Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Riana merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Membuat seluruh tubuhnya gemetar hebat. Hanya dalam hitungan detik wajahnya telah pucat bak mayat hidup. Hatinya kini dipenuhi rasa khawatir jika Mama Veny mendengar obrolannya dengan Bu Nana.
Ragu-ragu wanita itu membalikkan tubuhnya.
Menghadap Mama veny yang sedang menatapnya sedikit heran.
"Kamu kenapa, Riana? Apa kamu sakit?" Mama Veny mengusap kening Riana yang berkeringat.
Melihat betapa lembut Mama veny, Riana baru dapat bernapas lega. Sikap Mama Veny menjadi pertanda bahwa wanita itu tak mendengar obrolannya dengan Bu Nana.
"Nggak apa-apa, Tante. Aku ke sini cuma mau menyapa Bik Nana," jawabnya.
Mama Veny menatap keduanya secara bergantian. Ia cukup terkesan dengan kepribadian Riana, karena tidak biasanya wanita dari kalangan kelas atas menyapa seorang ART.
"Kamu sudah kenal Bik Nana sebelumnya?"
Riana mengulas senyum demi menyamarkan rasa gugup. "Iya, Tante. Bik Nana ini dulu bekerja di rumah aku. Makanya aku senang bisa ketemu lagi sama Bik Nana di sini. Aku juga baru tahu kalau Bik Nana kerja di sini. Iya kan, Bik?" Riana mengedipkan sebelah matanya ke arah Bu Nana.
"Iya, Non," jawab Bu Nana, sebisa mungkin bersikap biasa. Meskipun jantungnya masih jedag-jedug. Jika sampai sandiwara mereka ketahuan, entah apa yang akan terjadi.
"Wah, Tante semakin kagum sama kamu, Riana. Tidak banyak orang seperti kamu yang sopan dan mau ingat sama asisten rumah tangga. Keputusan tante untuk menjodohkan kamu dengan Alvian memang tidak salah. Kamu tidak hanya lembut tapi juga baik."
"Makasih, Tante."
Perasaan gundah yang sempat menguasai hati Riana seketika lenyap. Kini ia merasa tengah berada di atas awan. Dukungan dan simpati dari Mama Veny sudah ia dapatkan. Dan Riana tahu bahwa Alvian bukanlah seorang anak pembangkang. Ia pasti akan menuruti apapun keinginan mamanya.
"Riana, kamu harus sabar sedikit sama Alvian. Dia memang begitu. Sampai sekarang dia belum juga mau menikah. Tapi kalian bisa pendekatan dulu, kan?"
"Iya, Tante." Riana tiba-tiba memasang wajah murung, yang dapat dilihat dengan jelas oleh Mama Veny. "Sebenarnya aku akan dijodohkan dengan anak relasi bisnis papi. Tapi aku belum setuju. Kata mami, kalau aku tidak dapat calon suami dalam waktu dekat, perjodohannya akan dilanjutkan, Tante."
Riana pikir dengan karangan bebasnya ini, Mama Veny pasti akan semakin mendesak Alvian untuk meresmikan hubungan mereka. Entah berpacaran lebih dulu atau bertunangan sekalian.
"Ya ampun, jadi bagaimana?"
"Aku juga bingung, Tante. Mami minta aku cari jodoh secepatnya. Kalau tidak, nanti dijodohkan dengan laki-laki pilihan mami."
Raut wajah Mama Veny sudah berubah khawatir. "Kayaknya tante harus bicara lagi sama Alvian. Kamu sabar sebentar ya, Riana."
Riana mengangguk penuh semangat. Sedangkan Bu Nana yang masih mendengarkan pembicaraan itu menyembunyikan seringai. Ah, putrinya itu memang pantas mendapatkan Piala Oscar untuk kategori halusinasi terbaik.
**
**
"Alvian ... Alvian!" pekik Mama Veny tampak panik.
Alvian yang sedang rebahan di depan televisi seketika terlonjak mendengar panggilan mamanya. Ya ampun, Mama! Ini jantung, bukan labu siam!" ucapnya sambil merubah posisi dari semula rebahan menjadi duduk.
Kemudian mengusap dada naik turun. "Ada apa sih, Mah? Kenapa sepanik ini? Aku bisa kena jantung koroner lama-lama."
"Mama mau tanya sesuatu yang serius sama kamu."
