Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Sebuah Kesalahan Fatal
Trian dan Lina masih tampak menggigil kedinginan. Tapi, bersyukur akhirnya mereka bisa keluar dari tempat dingin itu.
"Pak, kalau mau tutup, tolong dicek dulu lain kali siapa tau masih ada orang," protes Trian.
Ia merasa sudah hampir mati beku di dalam. Apalagi ia hanya mengenakan selembar kaos tipis saja.
"Maaf, Mas. Jadwal tutup memang jam lima pas. Sebelumnya juga sudah ada pengumuman, mungkin kalian saja yang tidak dengar. Sini, duduk dulu di sini," kata bapak penjaga mempersilakan Trian dan Lina untuk duduk di kursi jaga miliknya.
"Ini, pakai jaketnya supaya hangat!" bapak itu juga memberikan jaket tebal kepada keduanya.
Memang, setiap pengunjung yang datang ke wahana es itu, diharuskan memakai pakaian tebal yang sudah dipersiapkan pihak taman hiburan.
Trian dan Dara saling berpandangan. Keduanya terlihat canggung setelah apa yang mereka lakukan sebelumnya.
"Berapa lama kalian di dalam? Untung saya masih di sini mau mengecek pendingin yang rusak," tanya Bapak Penjaga.
"Tidak tahu, Pak. Kami sudah tersesat sejak di taman dinosaurus terus lanjut di istana es cari-cari pintu keluar sekitar tiga puluh menit lebih," jawab Trian.
"Untung kalian selamat. Kalau sampai ada yang mati di dalam, bisa-bisa tempat ini langsung ditutup. Lain kali hati-hati, ya! Jangan sampai terlewat jam tutup," nasihat si bapak.
"Bapak, kenapa papan petunjuk arahnya nggak ada? Bahaya sekali bikin orang tersesat ...," sahut Lina.
"Aduh, masa sih? Mungkin ada pengunjung anak-anak yang iseng. Setiap pagi kami biasanya memastikan papan petunjuk arahnya terpasang dengan benar," jawab Si Bapak.
Lelaki itu berjalan menuju ruangan di belakang yang sepertinya sebuah dapur kecil. Dia kembali membawa dua gelas minuman berwarna coklat.
"Ini diminum dulu, kopi buatan anakku. Rasanya enak, soalnya dia pernah jadi barista," ucap si bapak seraya menyuguhkannya ke hadapan Trian dan Lina.
"Terus, anak Bapak ada dimana?" Trian celingukan melihat-lihat ke sekeliling. Di sana sepi sekali.
"Pergi sebentar menemui Bos. Biasanya Bos juga suka minum di sini karena katanya enak." si Bapak terus memuji-muji anaknya sendiri.
"Em, ini memang enak! Ada rasa kopi, juga ada rasa coklat. Manis, aku suka," kata Lina sembari menikmati minuman itu. Saking sukanya, ia sampai langsung menghabiskannya satu gelas.
Trian juga menikmati minuman itu. Sama seperti yang Lina katakan, minuman buatan anak si bapak itu memang enak.
"Enak loh, Pak, minumannya. Kenapa tidak buat kafe sendiri malah kerja di sini?" tanya Trian.
"Kalau usaha sendiri ya resikonya besar, bisa-bisa rugi. Sudah bagus dia kerja di sini jadi teknisi. Lumayan juga gajinya. Tiga kali lipat lah dari gaji bapaknya yang hanya jadi tukang jaga," kata si bapak.
"Kondisi kami sudah membaik, Pak. Kami mau pulang dulu. Terima kasih untuk jaket dan minumannya," pamit Trian. Ia melepaskan jaket pinjaman yang dikenakannya.
"Lah, kok buru-buru?" tanya si bapak.
"Ini saja kami sudah telat pulang, Pak. Kami permisi dulu," lanjut Trian.
Lina ikut melepaskan jaketnya. Ia mengikuti Trian berpamitan.
"Ya sudah, hati-hati di jalan. Kalian keluar lewat sini saja, lurus terus sampai ada pohon cemara terus belok kanan. Nanti sudah sampai ke tempat parkiran," kata si bapak memberikan panduan arah.
"Iya, Pak. Terima kasih," kata Lina.
Trian dan Lina bergandengan tangan. Mereka menyusuri jalan yang baru saja ditunjukkan. Sepanjang langkah mereka saling diam. Hanya kesunyian malam dan bunyi hewan-hewan malam yang mengiringi langkah mereka.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka berhasil sampai di parkiran. Trian membukakan pintu mempersilakan Lina masuk ke dalam mobilnya. Ia lantas menyusul memasuki mobil di sebelah Lina.
Sebelum menjalankan mobil, tak lupa ia pasangkan sabuk pengaman. Ia lihat Lina kesulitan memasangnya.
"Biar aku bantu," kata Trian menawarkan diri.
