Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua puluh dua
Waktu terus berputar, dan tanpa disadari, langit mulai meredup, perlahan berubah menjadi senja yang menjelang malam. Dina mendekati Rai dengan langkah lembut, menyampaikan saran agar Rai kembali ke kota Kencana. "Rai, besok kamu ada pertemuan dengan para penggemarmu. Mungkin sebaiknya kita pulang dan istirahat dulu," kata Dina dengan penuh perhatian.
Namun, Rai menggeleng pelan, menunjukkan keteguhan hatinya. "Aku tidak mau pergi kak. Aku ingin di sini, menemani Rayan," jawabnya lirih namun tegas, sorot matanya tak beranjak dari sosok suaminya yang masih terbaring lemah.
Rayan, yang mendengar percakapan mereka, menghela napas pelan dan berusaha menguatkan diri untuk bicara. Ia tahu betapa pentingnya kehadiran Rai di mata para penggemarnya. Istrinya bukan lagi sekadar seseorang yang sederhana, Rai kini adalah sosok yang dikagumi banyak orang.
"Rai, kamu harus pergi. Mereka menunggumu..." ucap Rayan lembut, memandang Rai dengan penuh kasih dan pengertian.
Namun, Rai tetap tak bergeming, suaranya sedikit bergetar saat menjawab, "Aku tidak peduli pada mereka rayan. Yang paling penting sekarang adalah kamu, kamu adalah segalanya bagiku. Aku tak akan pergi." Ucapan Rai menggema, menyiratkan perasaan cintanya yang mendalam untuk suaminya.
Rayan menatapnya dengan penuh kasih, memahami ketulusan hati Rai. Ia tahu betapa besar cinta istrinya, dan dalam detik-detik itu, ia menyadari bahwa kehadiran Rai di sampingnya adalah kekuatan yang tak tergantikan. Malam pun perlahan jatuh, membawa serta ketenangan, membungkus mereka dalam cinta yang seolah tak terpisahkan.
Akhirnya, Rai menarik napas panjang, mengumpulkan hatinya untuk membuat keputusan. Ia menoleh ke arah dina, mencari kepastian. "Jam berapa besok pertemuannya kak?" tanya Rai, suaranya lebih tenang namun tetap penuh tekad.
Dina tersenyum tipis, menjawab, "Jam tiga sore." Mendengar itu, Rai menghela napas lega. Keputusannya semakin mantap. "Kita pulang besok saja ya kak? Malam ini, aku ingin di sini, menemani Rayan dan Racheline. Baru saja aku kembali bertemu dengan putriku, tak mungkin rasanya harus meninggalkan dia lagi. Dan kalau aku membawanya ke acara itu, pasti terlalu berbahaya," ucap rai sambil menatap putrinya dengan penuh kasih.
Dina pun mengangguk pelan, memahami posisi rai sebagai seorang ibu dan istri. Ia menghela napas dan dengan perasaan penuh simpati ia berkata, "Baiklah rai. Kita pulang besok saja." Malam itu terasa lebih hangat dengan keputusan rai. Di dalam ruang yang masih dihiasi rasa haru, Rai merasakan ketenangan mendalam. Besok ia akan memenuhi panggilan penggemar, namun untuk malam ini, ia akan menepati janjinya untuk tetap berada di sisi keluarga yang dicintainya.
Dengan penuh ketenangan rahma tersenyum sambil menatap zeline, lalu berbicara dengan lembut, "Karena bunda menginap di sini malam ini, Zeline ikut tante Rahma dulu ya? Kita pulang sebentar untuk mandi, nanti kita kembali lagi menemui bunda dan ayah." Zeline mengangguk pelan, meski matanya enggan meninggalkan ibunya. Rahma menggenggam tangan kecil zeline, siap mengajaknya pulang sebentar.