"Soal apa?" Alvian menatap mamanya kesal sekaligus heran.
"Bagaimana keputusan kamu tentang usul mama tadi?"
"Usul yang mana, Mah?" tanya Alvian. Perasaan Mamanya itu terlalu banyak mengusulkan sesuatu. Kadang Alvian sampai merasa akan bisulan karena terlalu banyak usulan.
"Soal rencana mama menjodohkan kamu dengan Riana !"
Embusan napas Alvian terdengar berat. Ia tampak frustrasi. "Kan sudah kubilang belum mau menikah."
"Tapi ini kondisinya emergency, Al! Ternyata Riana itu akan dijodohkan dengan relasi bisnis papinya. Kamu harus cepat! Jangan sampai keduluan sama laki-laki lain," desak sang mama.
Alvian tidak habis pikir dengan mamanya itu. Padahal sudah berulang-ulang ia menegaskan punya kriteria sendiri dalam memilih jodoh. Dan Riana sama sekali tidak masuk ke dalam kriteria calon istrinya seujung kuku pun.
"Kalau mau dijodohkan ya sudah!" balasnya acuh tak acuh. Mama Veny memberi cubitan keras di lengan.
"Kamu gimana, sih? Susah loh dapat perempuan seperti Riana itu.
Zaman sekarang perempuan itu banyak yang hanya memandang harta. Sedangkan Riana, memanfaatkan fasilitas orang tuanya saja tidak. Kurang apa lagi dia?"
"Jodohkan sama Galih saja kalau begitu!"
Bibir Mama Veny mengerucut.
"Mama maunya kamu yang menikahi Riana!"
Baru saja mulut Alvian akan terbuka untuk menyela, tiba-tiba terasa sensasi aneh yang berpusat di perut. Seperti sedang mengguncang usus.
"Bentar, Mah. Mau ke kamar mandi dulu."
Lelaki berpostur tubuh jangkung itu segera berlari menuju kamar mandi. Membenturkan tubuhnya pada wastafel dan memuntahkan isi perut. Keadaan aneh seperti ini sering dialami Alvian beberapa bulan belakangan ini. Ia kerap mual tanpa alasan. Sudah pernah memeriksakan diri ke dokter karena takut ada masalah dengan kesehatannya, namun hasil pemeriksaan menunjukkan semuanya baik-baik saja. Alvian sampai heran ada apa dengan tubuhnya yang mendadak aneh.
"Galih, ke rumah sekarang.Bawa martabak manis yang banyak!" pinta Alvian setelah kembali ke kamar.
Satu lagi keanehan Alvian. Kadang keinginan makan sesuatu tiba-tiba muncul dalam keadaan tak terduga. Dan Galih adalah orang yang akan direpotkan dengan keadaan ini. Alvian bahkan pernah meminta dipesankan rujak buah. Padahal selama ini ia sama sekali tidak pernah menyukai makanan asam. Entah apa yang salah dengannya. Yang jelas Alvian sangat terganggu dengan keadaan ini.
Kurang dari satu jam, Galih, sang asisten pribadi serba guna bak bumbu racik itu sudah tiba.Layaknya malaikat yang datang membawa banyak martabak dengan berbagai rasa. Karena Alvian tidak menyebutkan ingin rasa apa, sehingga Galih berinisiatif membeli semua varian rasa yang tersedia. Konon katanya, sang pemilik kedai martabak itu adalah anak presiden.
"Ini martabaknya, Pak Bos!" ucap Galih sembari meletakkan beberapa paket martabak ke atas meja.
Sejuknya udara yang berhembus dari pendingin ruangan membuat aroma martabak panas menyeruak memenuhi seisi kamar. Membuat Alvian kembali merasakan sensasi mual.
"Kenapa aromanya seperti itu ?" protesnya sambil mengapit hidung dengan ibu jari dan telunjuk.
"Memangnya kamu berharap martabaknya beraroma apa? Aroma camellia atau aroma lavender?"
Ingin sekali Alvian melempar Galih dengan granat. Asistennya yang super kurang ajar itu selalu berhasil membuat emosi naik turun. Beruntung Galih adalah sepupunya, jika bukan mungkin sudah dipensiunkan sejak dini dan dikirim ke Pulau Jeju untuk beternak rumput laut.
"Bawa keluar saja semuanya!
