Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Meminta Izin
Ziel memotong dengan nada tegas. “Tidak ada tapi-tapian. Proyek besar yang akan kita kerjakan ini membutuhkan perhatian penuh, dan kamu masih kurang berpengalaman. Saya harus membimbing kamu lebih intensif. Dengan tinggal bersama di apartemen, koordinasi kita akan jauh lebih mudah. Selain itu, di apartemen itu kamu bebas masak apa pun yang kamu mau, dan semua biaya belanja dapur saya tanggung. Kamu nggak perlu khawatir soal uang makan atau camilan lagi.”
Dara menatap Ziel dengan mulut setengah terbuka, antara bingung dan kaget. “Beneran, Pak Bos? Semua biaya makan dan ngemil saya ditanggung?”
Ziel mengangguk, mencoba menjaga ekspresinya tetap serius. “Ya. Selama kamu tinggal di sana, semua kebutuhan dapur akan saya tanggung. Anggap saja ini salah satu bentuk insentif karena kamu bawahan yang cukup bisa diandalkan.”
Dara terdiam beberapa saat, jelas sedang mempertimbangkan tawaran tersebut. Ziel mengira ia harus membujuk lebih keras, tapi suara Dara kemudian membuatnya terkejut.
“Baiklah, Bos. Saya setuju,” jawab Dara sambil tersenyum lebar.
Ziel mengerutkan kening. “Hah? Setuju?”
"Iya, soalnya saya memang lagi pusing ngatur keuangan, terutama buat makan sama ngemil," jawab Dara dengan polos tanpa ragu. "Jadi, kalau Pak Bos mau nanggung semuanya, ya kenapa nggak? Apalagi saya juga nggak perlu bayar kontrakan lagi. Kan, lumayan tuh, uangnya bisa dipakai buat nabung. Hemat banget, 'kan?"
Ziel tercengang. Ia sempat berpikir harus berdebat panjang untuk meyakinkan Dara, tapi kenyataan justru sebaliknya. Dara bahkan terlihat senang dengan ide ini.
“Tapi, Pak Bos,” Dara menambahkan, “saya nggak harus jadi pembantu pribadi di sana, 'kan?”
Ziel mendengus. “Tentu saja nggak. Kamu cuma perlu kerja seperti biasa. Saya nggak butuh pembantu.”
Dara tersenyum puas. “Oke, kalau gitu, lusa beneran saya sudah bisa pindah?”
“Secepatnya,” jawab Ziel sambil mengusap tengkuknya, masih heran dengan betapa mudahnya pembicaraan ini berjalan.
Dara bangkit dari kursinya dengan riang. “Siap, Pak Bos! Kalau nggak ada yang lain, saya keluar dulu, ya.”
Ziel hanya mengangguk, menatap punggung Dara yang keluar dari ruangannya. Ia menghela napas panjang, lalu menggumam, “Dia setuju... Begitu saja? Kok rasanya aneh.”
Tapi dalam hati, Ziel merasa lega. Ia berhasil membuat Dara tinggal bersamanya tanpa perlu mengungkapkan alasan pribadi yang sebenarnya.
Namun setelah Dara setuju untuk tinggal bersamanya di apartemen, Ziel baru menyadari satu hal krusial yang terlewat dari rencananya. Ia lupa harus meminta izin pada orang tuanya terlebih dahulu. Ziel mengusap wajahnya dengan frustrasi.
"Sial, bagaimana aku bisa melupakan hal sepenting ini?" gumamnya kesal. Ia menghela napas panjang, mencoba memutar otak dan menyusun kalimat yang tepat agar alasan yang ia berikan terdengar masuk akal dan tidak menimbulkan kecurigaan dari orang tuanya. "Tenang, Ziel. Kau harus bisa meyakinkan mereka tanpa membuat mereka curiga," tambahnya, berbicara pada dirinya sendiri.
***
Setelah beberapa menit beristirahat di kamarnya usai memuntahkan isi perutnya, Ziel berjalan keluar. Ia menyusuri koridor menuju ruang keluarga, di mana kedua orang tuanya sedang duduk santai. Elin terlihat sedang membaca majalah, sementara Zion menonton berita di televisi. Ziel menghela napas, mencoba menyusun kata-kata dalam pikirannya.
“Ma, Pa,” Ziel memulai dengan suara sedikit ragu.
Elin menoleh dan tersenyum melihat putranya. “Ada apa, Ziel? Tumben kamu ke sini malam-malam.”
Zion juga mengalihkan perhatian dari televisi, menatap Ziel dengan ekspresi datar seperti biasanya.
Ziel menggaruk tengkuknya, kebiasaannya saat merasa canggung. “Ada yang mau aku bicarakan. Soal rencana kerja ke depan," ucapnya setelah duduk di salah satu sofa.
Elin langsung menutup majalahnya dan memusatkan perhatian pada Ziel. “Apa itu? Proyek baru lagi?”
Ziel mengangguk pelan. “Bisa dibilang begitu. Aku mau fokus menyelesaikan proyek besar ini. Jadi... aku berpikir untuk tinggal di apartemen sementara waktu.”
Elin mengerutkan kening, tampak terkejut. “Tinggal di apartemen? Kenapa? Bukannya dari rumah ke kantor juga nggak jauh?”
Zion tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya jelas menyiratkan rasa penasaran.
