Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah Hati, Fikiran dan Fisik
Bima berdiri di depan pintu kamar Desi sambil mengusap pelan dahinya yang masih terasa nyeri akibat terbentur pintu. Ia mengetuk pintu kamar lagi, memanggil istrinya, “Desi, buka pintunya, sayang.” Namun, tidak ada sahutan.
Di belakangnya, Jeje dan Jojo masih berdiri, memperhatikan kejadian tersebut. Mereka memandang Bima dengan ekspresi prihatin, meskipun nada mereka lebih condong ke arah mengkritik Desi daripada mendukungnya.
“Mas Bima nggak apa-apa?” tanya Jojo, dengan nada setengah khawatir.
Jeje menyahut, “Memang Mbak Desi itu kasar, Mas Bima. Lihat aja, udah pulang malam, nggak masak, terus malah ngunci diri di kamar kayak gini. Nggak usah dipikirin, Mas. Nanti kan Mbak Maya pasti lebih baik. Dia bakal jaga dan melayani Mas Bima dengan baik.”
Mendengar ucapan itu, Bima hanya terdiam. Dalam hati, ia merasa kesal dengan keluarganya yang selalu menyalahkan Desi dan terus memaksakan kehendak mereka. Bahkan rencana pernikahannya dengan Maya pun sebagian besar didorong oleh tekanan mereka. Namun, Bima tidak bisa membantah mereka secara terang-terangan. Ia merasa terjebak di antara dua sisi yang bertentangan.
“Udahlah, Mas Bima, kita turun aja,” ajak Jojo. “Mama lagi nunggu makanan datang. Nanti makan bareng-bareng aja di bawah.”
“Iya, Mas, mending kita turun aja,” tambah Jeje. “Nggak usah mikirin Mbak Desi. Kalau dia nggak mau gabung, ya biarin aja.”
Bima mendesah panjang, mencoba mengusir rasa kesalnya. “Ya sudah,” jawabnya akhirnya. Ia melirik pintu kamar Desi untuk terakhir kalinya sebelum mengikuti Jeje dan Jojo menuruni tangga.
Di ruang tamu, Bu Denes sudah menunggu dengan ekspresi kesal yang sama seperti sebelumnya.
"Mana Desi, kenapa gak turun bersama kalian? Ia kan harus memasak!" marah Bu Denes.
"Mbak Desi gak mau masak mah, tapi tenang saja, kita beli online." ucap Jojo tenang sambil menuju ke tempat sang ibu berada.
“Oh, tapi makanan udah dipesen, kan?” tanya Bu Denes kepada Bima.
“Iya, Ma. Sebentar lagi sampai,” jawab Bima.
“Bagus. Mama udah lapar banget,” kata Bu Denes sambil melipat tangan di depan dada. “Kalian duduk sini dulu sambil nunggu. Jangan pikirin Desi. Dia tuh cuma bikin masalah aja.”
Bima duduk di sofa tanpa banyak bicara, berusaha mengabaikan komentar ibunya yang membuat suasana hatinya semakin buruk. Jojo dan Jeje mengambil tempat di sebelahnya, mengobrol ringan sambil sesekali melontarkan lelucon yang membuat Bu Denes tertawa kecil.
Namun, di dalam hatinya, Bima merasa hampa. Meski ia berusaha menunjukkan sikap tenang di depan keluarganya, ada rasa bersalah yang tidak bisa ia abaikan. Ia tahu, Desi yang sekarang berbeda. Dia bukan wanita penurut seperti dulu, dan entah kenapa, itu justru membuat Bima merasa semakin sulit memahami perasaannya sendiri.
Setelah beberapa saat, suara bel pintu terdengar. Jojo yang duduk paling dekat dengan pintu langsung bangkit dan berlari membukanya. Begitu pintu terbuka, seorang kurir dengan seragam rapi berdiri sambil membawa beberapa kantong besar berisi makanan.
“Sudah dibayar, kan?” tanya Jojo, memastikan.