Tak lama, Sania juga menyahut dengan ramah, melirik ke arah Dina. "Kak Dina, kalau mau, bisa pakai baju di rumahku dan menginap di sana," tawarnya. Dina tersenyum, sedikit ragu, dan berkata, "Mungkin aku menginap di hotel saja, supaya tidak merepotkan."
Namun, Rahma cepat menggeleng dan berkata, "Jangan repot-repot ke hotel. Menginap saja di rumah Rayan dan Rai. Lebih nyaman." Dina akhirnya mengangguk, tersenyum, menghargai kehangatan keluarga ini.
Rahma lalu mengingatkan rayan, "Lagipula, pakaian rai masih banyak di rumahkan rayan ?" tanyanya sambil melirik rayan, yang hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Ya, baju-baju saat rai dulu mengandung, masih kusimpan di dalam lemari," ujar Rayan lembut. Rai tersenyum, merasa dihargai, dan mengangguk, teringat masa-masa itu.
Di tengah percakapan hangat ini, tiba-tiba Tio, suami Rahma, tiba di kamar inap rayan, membawa tas berisi pakaian untuknya, Rahma, dan anak mereka, Nesya. Ia mendekat dengan sopan dan mengatupkan kedua tangannya, memperkenalkan diri pada Rai. "Saya Tio, suaminya Rahma," katanya ramah. Rai tersenyum hangat, membalas sapaan itu dengan sikap bersahaja. "Saya Rai," balasnya, mengapresiasi kehadiran keluarga yang mendukung ini.
Keakraban dan kehangatan yang menyelimuti mereka membuat malam itu terasa penuh kebersamaan. Meski di tengah ujian, kehadiran keluarga dan sahabat memberikan kekuatan dan ketenangan bagi rai dan rayan.
-
-
Setelah semua orang pergi meninggalkan kamar, sunyi kembali menyelimuti ruangan, hanya menyisakan rayan dan rai dalam keheningan. Rai berdiri sebentar menatap pintu yang kini tertutup, memastikan tak ada gangguan, sebelum ia kembali menoleh ke arah suaminya. Wajah Rayan terlihat lemah namun damai, seakan menanti dengan sabar kehadiran istrinya yang kini kembali.
Rai melangkah mendekat, menatap wajah Rayan dengan penuh kerinduan. Airmatanya mulai menggenang saat ia berkata pelan, "Aku rindu sekali... Maafkan aku, mama begitu jahat pada kalian berdua," lirihnya, suaranya bergetar menahan perasaan yang selama ini ia pendam. Seolah tak bisa menahan diri, Rai menunduk, melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, "Setiap hari aku menangis... aku juga lelah... Aku tak ingin kembali ke sana," ucapnya, jujur dan rapuh.
Perlahan, Rai meletakkan kepalanya di tangan Rayan, membiarkan airmata jatuh tanpa hambatan. Sentuhan itu penuh kehangatan dan kesedihan, seakan melepaskan segala beban yang mengikat hatinya selama ini. Rayan, meski masih lemah, mengangkat tangannya dan mengelus kepala Rai, seakan ingin menyampaikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dalam keheningan dan kesederhanaan itu, tanpa perlu banyak kata, mereka saling menguatkan. Rai tahu, di sini, bersama Rayan, adalah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya, tanpa perlu menyembunyikan luka di balik senyuman.
Rai menunduk, suaranya semakin lirih, penuh keraguan yang terselip di setiap kata. "Aku gak mau pulang ke sana," ucapnya lagi, seolah berharap rayan mengerti betapa berat hatinya.
Rayan menarik napas dalam, menenangkan dirinya, lalu dengan suara yang lembut ia berkata, "Rai harus pulang ke sana. Ibu zeline ini sudah terkenal sekarang, dan di sana banyak yang sayang sama rai."
Tangis rai pun pecah, menyelinap di antara keheningan ruangan. Di sela-sela air matanya, ia merasakan kehangatan yang tak terlukiskan saat rayan menyebut namanya, sebuah momen yang telah lama ia rindukan.
