Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Cinta, dendam, dan luka lama
Setelah badai gosip itu mereda, Keisha dan Rama merasakan sedikit kedamaian. Hari-hari mereka kembali diisi dengan tawa kecil dan percakapan panjang di taman belakang sekolah. Meski begitu, mereka sadar bahwa hubungan mereka baru saja melewati ujian besar, dan mungkin ujian berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Namun, ada sesuatu yang mengintai dari balik ketenangan itu. Luka lama yang belum sembuh, dendam yang belum sepenuhnya hilang, dan cinta yang belum tersampaikan kembali muncul ke permukaan, membawa kejutan baru yang akan menguji kepercayaan dan keberanian mereka.
~
Keisha duduk di bangku taman sekolah, menatap halaman buku yang terbuka di tangannya tanpa benar-benar membacanya. Pikirannya melayang, memikirkan semua yang telah terjadi. Nadya, yang duduk di sampingnya, memerhatikannya dengan cermat.
“Lo baik-baik aja, Keish?” tanya Nadya akhirnya.
Keisha tersentak dari lamunannya dan menoleh. “Oh, iya. Gue baik-baik aja.”
“Serius?” Nadya mengangkat alis. “Gue kenal lo, Keish. Kalau lo bilang baik-baik aja tapi pikiran lo melayang gitu, artinya ada yang lo sembunyiin.”
Keisha tersenyum kecil. Nadya selalu tahu bagaimana membaca dirinya. “Gue cuma... Gue lagi mikir aja, Nad. Setelah semua yang terjadi, gue kadang ngerasa takut. Apa hubungan gue sama Rama bakal terus kayak gini?”
Nadya menepuk bahu Keisha dengan lembut. “Keish, hubungan nggak pernah gampang. Lo sama Rama udah buktiin kalau kalian bisa lewatin badai besar. Lo cuma perlu percaya sama dia. Kalau lo terus-terusan mikirin apa yang mungkin salah, lo malah nggak bakal bisa nikmatin momen yang ada sekarang.”
Kata-kata Nadya membuat Keisha merasa sedikit lebih ringan. Tapi, jauh di dalam hatinya, ada rasa cemas yang tak bisa ia abaikan.
~
Di sisi lain, Rama juga menghadapi dilema yang berbeda. Ia merasa bahwa setelah kejadian gosip itu, hubungan Keisha dengannya menjadi lebih erat, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa bahwa kehadiran Davin di sekitar Keisha masih menjadi bayang-bayang yang sulit diabaikan.
“Ram, lo yakin nggak ada masalah lagi sama Keisha?” tanya Dani, sahabat Rama, saat mereka sedang bermain basket di lapangan sekolah.
Rama menggeleng sambil menggiring bola. “Nggak ada masalah, Dan. Tapi gue cuma... Kadang gue ngerasa Keisha masih terlalu deket sama Davin.”
Dani tertawa kecil. “Ya wajar lah, Ram. Mereka kan temenan dari dulu. Lagian, lo kan yang dipilih sama Keisha. Ngapain lo khawatir?”
Rama menghela napas. “Gue tahu, tapi tetep aja. Gue nggak mau ada hal yang bisa ngerusak hubungan gue sama Keisha.”
Dani melempar bola ke arah Rama dan tersenyum. “Denger ya, Ram. Kalau lo percaya sama Keisha, lo nggak perlu khawatir. Jangan bikin keraguan kecil jadi masalah besar.”
Rama mengangguk, meski rasa khawatir itu masih mengganjal di hatinya.
~
Beberapa hari kemudian, sebuah kejadian tak terduga mengganggu keseimbangan yang baru saja mereka bangun. Saat Keisha sedang berjalan pulang dari sekolah, seseorang yang tak asing menghampirinya.
“Keisha,” suara itu memanggil dari belakang.
Keisha berbalik dan mendapati seorang gadis berdiri di sana. Itu Vina. Wajah gadis itu terlihat sedikit tegang, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Keisha merasa waspada.
“Ada apa, Vina?” tanya Keisha, berusaha tetap tenang.
“Aku cuma mau ngomong sesuatu,” kata Vina dengan nada serius. “Aku tahu aku udah minta maaf sama kamu dan Rama soal gosip itu, tapi ada sesuatu yang belum aku ceritain.”
