mengizinkan mereka mendekat, tetapi tidak untuk mendapatkan keperkasaannya. Cukup nikmati bagian atas tubuhnya karena Arden hanya ingin meniduri wanita yang memang ia inginkan.
"Kami bisa memuaskanmu," ucap wanita sebelah kiri Arden.
Arden tidak ingin berdebat. Tujuannya datang ke kelab untuk menghilangkan pikiran mengenai pertunangan Kayla. Dua wanita ini malah membuat kepalanya bertambah pusing.
Arden mengeluarkan dompet, memberi masing-masing lima lembar uang kepada dua wanita itu dan menyuruhnya pergi.
"Kami masih di sini."
"Jika kalian tidak pergi, aku akan mematahkan dua kaki kalian!" ucap Arden.
Tanpa bantahan lagi, keduanya pergi dari hadapan Arden. Dua wanita menghilang, satu perempuan hadir dengan membawa satu gelas minuman di tangan.
"Mau ditemani?" tanya wanita itu.
"Siapa namamu?"
"Lauren."
"Aku Arden. Duduklah," Arden menyilakan.
Wanita itu duduk di samping Arden dengan meneguk minuman yang ia bawa. Keduanya diam sesaat dengan pandangan mengarah ke lantai dansa.
Lauren mencondongkan tubuh untuk dapat bicara di telinga Arden. "Mau dansa bersama?"
Arden tersenyum. "Kenapa tidak?"
Keduanya beranjak dari sofa menuju lantai dansa. Arden memerangkap pinggul Lauren, sedangkan kedua tangan wanita itu bergelayut di leher Arden.
Tubuh keduanya menghimpit, Arden menggerakkan tubuhnya, membuat rangsangan pada tubuh Lauren. Tangan Arden bergerak ke atas, mengusap punggung Lauren, turun, dan semakin turun hingga ke bagian padat.
Arden menekankan kedua tangannya di atas bantalan padat itu. Lauren cuma tersenyum, ia memiringkan kepalanya, lalu mengecup bibir Arden.
Keduanya saling berbalas pagutan. Tangan Arden tidak berhenti di sana, tetapi mengarah ke depan. Menangkup keranuman yang ia rasakan sedikit lentur. Arden tebak jika bentuk dari milik Lauren, seperti buah pepaya.
Sedari melihatnya tadi, Arden juga tahu jika ukuran milik Lauren bukan bentuk bulat nan padat. Tapi panjang dan lentur.
Jemari Arden turun ke bawah, menggelitik perut Lauren yang terbuka. Wanita memakai rok hitam pendek dan atasan bralette pink yang dibungkus blazer.
"Ingin pergi?" tanya Lauren.
Pertanyaan yang sudah Arden ketahui kalau Lauren menginginkan permainan lanjutan di atas ranjang. Tapi Arden sama sekali tidak tertarik untuk bermain.
"Kamu cantik, tetapi aku tidak menginginkannya," ucap Arden.
"Aku kira kamu tertarik."
"Aku hanya bermain sedikit saja. Untuk lebih, aku tidak ingin," tutur Arden.
"Sayang sekali. Jika kamu ingin panggil saja aku."
Lauren menjejalkan tangan di tas selempang kecil miliknya. Mengambil ponsel, lalu menyerahkannya kepada Arden.
"Berikan nomormu," pintanya.
Arden tidak keberatan untuk memberikan nomor kontak miliknya apalagi yang meminta itu adalah seorang wanita cantik. Lauren tinggi hingga batas dagunya, hidung mancung kecil, bibir tipis, dan tubuh langsing.
"Telepon saja aku, Cantik," ucap Arden.
Lauren kembali mengecup bibir Arden. Tentu saja Arden menyambut niat baik dari wanita itu sebagai ucapan terima kasih. Saling mencecap tanpa satu senti pun terlewat.
"Kamu yakin tidak ingin?" tanya Lauren.
"Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Aku pesan tempat dulu untuk memuaskanmu."
Arden membawa Lauren keluar dari kelab menuju mobil. Ia membuka pintu penumpang, lalu menyilakan Lauren masuk. Selagi Lauren memasang sabuk pengaman, Arden masuk dan menghidupkan mesin kemudian berlalu dari sana.
Tiga puluh menit mobil yang dikendarai Arden tiba di hotel. Keduanya keluar, lalu masuk bersama. Arden memesan satu kamar untuk mereka berdua.
Sambil berpegangan tangan, keduanya masuk ke dalam lift. Arden kembali mengecup bibir Lauren. Hasrat yang terpicu sangat sayang untuk tidak dilepaskan.
Saking tidak sabarnya, Arden membuka blazer yang dikenakan Lauren agar dapat mengecup bahu dari wanita itu.
"Kita keluar dulu," kata Lauren.
Arden melirik lift yang terbuka, ia keluar dengan menarik tangan Lauren dengan gegabah. Mencari nomor kamar yang membuat kesal.
Setelah sampai di kamar, Arden secepatnya membuka pintu dan masuk ke dalam. Arden menutup kamar dengan tendangan sebab bibirnya tidak mau melepaskan pagutan Lauren.
"Buka bajumu," kata Arden.
"Kamu juga."
Arden melepaskan kemeja serta sepatunya. Sementara Lauren melepaskan semua kain yang melekat di tubuh. Arden mendorong wanita itu hingga terjungkal ke atas tempat tidur.
"Kamu belum membuka pakaianmu," ucap Lauren.
"Aku bilang kalau aku akan memuaskanmu. Aku tidak bilang kalau kita saling memuaskan."
Lauren tersenyum. "Kamu tidak ingin disentuh rupanya. Baiklah, aku ingin melihatmu memuaskanku."
Arden menurunkan kepalanya, mengecup setiap inci dari tubuh Lauren bagaikan hidangan. Namun sayang, Arden tidak bersedia bermain bibir di bawah sana. Hanya dua jarinya yang menusuk bagian inti dari Lauren.
"Aku salut kamu masih bisa menahannya. Lihat milikmu. Ia mendesak ingin dikeluarkan. Berikan dia kepadaku dan aku akan memuaskannya. Tidak apa-apa jika kamu tidak menginginkan intiku. Kita bisa mengeluarkannya dengan bibir," tawar Lauren.
"Aku tidak menyukai wanita yang banyak bicara. Diam saja dan terus bersuara lirih," kata Arden.
Lauren tidak lagi protes, ia membiarkan tubuhnya diacak-acak oleh Arden. Tidak peduli Arden menginginkannya atau tidak, asalkan ia sendiri sudah puas hanya dengan pemanasan.
"Sial! Kamu mengotori tubuhku," ucap Arden.
Lauren tertawa karena ia memercikkan cairan bening ke tubuh pria itu. Siapa yang menyebabkan Lauren hingga seperti itu? Bukannya Arden sendiri. Ia memainkan jari dengan kuat dan cepat hingga Lauren memuntahkan lelehan air beraroma pesing.
"Aku tidak tahan tadi," kata Lauren.
"Aku perlu mandi."
"Kenapa tidak sama-sama?" tawar Lauren.
"Aku sendiri saja agar lebih cepat," jawab Arden.
Bersambung