Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Alvian belum mampu meredam amarah. Saat ini ia merasa darahnya seperti mendidih. Melihat rekaman CCTV di mana Ajela terguling di eskalator dengan posisi perut mendarat lebih dulu membuat tubuhnya ikut ngilu.
Teringat malam pertemuan pertamanya dengan Ajela . Kala itu tubuh kurusnya penuh dengan lebam membiru menyerupai bekas penganiayaan. Ada luka tak berdarah yang terlukis dalam sorot matanya. Alvian sempat menanyakan asal-muasal lebam tersebut, namun Ajela enggan memberi jawaban.
Dan setelah melihat rekaman CCTV tadi, Alvian dapat menarik kesimpulan, bahwa yang memukuli Ajela hingga babak belur malam itu tak lain adalah Bik Nana. Alvian pun tak habis pikir. Pasalnya, binatang yang tak dibekali akal sekalipun memiliki naluri untuk melindungi anaknya. Tetapi, mengapa Bik Nana yang manusia begitu tega menyakiti putrinya sendiri?
Semua bukti yang baru saja ditemukan berhasil merubah sedikit pandangan Alvian. Ajela tidak terlihat seperti seorang wanita panggilan. Justru seperti seseorang yang perlu perlindungan.
"Salin bagian yang ini!" Alvian menyerahkan ponselnya kepada petugas hotel tadi.
"Kamu akan laporkan Bik Nana ke polisi?" tanya Galih.
Alvian menyeringai penuh makna. "Terlalu nyaman bagi wanita itu kalau langsung masuk penjara. Aku akan tunjukkan cara pembalasan yang lain."
"Maksudnya pembalasan seperti apa?"
"Kamu akan tahu nanti."
Galih merinding mendengar nada dingin Alvian. Dirinyalah yang paling tahu seberapa menyeramkannya Alvian jika sudah benar-benar marah.
"Tunggu-tunggu! Kamu tidak sedang berencana membunuh orang, kan?" Galih tidak tahu mengapa pikiran konyol itu terlintas dalam pikirannya. Yang jelas saat ini ia melihat Alvian layaknya gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panas.
"Aku kan sudah bilang penjara dan mati adalah hukuman yang terlalu mudah!"
Semakin ketar-ketir saja Galih dibuatnya. Memang hukuman apa yang lebih mengerikan dibanding penjara dan mati? Ia benar-benar tak dapat menebak.
**
**
"Mau ke mana?" Alvian berteriak saat masuk ke kamar dan mendapati Ajela hendak turun dari tempat tidur.
Ajela yang terkejut dengan kedatangan Alvian nyaris terjungkal dan tanpa sengaja menjatuhkan botol cairan infus ke lantai. Membuat jarum infus yang menancap di pergelangan tangannya ikut tercabut.
Beruntung Alvian dengan cepat menangkap tubuh kecilnya,sehingga Ajela tidak sampai mendarat ke lantai.
"Kenapa kamu ceroboh sekali ?" Alvian yang panik kembali membentak.
Ajela hanya meringis menahan sakit, menunduk demi menyembunyikan air mata, kemudian perlahan mengusap pergelangan tangannya yang amat perih dan mengeluarkan setitik darah akibat jarum infus yang tercabut paksa.
"Saya mau ke kamar mandi," lirihnya takut-takut, sambil menyembunyikan air mata yang sudah meleleh di ujung mata.
"Kenapa tidak panggil suster saja?" Ada penekanan dari nada Alvian. Membuat sekujur tubuh Ajela gemetar. Alvian terasa sangat galak dan suka membentak. "Memang mau apa ke kamar mandi?"
"Pipis." Tadi, dokter memang membuka kateter yang sempat terpasang pada tubuhnya, sehingga mau tidak mau Ajela harus ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Tanpa banyak bicara Alvian langsung mengangkat tubuh Ajela dan membawanya ke kamar mandi. Ia mendudukkan wanita itu di kloset.
