Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pemakaman Dokter Antonius berlangsung dengan suasana yang sangat berbeda. Ratusan warga desa datang memberikan penghormatan terakhir, mengenang sosok dokter yang sudah mengabdi puluhan tahun tanpa pamrih. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal nama Antonius, yang tak hanya menjadi penyelamat bagi mereka yang sakit, tapi juga pelindung bagi mereka yang terpinggirkan. Ketika kebanyakan dokter memilih untuk hanya melayani mereka yang mampu membayar, Antonius selalu berusaha memberi bantuan pada yang tidak mampu. Banyak keluarga miskin yang merasa sangat berutang budi padanya, dan hari ini, mereka semua datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Luna berdiri di sana, mengenakan pakaian berkabung hitam, dengan mata yang bengkak karena sudah menangis selama berhari-hari. Namun, meskipun begitu, wajahnya tampak kosong. Seperti ada bagian dari dirinya yang hilang bersama kepergian kakeknya, seperti ada sebuah beban berat yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.
Ini adalah kedua kalinya dalam hidupnya dia harus kehilangan orang yang sangat berarti baginya. Pertama ibunya, yang meninggal begitu cepat setelah perpisahan yang menyakitkan dengan ayahnya. Kini, kakeknya yang menjadi satu-satunya keluarga yang dia miliki, juga pergi untuk selamanya. Kepergian mereka membuatnya merasa seperti kehilangan arah, seolah hidupnya kini seperti tanpa petunjuk.
Luna menatap tanah di depan makam, menelan perasaan yang hampir membuatnya tenggelam. Dia merasa sendirian. Kekuatan yang selama ini dia dapatkan dari kakeknya, yang selalu menuntunnya dengan sabar dan penuh kasih, kini hilang. Luna merasa sepi, tidak tahu kepada siapa lagi dia bisa bersandar.
Di sisi lain, di tengah keramaian dan orang-orang yang mengucapkan kata-kata perpisahan, Amelia dan Yumi berdiri tidak jauh dari Luna, memperhatikannya dengan rasa prihatin yang mendalam. Mereka tahu betapa beratnya bagi Luna untuk kehilangan kakeknya.
"Dia kuat," gumam Amelia, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Luna memang terlihat rapuh, tapi dia akan melewati ini. Dia selalu kuat."
Yumi hanya mengangguk perlahan, matanya tak bisa lepas dari sosok Luna yang sedang berjuang menahan tangis. Meski Luna tampak kuat di luar, Yumi tahu bahwa di dalam hatinya sedang ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh siapa pun. "Tapi, dia tak sendirian," katanya dengan lembut. "Kita akan selalu ada untuknya."
Sementara itu, di belakang mereka, seseorang yang tak ingin terlihat, berdiri di tempat yang agak jauh. Sosok itu adalah Lucius, yang sudah kembali dengan diam-diam. Matanya menyusuri sosok Luna yang berdiri di samping makam. Entah kenapa, hatinya terasa sakit melihat gadis itu begitu kehilangan. Dulu, dia datang ke desa ini tanpa banyak perasaan, hanya untuk bersembunyi dan mencari keselamatan. Tetapi kini, entah bagaimana, Luna telah menjadi bagian dari hidupnya, dan melihatnya terpuruk seperti ini membuatnya merasa seolah dirinya juga kehilangan sesuatu yang penting.
...****************...
Luna berdiri tegak di depan makam kakeknya, matanya masih merah karena tangisan, namun tatapannya kini tajam dan penuh amarah. Seiring satu per satu orang meninggalkan pemakaman, seolah-olah mereka tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir bagi Luna merasakan sedikit ketenangan. Suasana yang sebelumnya penuh kesedihan kini berubah menjadi tegang saat langkah kaki terdengar mendekat.
Dari kejauhan, Luna sudah mengenali sosok itu. Pria paruh baya dengan wajah yang tidak asing baginya. Wajah yang telah lama dia hindari, yang sudah bertahun-tahun membuat luka dalam hati dan kenangan buruk di masa kecilnya. Douglas Heinrich, ayah kandungnya, yang datang dengan wajah penuh determinasi, seolah berharap bahwa kedatangannya akan menjadi sebuah jalan keluar bagi Luna dari kegelapan yang menimpanya.
Luna menatap ayahnya dengan mata yang begitu tajam, seakan ingin menusuk langsung ke dalam hati pria itu. Ia tidak peduli seberapa kuat Douglas berdiri di hadapannya, atau betapa tegarnya suara pria itu saat berbicara. "Luna, sekarang kakekmu sudah meninggal. Dan kau tidak memiliki keluarga lain. Meskipun aku enggan, tapi mau tidak mau kau harus tinggal bersama kami," kata Douglas, dengan nada yang terdengar memaksa dan seolah menganggap semuanya adalah hal yang wajar. Luna bisa merasakan kebencian yang sudah lama terkubur dalam dirinya mulai memuncak.