Aku tidak tahan dengan aromanya !"
Galih berdecak kesal sambil menggelengkan kepala. Padahal untuk membeli martabak tersebut ia harus antri dengan pembeli lain.
Bahkan ia sampai kalah dengan suku ras terkuat di Bumi alias makhluk bernama emak-emak.
Dan sekarang hasil perjuangannya disia-siakan oleh Alvian. Martabak manis dengan berbagai varian rasa itu harus berakhir dengan penolakan.
"Repot memang kalau bos sudah cosplay jadi wanita hamil."
Galih menggerutu pelan, namun dapat tertangkap jelas di telinga Alvian.
Hal yang membuat Alvian seketika terdiam. Lalu merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Jika menyebut kata hamil, pikirannya langsung tertuju pada Ajela . Pertemuan mengejutkan kemarin membuatnya tak dapat tidur nyenyak. Ajela dalam keadaan hamil dan itu sangat mengganggu pikirannya.
Ingatan Alvian pun berputar pada kejadian 8 bulan lalu. Kala itu ia menghadiri undangan dari relasi bisnisnya di sebuah hotel dengan ditemani Riana. Awalnya semua berjalan biasa-biasa saja. Meskipun Alvian tidak begitu menyukai pesta, namun ia cukup menikmati karena bertemu dengan banyak teman lama.
Tetapi, tiba-tiba saja semua terasa aneh. Seingat Alvian, ia hanya minum soft drink dengan kadar alkohol rendah. Namun, tak lama kemudian ia merasakan dirinya seperti sedang mabuk berat. Tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Jantung berdebar kencang, dada sesak dan kepala berdenyut. Bukan hanya itu, belut bermata satu yang selalu bersembunyi di balik celana tiba-tiba tegang bak tiang bendera.
Alvian yang sedang kalut melirik Riana yang sedang asyik mengobrol dengan tamu lainnya.Kesempatan itu pun ia gunakan untuk meninggalkan gedung hotel menuju apartemen pribadinya. Mungkin ia perlu menenangkan diri, sekaligus menenangkan makhluk tak bertulang itu.
Namun, tiduran, mandi, makan dan minum tak dapat membantu. Alvian masih saja gelisah. Bahkan saat ini penglihatannya terasa buram. Seperti baru saja meminum obat perangsang dalam dosis tinggi. Ia pun menebak bahwa seseorang sedang berusaha menjebaknya.
Tetapi siapa?
"Carikan wanita yang bisa melayaniku malam ini, secepatnya !" perintahnya kepada seseorang yang ia hubungi melalui telepon.
"Seorang wanita, Tuan? Wanita panggilan begitu?" sahut pria di ujung telepon.
"Terserah! Aku akan bayar berapapun. Asal orangnya ada malam ini juga!"
"Baik, Tuan. Itu mudah. Saya punya kenalan bernama Tuan Al. Dia adalah seorang mucikari."
"Tapi aku mau yang masih perawan. Aku tidak mau wanita bekas pakai!"
Hening! Pria di seberang tak menjawab. Sepertinya terlalu terkejut dengan perintah aneh tersebut. Perawan? Di mana mereka bisa mendapatkannya malam ini?
"Hey, kamu dengar tidak!"
"Em... iya, Tuan. Baik, saya akan carikan sekarang juga."
Panggilan terputus. Alvian merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Mencoba menenangkan diri. Tetapi, semakin lama rasa itu semakin menggelora dan membuat seluruh tubuhnya seperti terbakar.
Puluhan kali ponsel terus berdering. Itu panggilan dari Riana yang mungkin sudah mencari karena Alvian pergi tanpa permisi.
Namun, panggilan itu ia abaikan begitu saja.
Hingga 30 menit berselang, ponsel kembali berdering. Berasal dari orang yang tadi dihubungi Alvian untuk mencarikan wanita. Alvian segera menjawab panggilan itu.
"Tuan, saya sudah menemukan seorang wanita seperti yang Anda inginkan."
"Cepat bawa dia padaku!"
perintahnya tak sabar.
"Tapi dia minta 200 juta, Tuan !" Ucapan pria itu membuat Alvian habis kesabaran. Jika saja pria itu berada tepat di hadapannya pasti sudah dicekik sampai pindah alam.
"Aku tidak peduli! Satu miliar pun akan kuberikan yang penting dia masih perawan dan bisa memuaskanku malam ini!" Alvian berteriak murka.
