Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1 Diputusin Demi Wanita Lain
Suara napas yang menderu usai pergulatan bibir itu membuat sang pria menyeka bibir basah gadis di depannya.
“Manis, seperti biasa. Tapi … aku kepingin yang lebih. Sudah seminggu ini aku tidak mendapatkan jatah darimu,” ucap pria dengan mata sipit itu.
“Ah, jangan sekarang, Sayang! Aku sedang halangan,” tolak gadis berambut lurus panjang.
“Ah, padahal aku sedang ingin ….” Ucapan pria dengan rambut hitam legam itu berhenti, saat melihat gadis cantik berdiri di ambang pintu.
Brak
Rantang nasi jatuh di lantai. Semua isi di dalamnya berhamburan, suara gaduhnya itu membuat perempuan dalam dekapan sang pria menoleh.
“Apa dia kekasihmu, Sayang?” tanya gadis berambut panjang itu tanpa malu.
“Mas Artha, aku tidak menyangka, di belakang aku, kamu bermain gila.” Air mata gadis berambut sebahu itu hampir tumpah. Tak peduli dengan masakannya yang berantakan di bawah sana.
“Inara? Sejak kapan kamu di-di sana?” Artha melerai pelukannya. “Diah, kamu ke belakang dulu.”
Diah dengan santainya mengangguk, lalu pergi ke belakang. Lantas, Artha sendiri mendekati kekasihnya.
“Aku sasma dia—“
“Kalian berhubungan, kan, Mas? Dia bukan sepupu kamu.”
Artha tersenyum miring. Sebelah tangannya masuk di saku sakunya. “Jadi, gimana? Selama ini, kamu tidak bisa memberikannya padaku, lantas, apa salahnya aku meminta pada perempuan lain?”
Plak
Tamparan yang begitu keras mendarat di pipi Artha. Napas Inara terlihat menderu. Dengan air mata yang luruh.
“Bisa-bisanya kamu giniin aku, Mas? Kita sudah bertunangan dan hampir menikah, kamu justru—“
“Kamu yang tidak percaya sama aku, Inara! Jadi, jangan salahkan aku jika aku meminta kepuasan pada perempuan lain.”
Dada Inara begitu sesak. Calon suaminya begitu sangat tega. Tanpa meminta maaf, malah menyalahkannya balik. “Kamu kenapa jadi playing victim kaya gini, sih, Mas?”
Artha tersenyum miring, tangannya mengusap peluh di dahi. “Kenapa? Gak suka? Kita batalin aja pernikahan kita itu.”
Inara buru-buru melepas cincin pertunangan mereka, lalu dilempar ke wajah Artha. “Aku kecewa sama kamu. Aku pastiin, kamu bakalan menyesal!” Dengan amarah yang menggebu, Inara pergi dari rumah Arta.
Gadis itu berlari sekuat tenaga. Hatinya begitu sakit melihat kebohongan sang kekasih selama ini.
‘Harusnya aku sadar, dia memang tidak pernah serius. Nyatanya, dia selalu mengundur-undur pernikahan. Tapi, Aku bersyukur bisa melihat seuanya.’ Inara tak peduli, ia terus berlari hingga suara klakson mobil yang keras membuatnya berhenti.
Bruk
Tubuh ramping Inara ambruk. Limbung dan terjatuh di tepi jalan. Pelipisnya membentur trotoar, ponsel yang ada di tangan terlempar dan jatuh di selokan. Inara merasakan pening, dengan telinga berdengung, sayup-sayup terdengar seruan seseorang, dan perlahan suara itu memudar dengan cahaya putih pula memudar bergantikan hitam, gelap. Inara tak mendengar apapun.
“Hey, bangun!” Pria jangkung dengan hidung besar mengguncang tubuh ringkih Inara. Keningnya mengkerut, menandakan kekhawatiran yang mendalam. Wajah cantik dengan muka sembab tak sadarkan diri. “Inara … kamu harus bangun.”
Setelah tolah-toleh, tak ada seorangpun yang ada di sana. Pria dengan tahi lalat di bibir atas itu mengangkat gadis yang ia kenal itu.
“Gadis bodoh! Selalu saja sembrono.” Setelah membaringkan Inara di jok belakang, pria berambut hitam legam itu buru-buru memasuki mobilnya. Meminta sang supir untuk lekas menjalankan mobil.
“Di bawa ke rumah sakit apa rumah utama, Tuan Argha?” tanya sang supir dengan khawatir.
“Ke rumah saja. Kita tidak ada waktu. Biar dokter keluarga yang mengurusnya,” jawab Artha dengan cepat.
Mobil mewah itu melaju dengan cepat menuju rumah utama keluarga Winata. Membelah jalanan ibu kota.
Sampai di halaman mansion, dengan cepat Argha turun dari mobilnya. Menggendong sendiri gadis yang terserempet mobilnya itu. Deretan pelayan berbaris menyambut kehadirannya.
Pun dengan beberapa ajudan. Yang mengikutinya dari belakang.