"Cepat pipis!"
Ajela memberanikan diri mendongakkan kepala demi menatap lelaki itu. Karena Alvian tidak kunjung keluar dari kamar mandi, malah berdiri dengan percaya diri di sisinya. Pikiran Ajela pun dipenuhi pertanyaan tentang apa yang membuat Alvian datang lagi. Bukankah tadi ia sudah mengatakan bahwa anak yang dilahirkannya bukan benih Alvian? Seharusnya jawaban itu sudah cukup, bukan?
"Apa lagi?" tanya Alvian ketika Ajela hanya terdiam.
"Saya mau pipis, Tuan."
"Lalu apa masalahnya? Pipis saja!"
"Anda tidak keluar dulu? Saya malu." Ya, akan sangat memalukan bagi Ajela jika Alvian menemaninya di kamar mandi.
Apalagi jika sampai harus melihat bagian pribadi tubuhnya.
Alvian membuang napas panjang melalui hidung. Tidak mungkin ia meninggalkan Ajela sendirian di kamar mandi. Cukup beresiko. Terlebih kondisi fisik wanita itu masih terlalu lemah. Jangankan untuk berdiri sendiri, bergerak sedikit saja Ajela sudah terlihat cukup kesakitan.
"Aku sudah pernah melihat kamu tanpa sehelai benang pun. Lalu sekarang kenapa kamu harus malu?"
Telak! Ucapan frontal Alvian membuat Ajela kehilangan kata. Tak berani lagi menyahut.
Alvian lalu memilih membalikkan tubuhnya membelakangi Ajela .
"Cepat pipis! Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di kamar mandi. Kalau kamu jatuh dan bekas jahitan operasimu terbuka bagaimana?"
"Iya, Tuan. Maaf sudah merepotkan Anda."
Sebenarnya Alvian merasa sedikit heran dengan dirinya. Jika ini wanita lain, ia pasti sudah merasa risih. Namun, sangat berbeda dengan Ajela . Hati kecilnya menolak mengabaikan wanita itu.
"Sudah?"
Ajela menyahut dengan suara pelan. Membuat Alvian membalikkan tubuhnya.
"Mau sekalian cuci muka?"
Ajela menatap pria itu. Hey, ada apa dengan Tuan Alvian ini? Meskipun terkesan sangat galak, tetapi cukup peduli. Ajela mengangguk lemah. Wajah dan tubuhnya memang terasa sangat lengket sekarang.
Setelah selesai, Alvian kembali menggendong Ajela ke kamar dan membaringkan di tempat tidur. Kemudian keluar dengan tergesa-gesa memanggil dokter untuk memasang kembali jarum infus. Selain itu Alvian khawatir kalau insiden jatuh dari tempat tidur tadi membuat bekas jahitan operasinya terbuka.
Benar saja, bekas jahitan di perut Ajela mengeluarkan darah meskipun tidak banyak. Sehingga dokter harus memeriksanya.
Sepanjang mendapat penangan dari dokter, Ajela merasakan perih di sekitar perut. Alvian bisa melihat betapa Ajela sedang menahan sakit. Tangannya meremas kain seprai, alis dan kelopak matanya berkerut.
Alvian membungkukkan badan dan memeluk wanita itu. Membuat sepasang mata Ajela membeliak. Mendadak semua rasa sakit dan perih yang ia rasakan seolah menghilang. Berganti dengan rasa takut. Takut jika sikap baik Alvian sekarang hanya pura-pura demi tujuan tertentu. Salah satunya mungkin ingin mengambil bayinya. Apalagi Alvian sudah pernah mengancam akan menghancurkan hidup Ajela jika berani macam-macam.
Dokter keluar dari ruangan setelah mengganti perban meninggalkan Ajela dan Alvian berdua di ruangan itu. Tak lama berselang seorang pramusaji rumah sakit masuk dengan membawa nampan berisi makanan.
Bersambung ~