Keisha mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”
Vina menunduk, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak sendirian waktu nyebarin gosip itu. Ada orang lain yang ngebantu aku.”
Keisha terdiam, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Orang itu... dia salah satu orang yang deket sama kamu,” lanjut Vina dengan ragu.
“Siapa?” Keisha bertanya, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Vina mengangkat wajahnya dan menatap Keisha langsung. “Davin.”
Kata itu seperti petir yang menyambar Keisha. Ia menatap Vina dengan tatapan tidak percaya. “Itu nggak mungkin. Davin nggak mungkin ngelakuin itu.”
Vina menggeleng pelan. “Aku tahu kamu nggak akan percaya, tapi aku cuma mau kamu tahu. Aku nggak punya alasan buat bohong lagi. Kalau kamu mau bukti, kamu bisa tanya dia langsung.”
Keisha tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, merasa seluruh dunianya berguncang.
~
Malam itu, Keisha duduk di kamar, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Pikirannya berputar-putar, mencoba menemukan alasan mengapa Davin, sahabat yang selalu ia percayai, bisa melakukan sesuatu seperti itu.
Ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Davin.
“Davin, besok bisa ketemu? Aku perlu ngomong sama kamu.”
Tidak lama kemudian, balasan Davin muncul.
“Tentu, Keish. Besok di taman biasa ya.”
~
Keesokan harinya, Keisha tiba di taman lebih awal dari Davin. Ia duduk di bangku kayu, menatap bunga-bunga yang bermekaran di sekelilingnya. Namun, keindahan itu tidak mampu menenangkan hatinya.
Tidak lama kemudian, Davin datang dengan senyum di wajahnya. “Hei, Keish. Ada apa?”
Keisha menatap Davin, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. “Davin, aku cuma mau tanya satu hal. Dan aku harap kamu jujur sama aku.”
Davin mengangguk, meski ia terlihat sedikit bingung. “Tentu. Apa yang mau kamu tanya?”
Keisha menarik napas dalam-dalam. “Apa kamu tahu sesuatu tentang gosip yang beredar tentang aku dan Rama?”
Wajah Davin berubah tegang. “Kenapa kamu tanya itu?”
Keisha menatapnya tajam. “Aku dengar dari Vina kalau kamu terlibat. Aku nggak mau langsung percaya, jadi aku tanya langsung ke kamu. Apa itu benar?”
Davin terdiam, wajahnya menunjukkan pergulatan batin. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. “Keisha, aku nggak sepenuhnya terlibat. Tapi aku... aku memang bilang sesuatu ke Vina yang mungkin bikin dia salah paham.”
Keisha merasakan dadanya mencelos. “Davin, kenapa? Kenapa kamu ngelakuin itu?”
Davin menunduk, suaranya penuh penyesalan. “Aku cuma... Aku nggak bisa ngelihat kamu sama Rama. Aku tahu itu egois, tapi aku nggak bisa ngelawan perasaan aku. Aku pikir kalau aku bikin hubungan kalian goyah, aku punya kesempatan buat deketin kamu lagi.”
Keisha menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Davin, aku pikir kamu sahabat aku. Aku nggak pernah nyangka kamu bakal nyakitin aku kayak gini.”
Davin mencoba mendekat, tetapi Keisha mundur. “Keisha, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.”
Keisha menghapus air matanya dan menatap Davin dengan tegas. “Davin, aku butuh waktu. Aku nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu lagi.”
Davin hanya bisa terdiam saat Keisha pergi, meninggalkannya sendirian di taman itu.
~
Hari-hari berikutnya, Keisha merasa seperti kehilangan pijakan. Ia merasa dikhianati oleh seseorang yang ia anggap sahabat sejati. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bersyukur karena Rama selalu ada untuknya.
Suatu sore, Keisha menceritakan semuanya kepada Rama. Rama mendengarkan dengan sabar, lalu menggenggam tangan Keisha.
“Keisha, aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku ada di sini. Kamu nggak sendirian,” ucap Rama dengan lembut.
Keisha menatap Rama, merasa bahwa meski ia telah kehilangan kepercayaan pada Davin, ia masih memiliki seseorang yang selalu mendukungnya.
“Terima kasih, Rama. Kamu adalah alasan aku tetap kuat,” jawab Keisha, mencoba tersenyum di tengah luka yang ia rasakan.