“Sudah, Mbak. Selamat menikmati, ya. Terima kasih,” balas sang kurir dengan ramah sebelum pergi.
Jojo menutup pintu sambil membawa makanan tersebut ke ruang tamu. "Makanannya datang! Ayo ke ruang makan," serunya, wajahnya terlihat antusias.
Ketika mereka semua bergerak menuju ruang makan, Jojo tiba-tiba berteriak, “Bi Inah! Cepetan dong bantuin di sini!”
Jeje yang berjalan di belakang langsung mengingatkan, “Hei, kamu lupa ya? Bi Inah kan lagi pulang kampung.”
Jojo berhenti di tengah langkahnya, menghela napas kesal. “Kalau gitu kamu aja deh yang ambil perlengkapan makan. Cepetan!”
“Apa?! Aku nggak mau capek-capek!” Jeje menolak mentah-mentah. Ia bahkan duduk kembali di kursi dengan santai.
Jojo menggerutu, lalu memutar badan ke arah ibunya. “Mama... tolong bantuin ambilin piring, sendok, sama air minum.”
Mendengar itu, Bu Denes memelototi Jojo. “Kamu ini gimana, sih? Saya ini orang tua, bukan pembantu kamu. Seenaknya aja nyuruh-nyuruh.”
Jojo tampak bingung, lalu mengalihkan pandangannya ke Bima yang sudah duduk dengan wajah lelah. “Mas Bima, bantuin dong,” katanya.
Bima mendesah panjang. Ia memijit pelipisnya sejenak, kemudian berdiri tanpa berkata apa-apa. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil perlengkapan makan yang dibutuhkan.
Di dapur, Bima mengambil piring, sendok, dan garpu, lalu membawa semuanya ke meja makan. Setelah meletakkan barang-barang tersebut, ia kembali ke dapur untuk mengambil gelas dan botol air minum.
Sementara itu, Jojo, Jeje, dan Bu Denes hanya duduk santai di kursi masing-masing tanpa sedikit pun menunjukkan niat untuk membantu. Mereka mengobrol dan tertawa, seolah tidak menyadari betapa lelahnya Bima.
Bolak-balik dari dapur ke ruang makan, Bima mulai merasa frustrasi. Badannya sudah terasa lelah setelah seharian bekerja, belum lagi pikirannya yang kusut memikirkan situasinya dengan Desi. Ia merasa semua beban ditimpakan kepadanya tanpa ada satu pun dari mereka yang peduli dengan kondisinya.
Ketika akhirnya semua perlengkapan makan sudah siap di meja, Bima duduk di kursi dengan wajah yang tampak semakin letih. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mencoba mengatur napasnya sambil memijat tengkuknya yang tegang.
Bu Denes, Jojo, dan Jeje tampak tak peduli dengan kelelahan Bima. Mereka sibuk membuka bungkus makanan dan mulai mengambil porsi masing-masing.
“Mas Bima, kenapa diem aja? Ayo makan,” ucap Jojo dengan nada santai, tidak menyadari atau mungkin tidak peduli dengan suasana hati kakaknya.
Bima hanya mengangguk kecil dan mengambil makanan seadanya. Dalam hatinya, ia merasa benar-benar lelah, tidak hanya fisik, tetapi juga hati dan pikirannya yang terus-menerus diuji oleh situasi yang rumit ini.
Di meja makan, suasana awalnya cukup tenang. Namun, Bu Denes memecah keheningan dengan pertanyaannya yang langsung menusuk.
“Bima, gedung pernikahan kalian sudah siap, kan?” tanyanya sambil menatap putranya dengan tajam.
Bima yang tengah mengaduk makanannya hanya mengangguk kecil, lalu bersuara pelan, “Hm.”
Melihat respons putranya yang malas, Bu Denes langsung ketus. “Jangan cuma hm-hm aja kalau ditanya orang tua. Jawab yang jelas!”
“Iya, Ma,” jawab Bima dengan suara datar, mencoba menahan rasa lelahnya.
