Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Imperial International Highschool
Bradley yang sedang mencoba merapikan sebuah bantal yang tak tahu entah sejak kapan jatuh dari sofa, terhenti sejenak. Matanya membelalak sedikit, mulutnya terkatup rapat, lalu bibirnya terjepit dalam senyuman kaku. “Eh, apa maksudmu, Luna?” dia tertawa canggung, mencoba menutupi ketegangan yang muncul begitu saja. “Tidak semua orang butuh pacar, kan?”
Luna mengangkat alisnya, seolah tidak percaya. “Benarkah? Kau punya apartemen megah, kau juga aktor sekaligus penyanyi terkenal, tapi... tidak ada pacar?” Dia melihat sekeliling ruangan yang sedikit berantakan itu, lalu menatap paman yang tampaknya merasa sedikit kesal dengan kenyataan ini. “Apa kamu tidak khawatir akan jadi jomblo selamanya?”
Bradley langsung terdiam. Kata-kata itu seperti serangan kilat. "Luna, kata-katamu, sedikit menusuk...." katanya dengan nada yang sedikit tersendat, kemudian tertawa kecil. “Jadi... kau ingin membantu membersihkan?”
Luna hanya mengangkat bahu, “Yah, apa boleh buat. Lagipula aku akan tinggal disini mulai sekarang, jadi setidaknya ada yang bisa kulakukan.”
Bradley hanya bisa tertawa kecil, menggaruk kepalanya. “Oke, oke. Jadi, kalau begitu, kita tunggu housekeeping saja agar bisa lebih cepat membersihkan semua ini.”
Luna memandangi pemandangan dari jendela besar di sebelah mereka. “Tidak perlu, untuk hal seperti ini bisa kuselesaikan dalam waktu singkat.”
Bradley memandangnya dengan penasaran, sebelum mengangguk pelan. “Baiklah kalau begitu, oh ya kau bisa tidur di kamar tamu untuk sementara, sampai kamarmu selesai dirapikan. Tidak masalah kan?” Luna mengangguk.
...****************...
Luna berdiri di depan gerbang megah Imperial High School, menatap lambang sekolah berlapis emas yang tampak begitu angkuh di atas gerbang baja hitam yang menjulang tinggi. Napas panjang dihelanya, seolah udara segar di sekitarnya bisa memberikan kekuatan untuk menghadapi hari itu. "Ini dia. Hari pertama di sarang para pangeran dan putri," gumamnya pelan sambil memeluk erat map dokumen di dadanya.
Dengan seragam sekolah lamanya yang terlihat sederhana—jika tidak ingin dibilang kusam dibandingkan standar Imperial—Luna melangkah masuk ke halaman sekolah. Langkahnya tegas, tapi sorot matanya jelas-jelas tak nyaman dengan tatapan para siswa berpenampilan seperti model yang berseliweran di sekitarnya.
"Siapa dia?" bisik salah satu murid perempuan dengan nada mencibir, jelas membahas seragam Luna yang kontras dengan blazer eksklusif berlogo Imperial yang dikenakan semua orang.
"Tamu? Atau salah masuk sekolah?" timpal temannya sambil tertawa kecil.
Luna pura-pura tak mendengar, fokus menuju pintu utama sekolah. Begitu dia sampai di meja resepsionis yang besar dan megah—terbuat dari marmer putih yang mengilap, lengkap dengan ornamen emas—dia menyapa petugas resepsionis yang duduk di balik meja, seorang wanita dengan blazer biru tua yang sangat serasi dengan gaya rambutnya yang disasak tinggi.
"Selamat pagi. Di mana saya bisa menemukan bagian administrasi? Saya ingin melakukan registrasi masuk," kata Luna singkat, langsung ke pokok persoalan.
Resepsionis itu menatap Luna dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan yang bisa membuat siapa pun merasa seperti kucing kampung yang tersasar di pesta makan malam keluarga bangsawan. Alisnya yang tipis melengkung naik, dan sebuah senyum kecil muncul di bibirnya—senyum yang sama sekali tidak ramah.
"Administrasi?" ulang resepsionis itu dengan nada sinis sambil menyesap kopi dari cangkir porselen mungil di mejanya. "Sayang sekali, tapi ini Imperial High School. Anda yakin tidak salah alamat?"
Luna menahan napas, berusaha mengabaikan nada merendahkan itu. "Yakin sekali," jawabnya dengan nada datar, mencoba tetap tenang.
Tatapan resepsionis itu beralih ke seragam Luna lagi, kali ini matanya menyipit seolah mencoba mencari tahu apakah Luna benar-benar serius atau hanya berusaha lucu. "Hmm. Baiklah," katanya akhirnya, menyerah untuk terus menyindir. "Lantai tiga, belok kanan, ruang registrasi ada di ujung koridor."
"Terima kasih," kata Luna dengan nada formal, meskipun dalam hati dia sudah membayangkan menjadikan resepsionis itu karakter antagonis dalam cerita drama fantasi yang tragis.