"Tapi... Rai gak mau," katanya lagi, mencoba melawan perasaan yang bergejolak di dadanya. Air mata membasahi pipinya, jatuh tak terelakkan. Di hadapan rayan, ia tak perlu menutupi kesedihannya, ia bisa menjadi dirinya yang paling rapuh. Rayan, dalam kesabarannya, hanya menatapnya dengan penuh kasih sayang, membiarkan rai mengeluarkan segala rasa yang terpendam, tanpa harus berkata apa-apa.
Tak lama berselang, pintu kamar terbuka, dan langkah-langkah ringan terdengar memasuki ruangan. Zeline, Dina, Rahma, Tio, dan putri mereka yaitu Nesya menyusul kembali, membawa kehangatan ke dalam kamar yang tadi hanya diisi oleh keheningan dan percakapan penuh kesedihan.
Zeline, dengan kepolosannya, segera menghampiri Rai. Ia menatap wajah ibunya dengan mata yang penuh tanya, lalu bertanya pelan, "Bunda kenapa menangis?" Ucapannya disertai pelukan kecil, membuat rai tersentuh hingga seolah seluruh rasa sedihnya mencair dalam kehadiran sang putri.
Rai menggeleng pelan, mencoba tersenyum walau matanya masih berkaca-kaca. "Tidak apa-apa sayang," bisiknya lembut, sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Ia menatap dalam wajah putrinya, seolah mencari kekuatan dalam binar matanya yang polos dan penuh cinta.
Ia kemudian merengkuh zeline erat-erat, menikmati hangatnya pelukan sang buah hati. Momen ini terasa begitu nyata dan menyentuh hatinya. setelah semua yang terjadi, setelah kerinduan yang terpendam begitu lama, akhirnya ia bisa memeluk anaknya. Di pelukan itu, Rai merasa seluruh kesedihannya sedikit demi sedikit menghilang, tergantikan oleh rasa syukur dan kebahagiaan yang sederhana namun dalam.
Rahma, yang menyaksikan kedekatan rai dan zeline, akhirnya bersuara, mencoba menawarkan kehangatan dan perhatian dalam bentuk yang sederhana namun berarti. "Rai, kamu mandilah dulu. Ini kakak sudah bawa pakaianmu. Setelah itu, istirahatlah. Di balik tirai sana, ternyata ada kamar kecil untuk keluarga pasien. Kamu dan zeline bisa tidur di sana nanti," ucap rahma dengan lembut, sambil meletakkan tas berisi keperluan yang telah ia siapkan.
Rahma melanjutkan dengan penuh perhatian, “Aku juga bawa selimut buat kalian, dan ini boneka kesayangan zeline. Aku tahu dia nggak bisa tidur tanpa bonekanya.” Senyum hangat rahma semakin lembut ketika dia menambahkan, “Ini juga kotak susunya. Biasanya sebelum tidur, dia suka minum susu, Aku sudah siapkan semuanya. Kamu tinggal pakai nanti ya.”
Rai menatap rahma dengan penuh syukur. Sederet perhatian dan kehangatan ini membuatnya merasa tidak sendiri di tengah semua beban yang ia rasakan. Ia mengangguk pelan, matanya berbinar. “Iya kak. Terima kasih banyak,” jawab rai dengan suara pelan, yang sarat dengan ketulusan.
Rahma membalas dengan senyum lembut dan mengangguk, merasa lega bahwa ia bisa membantu, walau dalam hal kecil. Dalam keheningan yang nyaman, Rahma dan Rai saling berbagi kekuatan tanpa perlu banyak kata, hanya dengan kasih sayang dan dukungan yang nyata.
Setelah itu rai segera menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuh yang lelah. Di luar, Zeline duduk setia menunggu, meski kelopak matanya mulai terasa berat, menandakan rasa kantuk yang tidak tertahankan. Namun, meski ingin segera terlelap, hati kecilnya ingin meringkuk di sisi ibunya, tidurnya terasa lebih nyaman saat dipeluk hangat oleh rai. Maka, Zeline menunggu dengan sabar, menahan rasa kantuk yang makin menggelayuti.