Di kamar tamu, seseorang membukakan pintu, Argha membaringkan Inara di atas ranjang.
“Panggil Dokter Edo untuk memeriksa dia,” titah Argha yang kemudian pergi dari kamar itu.
“Baik, Tuan.”
Argha masuk ke dalam ruang kerjanya, ia duduk dengan gusar. Sebelah tangannya mengepal dengan kuat. Latas, memukul meja kebesarannya dengan kuat.
Brak!
“Brengsek. Bisa-bisanya dia mengacaukan semuanya. Anak sama ibu tidak ada bedanya!”
Tok tok tok
Mendengar ketukan pintu, Argha langsung menoleh. Pria berhidung bangir itu menatap tajam seorang wanita yang memerikan anggukan kecil.
“Pak Argha, Mbak Inara sudah siuman.”
Argha bangkit dari tempat duduknya. Ia memberikan anggukan. “Di mana Dokter Edo? Apa sudah memeriksa Inara?”
“Sudah, Pak. Mbak Inara hanya mengalami syok dan kaki kirinya terkilir.”
Argha kembli mengangguk, pikirannya kembali pada ekpresi Inara ketika sebelum pingsan. Gadis itu tampak seperti habis menangis. “Kamu siapkan makanan untuk dia. Sebentar lagi saya akan ke sana.”
“Baik, Pak.”
Argha mengigit bibir bagian bawahnya. ‘Apa dia sudah tahu semuanya?’
Tak ingin berlama-lama, Pria jakung itu langsung menuju ruang tamu. Ia ingin memastikan sendiri, keadaan Inara. Pun ingin tahu hal yang terjadi pada gadis itu.
Klek
Inara mengangkat wajahnya, bibirnya mendesis karena merasakan sakit yang luar biasa di kakinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahannya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Argha dengan dingin, seperti biasa.
“Ba-baik. Saya harus pulang, Pak.” Inara berusaha untuk bangkit, namun buru-buru Argha menahannya. Pria taman dengan hidung bangir itu duduk di sebelahnya. “Pak, saya—“
“Kenapa kamu bisa lari-larian di jalan?”
Inara mengerjab beberapa kali, seperti biasa, pertanyaan Argha tak terbantahkan. Di kantor, Argha adalah orang yang paling ia takuti, meski statusnya adalah kekasih Artha sekalipun. Namun, ingatan akan penghianatan Artha, membuat Inara menundukkan kepala.
“Apa kamu melihat Artha selingkuh?”
Mata Inara terbelalak. Gadis itu tak menyangka. Orang kaya memang selalu mempermainkan hati orang miskin. Harusnya, Inara sadar diri sejak lama. Bisa jadi, Argha memang melindungi Artha, mengingat keduanya adalah kakak-beradik.
“Tinggalkan dia,” lanjut Argha.
Inara mengangguk. Sudah pasti, dia tidak akan mengemis, karena ia sudah benar-benar dibuang. Beruntungnya, ia belum menyerahkan kesuciannya pada iblis itu. “Anda jangan khawatir, Pak. Saya akan memutuskan hubungan saya dengan Mas Artha.”
Argha menatap tajam Inara, ide gila terbesit dalam benaknya. ‘Aku tahu, Argha tak benar-benar melepaskan mainannya.
“Pernikahan itu akan tetap terjadi.”
Inara mengangguk. Tentu Artha akan menikah, dengan wanita bernama Diah itu. Ia menghela napas panjang. Jauh dari lubuk hati yang terdalam, ia masih belum bisa move on. Wlau bagaimana pun juga, Artha adalah pria manis yang selalu memperlakukannya dengan baik. Hanya saja, pria itu memiliki napsu yang begitu tinggi.
“Biarkan saja mereka menikah. Saya sudah tidak [eduli lagi.”
“Bukan Artha, tapi kamu.”
“Ha? Sa-saya?” Inara menunjuk hidungnya sendiri. Melihat Argha mengangguk, perempuan dengan mata lebar itu menelan ludah perlahan. “Kenapa saya?”
“Saya yang akan menjadi mempelai prianya.”
Demi apapun, mata Inara langsung mendelik sempurna. “Ba-bapak? Pak, ini bukan—“
“Sudahlah Inara. Saya yakin, orang tua kamu pasti yang akan malu jika pernikahan itu dibatalkan. Saya yang akan menjadi mempelai prianya. Saya akan memperlakukan kamu dengan baik, dan kamu akan mendaptkan semestinya. Dan perlu kamu ingat, saya bukan tipe pria yang suka berselingkuh.”
Gluk
Inara menelan ludahnya kasar. ‘Demi apa? Gue nikah sama pria yang kabarnya Gay? Tidak … ini tidak mungkin.”
“Kenapa muka kamu begitu? Aturannya kamu harus bersyukur bisa saya nikahi, kan?”
“Ta-tapi.”
“Aturannya kamu senang. Kamu bisa membalas dendam kamu sama Artha juga. Kamu bisa menjadi Nyonya Winata yang sesungguhnya. Karena saya adalah pewarisnya, bukan Artha.”