“Dokumen nikahnya sudah lengkap, kan? Sudah kamu urus semuanya?” tanya Bu Denes lagi, tidak peduli dengan nada malas anaknya.
“Iya, Ma, sudah,” jawab Bima singkat.
“Baju pernikahan semuanya juga sudah lengkap?” tekan Bu Denes, memastikan semuanya sesuai rencananya.
“Iya, Ma,” jawab Bima sekali lagi, nada suaranya tetap monoton.
Bu Denes mulai kehilangan kesabaran. “Iya, iya terus... apa nggak ada jawaban lain, hah?” katanya dengan nada tinggi, matanya memandang Bima dengan kesal.
Bima akhirnya meletakkan sendoknya dengan sedikit keras, lalu menatap ibunya. “Terus Bima harus jawab apa lagi, Ma? Semua yang Mama minta sudah Bima turuti, kan? Bima sudah urus semua ini, meskipun...,” Bima menghentikan ucapannya, menarik napas dalam-dalam. “Sudahlah, Bima pusing dan lelah, Ma. Bima masuk dulu, mau istirahat.”
Tanpa menunggu respons ibunya, Bima berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan meja makan. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menjauh dari percakapan yang membuatnya semakin tertekan.
Bu Denes memandang kepergian putranya dengan ekspresi kesal yang tertahan. “Anak itu...! Astaga, semakin hari semakin tidak sopan!” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Sementara itu, Jeje dan Jojo yang sejak tadi hanya diam dan menyaksikan pertengkaran kecil tersebut, tetap terpaku di tempatnya. Mereka saling bertukar pandang, namun tidak berani mengatakan apa pun. Sesaat kemudian, mereka hanya melanjutkan makan tanpa banyak bicara.
Setelah meninggalkan meja makan dengan hati yang lelah, Bima berjalan menuju kamar Desi. Langkah kakinya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi juga tekanan yang terus menghimpit pikirannya. Sampai di depan pintu kamar Desi, ia berhenti sejenak, menatap pintu kayu yang kokoh itu dengan tatapan hampa.
“Desi,” panggilnya pelan sambil mengetuk pintu dengan lembut.
Tidak ada jawaban dari dalam.
“Sayang, ini aku. Bisa kita bicara?” katanya lagi, suaranya sedikit lebih keras, namun tetap tidak mendapat respons apa pun.
Dengan rasa frustrasi yang mulai memuncak, Bima mencoba memutar gagang pintu. Namun, pintu itu terkunci dari dalam. Ia menekan keningnya ke daun pintu, mencoba meredakan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
“Kenapa sih menjadi begini...” gumamnya pelan.
Ia berpikir untuk mengambil kunci cadangan. Namun, ingatan bahwa Bi Inah, satu-satunya yang tahu tempat menyimpan kunci itu, tidak ada di rumah membuatnya menyerah. Ia menegakkan tubuhnya, mengembuskan napas panjang, dan menatap pintu itu dengan ekspresi pasrah.
Akhirnya, tanpa daya, Bima berbalik dan berjalan menuju kamar tamu. Itu adalah tempat yang sudah menjadi tempat tidurnya selama beberapa hari terakhir. Langkahnya lambat, hampir seperti orang yang menyeret diri sendiri. Ketika sampai di kamar tamu, ia membuka pintu dan masuk tanpa menyalakan lampu, membiarkan ruangan itu tetap gelap.
Bima duduk di tepi ranjang, menunduk sambil memegang kepalanya. Rasanya semua beban hidup menekan dirinya tanpa henti. Pernikahannya yang sekarang tidak lagi harmonis, tuntutan keluarganya, dan rencana pernikahan baru yang sama sekali tidak ia inginkan, semuanya berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin tertekan.
Dengan tubuh yang terasa remuk, ia akhirnya membaringkan diri di atas ranjang. Mata Bima menatap langit-langit gelap, mencoba mencari ketenangan dalam keheningan malam. Namun, pikirannya terus berputar, membuat tidurnya malam itu tak lebih dari sekadar istirahat yang gelisah.
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
semangat Thor