Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab1
Bab 1: Akar Persahabatan
Hari itu, matahari pagi menyapa dengan hangat, membiaskan sinarnya melalui jendela kamar Sasa. Ia berdiri di depan cermin, membenarkan kerudungnya dengan hati riang. Di meja rias, seikat bunga mawar putih dari Arman masih segar. Hari ini mereka merayakan ulang tahun pernikahan ketiga, dan meski kesibukan sering kali menyita waktu mereka, Arman selalu punya cara untuk menunjukkan cinta.
“Arman memang sempurna,” gumam Sasa, mengingat betapa sabarnya pria itu mendukungnya selama mereka pacaran dulu. Hidupnya terasa lengkap, terlebih lagi dengan persahabatan sejati bersama Caca. Sasa selalu percaya, tidak ada yang bisa menggantikan sahabat yang sudah seperti saudara itu.
Di sisi lain kota, Caca memandang keluar jendela apartemennya. Kehidupan yang terlihat mewah dengan mobil dan pakaian bermerek nyatanya tidak mampu menghapus rasa kesepiannya. Malam-malamnya sering dihabiskan dengan pekerjaan atau sekadar menatap kosong ke dinding. Usia yang terus bertambah membuat ia semakin gelisah, terlebih ketika teman-temannya satu per satu menikah.
“Kenapa aku masih sendiri?” tanyanya pada bayangannya sendiri. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Sasa muncul di layar.
“Caca, kamu sibuk hari ini? Aku mau ketemu, sekalian ada sesuatu buat kamu,” suara ceria Sasa terdengar.
“Enggak sibuk kok, ada apa?” jawab Caca sambil mencoba terdengar antusias meski hatinya berat.
“Ketemu di kafe biasa, ya. Aku tunggu jam 2,” kata Sasa sebelum menutup telepon.
***
Pukul dua tepat, Sasa sudah duduk di pojok kafe favorit mereka. Aroma kopi menguar di udara, membawa kenangan masa-masa SMA mereka. Caca datang beberapa menit kemudian, mengenakan blazer hitam dan sepatu hak tinggi, tampilannya selalu elegan.
“Sasa, aku datang,” sapanya sambil tersenyum tipis.
Sasa bangkit dan memeluk sahabatnya erat. “Aku kangen banget, Ca. Lama kita enggak ngobrol panjang.”
Obrolan mengalir ringan di antara mereka, membicarakan pekerjaan, kenangan lama, dan tentunya kehidupan rumah tangga Sasa.
“Arman itu baik banget, Ca. Aku bersyukur banget punya dia,” kata Sasa dengan mata berbinar. “Kalau saja kamu bisa ketemu orang seperti dia...”
Hati Caca bergetar mendengar nama itu. Ia pernah bertemu Arman beberapa kali, dan pria itu memang memikat. Sifatnya yang tenang, penuh perhatian, dan selalu sopan membuat Caca merasa iri pada Sasa, bahkan sejak awal.
“Tapi ya, Ca, aku ngerasa dia akhir-akhir ini sering sibuk banget. Kayak ada yang dipikirin, tapi aku enggak tahu apa,” lanjut Sasa, tidak menyadari tatapan kosong Caca.
Caca mengangguk ringan, menyembunyikan gelombang rasa bersalah yang perlahan merayap ke hatinya.
***
Pertemuan itu berlalu begitu saja, tetapi meninggalkan perasaan berbeda pada masing-masing hati. Sasa merasa bahagia karena bisa berbagi cerita dengan sahabatnya, sementara Caca merasa semakin terjebak dalam perasaan yang salah.
Beberapa hari kemudian, saat hujan turun dengan deras, Caca bertemu dengan Arman secara tak sengaja di sebuah kafe. Arman sedang menunggu kliennya, sementara Caca singgah untuk menghindari hujan.
“Caca? Sendiri saja?” sapanya ramah.
Caca tersenyum tipis. “Iya. Kamu juga? Tumben sendirian.”
Obrolan ringan mereka mengalir begitu saja, dimulai dari hal-hal sederhana hingga lebih pribadi. Arman bercerita tentang pekerjaannya, sedangkan Caca menceritakan kekosongan hidupnya. Ada rasa nyaman yang aneh di antara mereka, dan tanpa disadari, pertemuan itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dalam.
Sejak saat itu, mereka mulai sering berkomunikasi. Awalnya hanya sekadar bertanya kabar atau berbicara soal Sasa, tetapi perlahan-lahan, batas antara sahabat istri dan pria yang sudah menikah itu mulai kabur.
***
Di rumah, Sasa semakin merasa ada jarak yang tak kasat mata dengan Arman. Meski suaminya tetap perhatian, ada momen-momen di mana Arman tampak menghindar atau terlalu sibuk dengan ponselnya.
“Mas, ada yang kamu pikirin?” tanya Sasa suatu malam.
“Enggak kok, sayang. Cuma kerjaan aja lagi banyak,” jawab Arman, menghindari tatapan Sasa.
Namun, Sasa tidak pernah menduga bahwa sebagian besar perhatian Arman kini mulai beralih pada sahabat yang selama ini ia percayai.
Di sisi lain, Caca mulai terjebak dalam dilema besar. Hubungannya dengan Arman yang awalnya hanya sekadar obrolan telah berubah menjadi sesuatu yang lebih intens. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya salah, tetapi perasaan yang terus tumbuh sulit ia kendalikan.
“Caca, kenapa ini harus terjadi?” gumamnya suatu malam sambil menatap pesan terakhir dari Arman yang membuat hatinya bergetar.
***
Kisah mereka bertiga kini bagai bunga yang layu, terhimpit oleh pengkhianatan dan perasaan yang tak termaafkan. Sasa, yang masih percaya pada sahabat dan suaminya, tidak pernah tahu bahwa dua orang yang paling ia cintai perlahan-lahan menghancurkan dunianya.
---