Saat Luna berbalik dan mulai melangkah menuju lift, dia bisa mendengar gumaman resepsionis itu yang dengan sengaja tidak terlalu pelan, "Bagaimana bisa gadis kampungan dari sekolah kecil tak terkenal itu bisa berada disini?"
Luna berhenti sejenak, menoleh dengan senyum yang sama sekali tidak manis. "Sekolah lamaku memang kecil dan tidak terkenal, sama seperti anda yang kecil dan tidak terkenal" balasnya santai sebelum melanjutkan langkahnya.
Di belakangnya, resepsionis itu tercekat, sementara beberapa siswa yang mendengar percakapan itu mulai terkikik pelan. Luna menghembuskan napas panjang lagi, kali ini dengan sedikit lega. "Hari pertama, dan aku sudah membuat musuh," pikirnya. "Bagus. Prestasi luar biasa."
...****************...
Di ruang kerja megah wakil kepala sekolah Imperial High School, Bruce Wayne—pria paruh baya yang tampak seperti mantan model katalog jas formal—menghadapi salah satu tantangan terbesar dalam kariernya: Bu Matilda. Wanita ini adalah guru paling senior sekaligus paling angkuh di sekolah, dengan sikap yang bisa membuat singa pun memilih mengalah daripada berdebat dengannya.
"Pak Bruce," kata Matilda dengan nada tinggi sambil menekan tumpukan dokumen di meja, "saya tidak mau menerima siswi ini di kelas saya. Lihat saja nilai-nilainya!" Dia melambaikan beberapa kertas, seperti seorang hakim yang baru saja menemukan bukti kejahatan besar. "Dia bahkan tidak berada di peringkat teratas di sekolah lamanya. Kalau dia ada di kelas saya, bisa-bisa dia akan menghambat semua murid lain!"
Bruce menyesap kopi di cangkirnya dengan tenang, mencoba melatih kesabarannya. "Bu Matilda," katanya pelan, "Luna Harrelson diterima di sini melalui jalur rekomendasi khusus. Kita tidak bisa menilai siswi ini hanya dari nilai akademisnya."
"Tapi itu fakta, Pak Bruce!" balas Matilda dengan nada yang hampir seperti teriakan. "Kelas saya adalah kelas terbaik di Imperial! Kita harus mempertahankan standar! Bukankah lebih baik siswi ini ditempatkan di kelas 320? Kelas itu penuh dengan anak-anak pembuat onar yang bahkan tidak pernah mendapat ranking. Saya rasa Bu Evelyn akan setuju, bukan?"
Bruce memijat pelipisnya, memikirkan bagaimana menghentikan drama ini sebelum menjadi perang dunia ketiga. Saat dia akan membuka mulut untuk membalas, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka.
"Saya setuju masuk kelas 320," kata sebuah suara yang jelas bukan milik Bruce atau Matilda.
Semua orang di ruangan menoleh, dan di sana berdirilah Luna Harrelson, dengan map dokumennya yang terlihat seperti perisai, dan seorang staf administrasi yang tampak seperti telah diseret secara paksa untuk menjadi saksi.
Matilda menatap Luna seperti baru saja melihat seekor domba masuk ke kandang singa. "Apa-apaan ini? Kenapa dia ada di sini?" tanya Matilda, nyaris kehilangan kata-kata.
Luna melangkah masuk, memasang senyum kecil yang terlalu santai untuk situasi ini. "Maaf mengganggu, tapi saya mendengar diskusi seru tentang saya dari luar," katanya ringan, lalu menatap Bruce. "Saya tidak keberatan masuk kelas 320. Lagipula, sepertinya kelas itu lebih menarik daripada kelas penuh orang yang merasa terlalu pintar untuk orang lain."
Matilda membeku, mulutnya ternganga seperti ingin membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Bruce menahan diri untuk tidak tertawa.
Bu Evelyn, yang selama ini duduk tenang di sudut ruangan seperti juri yang bijaksana, akhirnya bicara. "Kalau begitu, saya akan menerima Luna di kelas 320. Mungkin dia bisa membawa angin segar ke dalam kelas."
"Terima kasih, Bu Evelyn," kata Luna, membungkuk sedikit dengan sopan.
Bruce akhirnya angkat bicara, dengan nada puas. "Kalau begitu, masalah selesai. Luna akan masuk kelas 320."
Matilda mendengus, mengumpulkan dokumen-dokumennya, dan pergi tanpa sepatah kata pun. Luna menatap pintu yang tertutup dengan senyum puas, lalu berbalik ke arah Bruce dan Evelyn.
"Terima kasih, Pak Bruce. Terima kasih, Bu Evelyn. Saya janji akan melakukan yang terbaik di kelas 320," katanya.
Bruce tersenyum kecil. "Selamat datang di Imperial, Luna. Saya rasa, kita akan sering mendengar nama Anda."
"Semoga dalam konteks yang baik," balas Luna sambil terkikik sebelum pergi, meninggalkan Bruce dan Evelyn yang saling pandang dengan campuran tawa dan rasa ingin tahu.
...****************...