"Tak perlu," jawab Luna dingin, suaranya penuh sarkasme, "Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Lagipula, aku merasa tidak memiliki seorang ayah." Kata-kata itu terlontar dengan penuh amarah yang selama ini terpendam. Setiap kata yang keluar dari bibir Luna seperti senjata tajam yang menusuk langsung ke dada pria itu.
Douglas tampak terkejut sejenak mendengar kata-kata itu. Namun, tidak lama setelah itu, wajahnya berubah menjadi merah, terkontaminasi kemarahan yang selama ini tidak dia tunjukkan. "LUNA!!! Jangan bicara kurang ajar denganku. Aku ini ayahmu, dan aku berhak membawamu bersamaku!" teriak Douglas, suaranya menggema di udara seperti petir yang mengguncang kedamaian siang itu.
Di sisi lain, Lucius yang semula bersembunyi di balik pohon besar di kejauhan, terdiam melihat peristiwa ini. Jantungnya berdetak lebih kencang, seakan ingin maju dan menghentikan semua kebencian yang sedang meluap antara ayah dan anak itu. Namun, langkahnya terhenti ketika Rudolf, yang berdiri di sampingnya, menggelengkan kepala dengan tegas dan memberi isyarat agar dia tetap diam.
Lucius menatap Rudolf sejenak, bingung. Tapi Rudolf kembali mengarahkan pandangannya ke arah pria besar bertatto yang berdiri tak jauh dari mereka. Pria itu jelas bukan orang sembarangan, anak buah dari musuh bebuyutan keluarga mereka. Jika mereka bergerak sekarang, situasi bisa berubah menjadi lebih buruk, dan itu bukan waktu yang tepat. Mereka harus sabar dan menunggu momen yang lebih baik.
Luna berdiri di sana, tubuhnya tegang, merasa marah dan terluka sekaligus. Mungkin sudah saatnya dia menghadapinya, mengatasi masa lalu yang menghantuinya. Namun, hatinya masih berat. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari mengetahui bahwa orang yang seharusnya melindunginya, justru yang pertama kali mengkhianatinya.
"Siapkan barang-barangmu. Kita akan berangkat hari ini juga. Aku juga sudah mengurus kepindahanmu dari sekolah. Kau tidak punya pilihan lain," ujar Douglas dengan nada yang kaku dan penuh dominasi. Seolah-olah sudah tidak ada ruang bagi Luna untuk melawan atau mengajukan protes.
Luna menatap ayahnya dengan tatapan dingin yang begitu menusuk. Rasanya seperti dunia di sekitarnya berputar terlalu cepat, sementara dia terjebak dalam pusaran kenangan pahit bersama pria ini. Ia masih ingat betul bagaimana dulu Douglas meninggalkan mereka tanpa kata, membiarkan ibunya terpuruk dalam kesedihan, dan akhirnya merenggut kebahagiaan kecil yang ada dalam keluarga mereka.
"Tidak!" jawab Luna tegas, suaranya menggema di udara. Dia bisa merasakan dadanya berdegup kencang, namun kebanggaan yang tumbuh di dalam dirinya membuat tubuhnya tegak. "Aku tidak akan pergi denganmu, dan aku tidak mau meninggalkan sekolah ini. Kau tidak bisa memaksaku." Kata-kata itu keluar dengan kekuatan yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri. Keinginan untuk bebas dari cengkraman ayahnya membuat Luna merasa lebih hidup.
Douglas tampak terkejut, namun amarah di matanya lebih tajam dari sebelumnya. "Luna! Jangan membangkang! Kau tidak punya tempat lain untuk pergi, dan kau tak akan bisa hidup sendirian. Aku sudah cukup sabar, tapi sekarang tidak ada waktu untuk memilih! Gadis bodoh sepertimu tidak akan bertahan hidup sendirian!!!" suara Douglas mulai meninggi, penuh ketegasan dan kontrol yang seakan-akan tidak memberi ruang untuk perlawanan.
Luna tidak bergerak, meskipun hati kecilnya merasa cemas. Tak ada tempat lain yang bisa dia tuju, dan tidak ada orang yang bisa dia andalkan. Namun, kebanggaan dan dendam yang mengalir di tubuhnya lebih kuat dari rasa takut. "Aku akan memilih untuk pergi ke mana pun selain bersamamu," jawab Luna, kali ini dengan suara yang lebih pelan, namun penuh tekad. "Aku tidak membutuhkanmu tuan Douglas. Hari dimana kau mengkhianati ibuku, adalah hari dimana aku memutuskan hubungan ayah dan anak denganmu"
Douglas tersenyum sinis, seperti tidak terpengaruh dengan penolakan Luna. "Baiklah, kalau itu maumu," katanya sambil melangkah mundur, "Tapi ingat, Luna, aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan cara seperti ini selamanya."
Luna menatapnya, lebih keras dari sebelumnya, seolah berkata dalam hati bahwa dia tak akan membiarkan ayahnya menahan kebebasannya.
...****************...