Ziel menghela napas, mencoba menjelaskan dengan tenang. “Aku merasa perlu lebih fokus. Kalau aku tinggal di apartemen yang lebih dekat dengan kantor, aku bisa menghemat waktu perjalanan dan tenaga. Selain itu, asistenku juga akan tinggal di sana supaya koordinasi lebih mudah.”
Elin menatap Ziel tajam, raut wajahnya sedikit berubah. “Asisten? Maksudnya perempuan itu, Dara?”
Ziel mengangguk. “Iya, Ma. Dia yang paling banyak membantu di proyek ini. Dengan dia tinggal di apartemen yang sama, aku bisa lebih mudah mendiskusikan pekerjaan, bahkan di luar jam kantor kalau perlu.”
“Bukannya ini terlalu berlebihan, Ziel?” Zion akhirnya buka suara. “Kenapa harus tinggal bersama? Apa kamu nggak punya cara lain?”
Ziel menatap papanya, berusaha tetap tenang. “Aku paham ini kelihatan berlebihan, tapi ini murni soal pekerjaan, Pa. Lagipula, Dara nggak akan tinggal satu kamar dengan aku. Dia di kamar lain."
Elin memiringkan kepalanya, tampak mencerna perkataan Ziel. “Apa dia setuju tinggal bersamamu?"
Ziel mengangguk pelan. “Iya, Ma. Dan aku yakin dengan tinggal bersama, kami bisa menyelesaikan proyek dengan baik, aku rasa ini keputusan yang masuk akal.”
Elin terdiam, menatap Ziel dengan raut wajah campuran antara khawatir dan bingung. Zion, di sisi lain, masih menatap Ziel dengan ekspresi datar, tetapi matanya menyiratkan rasa penasaran yang mendalam.
“Kamu yakin ini cuma soal pekerjaan?” tanya Zion tiba-tiba, nadanya serius.
Ziel menatap papanya dengan tegas. “Ya, Pa. Aku nggak punya niat lain. Ini murni soal efisiensi.”
Elin menghela napas panjang. “Kalau memang itu alasanmu, Mama nggak keberatan. Tapi Mama tetap ingin kamu menjaga jarak. Dara itu perempuan muda, kamu laki-laki. Jangan sampai ada masalah yang nggak diinginkan.”
Ziel mengangguk cepat. “Tentu, Ma. Aku paham.”
Zion tetap diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Kalau ini benar-benar membantu pekerjaanmu, Papa nggak akan melarang. Tapi ingat, jangan sampai ada alasan lain yang membuatmu memutuskan ini. Papa nggak mau melihat fokusmu terganggu karena hal-hal yang nggak perlu.”
Ziel mengangguk lagi. “Aku ngerti, Pa. Ini cuma soal pekerjaan, itu saja.”
Elin akhirnya tersenyum tipis. “Baiklah, Ziel. Kalau itu yang terbaik untuk kamu, Mama setuju. Tapi jangan lupa kabari Mama kalau ada apa-apa, ya.”
Ziel mengangguk, merasa lega. “Iya, Ma. Terima kasih.”
Setelah berbicara dengan orang tuanya, Ziel melangkah kembali ke kamarnya. Langkahnya terasa lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Begitu sampai, ia membuka pintu dan melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menatap langit-langit, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
"Setidaknya, satu masalah sudah beres," gumamnya dengan nada lega. Ia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi tak lama kemudian, ia membuka mata lagi dan menatap lurus ke depan.
"Tinggal memastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya pada dirinya sendiri, nada suaranya kini lebih tegas. Ziel duduk di tepi tempat tidur, menatap meja di sudut kamar yang penuh dengan berkas-berkas kerja.
"Semoga Dara nggak bikin masalah... atau malah aku yang bikin masalah karena keputusan ini," gumamnya dengan sedikit senyuman tipis, sebelum akhirnya bangkit dan menuju meja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk.
Elin masih berada di ruang keluarga bersama Zion. Ia menatap suaminya, yang duduk tenang di kursinya sambil memegang cangkir teh hangat di tangannya. Suara dentingan jam di dinding menjadi latar, menambah keheningan di antara mereka.
"Sayang," panggil Elin lembut, memecah kesunyian. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, matanya menatap Zion dengan perhatian. "Kalau tak salah, aku dengar darimu kemarin, Dara ini karyawan yang baru bekerja, bukan?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat2 dara jgn punya pikiran mau menggugurkan kandunganmu itu
bayi itu tidak berdosa....
Seandainya suatu terbongkar dara hamidun sebaiknya jujur aja sm pak boss korban memperkosaan dara....
kasian jg jd dara hamil tidak tahu siapa pelakunya dan mau minta tanggungjawan sm siapa jg....
blm nanti omongan tmn2 Kantornya pd juling pasti dara hamil diluar nikah...
lanjut thor.....
Sabar dara anak itu titipan jaga dan rawat dia dan sayangi hrs menerima dgn ikhlas....
Pak bos seandainya tahu daralah perempuan yg dinodainya so pasti akan bertanggungjawab menikahinya...
Debay pgn dekat2 sm papanya dan papanya mengalami sindrom coudave....
Dara testpack dulu membuktikan lg hamil gak....
Sabar ya dara hasil garis dua hrs terima dgn ikhlas dan pasti dara bingung mau minta tanggungjawab sm siapa pria yg menghamilinya wajahnya samar2 dan tidak jelas....
sama dengan cover novel sebelah??
sama2 update juga,kirain novelnya error gak tau nya liat judul beda...
maaf ya kk Thor🙏🏻