"Ba-baik. Saat ini Tuan Al sedang melakukan kesepakatan harga dengannya. Saya akan segera membawanya pada Anda!"
Alvian mambanting ponselnya ke tempat tidur. Kemudian kembali merebahkan tubuhnya sambil menunggu. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menghabiskan malam dengan seorang wanita bayaran. Padahal selama ini Alvian sangat menjaga diri dari sentuhan wanita.
Jika hal ini sampai bocor keluar dan orang-orang tahu ia membayar wanita untuk memuaskannya, kehormatan keluarga Darmawan akan hancur.
Alvian harus memastikan wanita bayaran itu bisa tutup mulut.
Hingga akhirnya Ajela hadir ke hadapannya. Sosok wanita yang masih sangat muda dengan penampilan seadanya. Tidak begitu cantik, namun manis. Entah mengapa Alvian dapat melihat pancaran penuh luka dari sepasang matanya yang sembab. Pada tubuh mungilnya terdapat banyak lebam membiru.
Malam itu Alvian sempat menanyakan dari mana asal semua lebam itu. Namun, hasrat sudah diubun-ubun dan tak dapat ditahan-tahan. Apalagi ketika melihat Ajela hanya terbalut jubah mandi berwarna putih dengan rambut basah. Tampak sangat Sexy dan menggoda.
"Alvian, apa kamu sakit?" Lamunan Alvian akan kenangan malam itu seketika membuyar oleh suara serak oma yang tiba-tiba masuk ke kamar.
Wanita berusia 69 tahunan itu baru saja pulang dari perjalanan ke luar kota. Oma Titin namanya, ibu dari papanya Alvian.
"Oma sudah pulang?" ucap Alvian.
"Baru saja. Mama kamu bilang, kamu sedang sakit." Oma mendekati cucu kesayangannya itu dan memilih duduk di tepi sofa. Meletakkan punggung tangannya di dahi demi memastikan suhu tubuh cucunya itu hangat atau tidak.
"Tidak apa-apa, Oma. Cuma rasanya perut kembung saja."
"Oh ya ampun, sepertinya kamu hanya masuk angin. Ayo sini oma kerok!" Oma Titin ini memang terkesan trendy dan modern di usianya yang tak lagi muda. Tetapi, jangan salah. Ia masih memegang tradisi nenek moyang zaman dulu. Termasuk saat mengobati cucunya jika sedang sakit. Ia akan memilih menggunakan cara tradisional.
Punggung berkulit putih mulus Alvian pun harus beradu dengan koin tajam yang menyiksa. Menciptakan garis merah membentang.
"Pelan-pelan, Oma. Sakit!" keluh Alvian sambil berbaring tengkurap.
"Pelan loh, ini, Al. Masa sakit!" ucap Oma. Menekan koin emas dengan sekuat tenaga.
"Kalau begini namanya bukan dikerok tapi dikuret!" protes Alvian. Menahan sensasi perih dipunggung.
"Kamu ini rewel sekali, Al!" protes oma.
"Dia memang rewel, Oma. Macam ibu hamil aja. Mual, muntah, minta dibelikan yang aneh-aneh, giliran dibawakan nggak dimakan!" sambar Galih.
Alvian menghunus tatapan tajam ke arah Galih. "Bicara begitu lagi kupecat kamu dari perusahaan !"
Namun, ancaman itu disambut Galih dengan tawa kecil. Mana mungkin Alvian memecatnya. Ia adalah tipe orang yang sangat sulit mencari partner kerja yang bisa cocok dengannya.
"Oh ya, Alvian. Kapan kamu mau menikah? Oma sudah tua, loh. Sudah waktunya untuk gendong cicit. Keluarga kita juga butuh penerus!"
Pertanyaan bernada perintah dari oma itu pun sudah dapat ditebak Alvian merupakan ide dari mama. Ya, mama pasti meminta oma yang membujuk. Oma dan mama adalah paket lengkap yang dikirim Tuhan dalam bentuk wanita.
Alvian kembali terdiam dengan pikiran dipenuhi bayangan Ajela . Memikirkan hal-hal konyol yang terasa mustahil.
Bagaimana jika anak dalam kandungan Ajela ternyata adalah benih yang pernah ia titipkan?
Bersambung ~