Ia mencondongkan badannya membantu memasangkan sabuk pengaman Lina. Hanya perlu beberapa detik ia sudah berhasil melakukannya. Jarak mereka yang dekat entah mengapa membuat Trian terdorong untuk semakin mendekat. Apalagi ketika memandangi bibir Lina, ia tergoda untuk kembali menciumnya.
Lina terkejut saat Trian kembali mencium bibirnya. Ia berusaha mendorong tubuh lelaki itu, namun tenaganya tak ada apa-apanya. Ciuman Trian yang agresif membuatnya tak berdaya hingga akhirnya kembali pasrah dan mengikuti ciuman yang bergairah itu.
Bunyi ponsel menghentikan keduanya. Ternyata bunyi itu berasal dari ponsel Lina. Telepon dari Rudi. Trian menjauhkan diri dari Lina seraya mengusap kasar wajahnya dan menghela napas panjang.
"Halo?" sapa Lina memalui telepon.
"Kamu di mana?" tanya Rudi di seberang telepon.
Lina melirik ke arah Trian. Baru saja melakukan hal yang kelewatan membuatnya merasa bersalah kepada sang suami.
"Aku ... Aku masih di jalan pulang. Bersama Trian dan Dara." Lina mengatakan kebohongan untuk menutupi yang sebenarnya.
"Maaf, Lina. Hari ini aku tidak pulang. Beberapa hari ke depan juga aku tidak pulang. Ada urusan pekerjaan mendesak yang harus aku selesaikan di luar kota. Aku minta maaf sekali, Lina."
Nada bicara Rudi terdengar seperti memelas. Lina sudah menduga akan seperti ini lagi. Suaminya selalu pergi mendadak dan meninggalkannya.
"Iya, Mas. Tidak apa-apa," ucap Lina dengan bada lemas.
"Sekali lagi maaf, Lina. Kalau urusanku sudah selesai, aku akan langsung pulang. Aku tutup dulu, ya!"
"Iya."
Lina lantas menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela dengan perasaan kecewa.
"Kenapa?" tanya Trian.
"Rudi tidak pulang," jawab Lina singkat.
***
"Anton! Mesin pendingin mana yang rusak? Tadi sudah Bapak cek, sepertinya semua masih berfungsi dengan baik!" ucap Pak Samad, salah satu penjaga tempat wisata ketika anaknya telah kembali.
"Yang rusak bagian depan dekat pintu masuk, Pak! Nanti saja aku perbaiki," kata Anton seraya berjalan ke arah dapur. Ia seperti sedang tergesa-gesa.
"Tadi ada dua orang yang terjebak di dalam sini, untuk Bapak cepat buka pintu. Kalau sampai semalaman mereka terjebak, pasti besok sudah jadi mayat. Geger tempat kerja kita. Terus dipaksa tutup," celoteh Pak Samad.
Anton agaknya tak terlalu mempedulikan cerita ayahnya. Dia sibuk kesana kemari seperti mencari sesuatu.
"Kamu cari apa?" tanya Pak Samad.
"Minuman yang ada di sini mana, Pak? Sama botolnya?" tanya Anton.
"Oh, botolnya Bapak pindahkan ke atas," kata Pak Samad.
Anton langsung membuka lembari di atasnya. Botol yang ia cari memang ada di sana.
"Kalau kopinya tadi aku suguhkan ke pengunjung yang tersesat tadi. Kamu buat lagi saja, ya!" kata Pak Samad.
Anton terkejut. Ia berjalan menghampiri ayahnya. "Bapak memberikan minuman itu ke pengunjung?" tanyanya dengan nada meninggi.
Pak Samad mengangguk.
Anton menepuk dahinya. Ia tidak menyangka ayahnya akan melakukan hal itu.
"Kacau ... Kacau ...." gerutunya.
Pak Samad mengernyitkan dahi. "Bapak kasihan dengan mereka. Soalnya mereka kedinginan sampai menggigil. Jadi, kopinya Bapak berikan. Kamu kan bisa membuat lagi. Mereka juga memuji minumanmu, katanya enak."
"Aduh, Bapak ...." keluh Anton. "Bapak tidak tahu, ya? Itu minuman ada alkoholnya. Aku buat karena Bos yang minta. Kenapa malah diberikan ke pengunjung? Kalau mereka mabuk bagaimana? Bapak ini ambil sesuatu tidak bilang dulu!" ia menggerutu atas apa yang sudah ayahnya lakukan.
Pak Samad juga terkejut. Ia tidak tahu jika apa yang ia berikan adalah alkohol.
"Bapak kan tidak tahu. Bapak cuma kasihan saja kepada mereka."
Anton mendengus kasar. "Ya sudahlah! Aku harap mereka baik-baik saja. Aku mau buat minumannya lagi untuk Bos!" ucapnya seraya berjalan kembali ke arah dapur.