Rayan, yang menyadari bicara dengan lembut. “Adek tidurlah dulu, kan ada bonekanya,” ujarnya, berharap putri kecilnya mau beristirahat. Tapi zeline hanya menggeleng pelan, mengungkapkan keinginan yang kuat dalam lirih, “Mau sama bunda,” katanya sambil sedikit merengek, suaranya setengah berbisik karena kantuk.
Melihat keteguhan putrinya, Rayan menghela napas kecil, lalu mengusap lembut kepala zeline. “Iya, adek bobok sama bunda nanti, tapi coba istirahat di kasur dulu ya, jangan di sini nak,” bujuk rayan dengan nada lembut. Namun, Zeline tetap menanti dengan sabar, seakan tidak ada yang mampu menggantikan kehadiran Rai.
Saat rai keluar dari kamar mandi, Senyum lembut terulas di wajahnya ketika ia melihat zeline menunggunya dengan setia. Tanpa banyak kata, Rai mengangkat putrinya, membawanya ke kamar kecil yang telah disiapkan.
Saat mereka berbaring di tempat tidur, Zeline menghadap ibunya dengan tatapan penuh harap. Rindu akan momen indah dalam perjalanan menuju rumah sakit membuatnya ingin merasakan kehangatan dan kenyamanan yang sama. Ia merindukan saat-saat ketika ia bisa menyusu dengan tenang di pelukan rai, namun rasa malunya menghalanginya untuk mengungkapkan keinginannya.
Zeline mulai menggerakkan tubuhnya, menggeliat lembut, berharap ibunya peka dengan isyaratnya. Rai, yang menangkap gerakan kecil putrinya, tersenyum lembut. Tanpa perlu banyak kata, ia menyadari apa yang diinginkan zeline. Dengan lembut, Rai menarik putrinya lebih dekat, membiarkan zeline merasakan kehangatan tubuhnya.
Dengan penuh kasih, Rai mulai menyusui zeline, membiarkan putrinya merasakan kenyamanan dan keamanan yang selama ini dirindukan. Suasana di ruangan itu terasa damai, seperti dunia luar seolah menghilang. Rai memejamkan mata sejenak, membiarkan perasaan syukur memenuhi hatinya. akhirnya, mereka kembali bersama, menghabiskan momen berharga dalam kebersamaan yang tak ternilai.
Namun ketika kantuk melanda, Rai perlahan terlelap dalam pelukan hangat putrinya. Posisi mereka tetap sama, dengan zeline yang masih meneguk ASI ibunya dengan pelan, seolah-olah mengukir momen ini dalam ingatan. Suara lembut napas rai menjadi irama menenangkan yang mengantarkan zeline ke dalam mimpi.
Mata zeline mulai terpejam, wajahnya yang mungil terlihat damai dan puas. Dalam tidur yang tenang, ia merasakan kedekatan yang tidak tergantikan dengan ibunya. Setiap hembusan napas Rai adalah pengingat bahwa ia aman dan dicintai. Keduanya terhubung dalam keheningan yang penuh cinta, menjadikan momen ini semakin berharga.
Rai, meski terlelap, masih merasakan kehadiran zeline di sampingnya. Insting keibuannya membuatnya tetap waspada, melindungi putrinya dalam pelukan hangatnya. Dalam tidur yang mendalam, mereka berdua berada di dunia yang penuh kebahagiaan, terpisah dari segala kesulitan yang mereka hadapi.
Suasana kamar yang tenang dipenuhi dengan kehangatan cinta antara ibu dan anak. Dalam keheningan malam itu, waktu seakan berhenti, memberi kesempatan bagi rai dan zeline untuk merasakan cinta yang tulus, menjalin kembali ikatan yang tak akan terpisahkan.