Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyatukan Doa, Menguatkan Hati
"Cinta yang diridhai bukan tentang seberapa cepat bersatu, tapi tentang seberapa kuat bertahan di dalam doa."
---
Awal yang Baru di Tengah Ketidakpastian
Udara pagi di kota itu terasa lebih sejuk dari biasanya. Arpa berjalan perlahan di taman kampus, mengenakan jilbab biru muda yang berkibar tertiup angin. Di tangannya tergenggam sebuah buku jurnal — bukan jurnal miliknya, tapi milik Fathir yang baru beberapa hari lalu ia baca habis.
Hati Arpa campur aduk. Setiap kata dalam jurnal Fathir membuka banyak ruang dalam dirinya, seolah ia bisa merasakan perjalanan panjang yang Fathir lalui selama di Timur Tengah.
“Dia benar-benar bertahan sejauh ini…” gumamnya pelan.
Langkahnya terhenti di bangku taman di bawah pohon besar. Ia duduk sambil memandangi langit biru cerah. Dalam hati, ada perasaan damai, tapi juga ketakutan.
"Kalau dia selama ini berjuang sekeras itu, apakah aku siap untuk benar-benar melangkah bersamanya?"
Sambil menunduk, Arpa mengelus sampul jurnal Fathir dan mulai berbicara pelan kepada dirinya sendiri.
"Arpa, kamu udah baca semuanya. Kamu tahu dia nggak main-main soal ini. Tapi kenapa masih ada keraguan di hatimu?"
Air matanya mulai mengalir pelan.
"Apa karena aku takut bahagia? Atau takut kalau akhirnya semua ini cuma jadi luka baru?"
Namun di sela kegelisahan itu, ia teringat tentang perjalanan panjang yang sudah mereka berdua lalui. Betapa Allah selalu mempertemukan mereka di waktu yang tak terduga.
"Mungkin ini bukan soal takut atau nggak. Tapi soal keyakinan. Keyakinan bahwa takdir Allah selalu yang terbaik."
---
Sebuah Pertemuan yang Terencana dan Terduga
Hari itu, Fathir mengajak Arpa bertemu di tempat biasa — taman kota di bawah langit senja yang selama ini menjadi saksi perjalanan mereka.
Saat Arpa tiba, Fathir sudah menunggu di sana. Ia berdiri di dekat danau kecil yang memantulkan warna langit jingga. Senyuman tipis muncul di wajahnya saat melihat Arpa datang.
“Assalamualaikum, Arpa,” sapanya dengan tenang.
“Waalaikumsalam,” jawab Arpa sambil menunduk pelan.
Fathir menatapnya dalam. “Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku ingin tahu… setelah kamu baca jurnal itu, apa yang kamu rasakan?”
Arpa menelan ludah. Suasana menjadi hening beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata, “Aku… aku baca semuanya. Dan jujur, aku nggak nyangka kamu bisa bertahan sejauh itu.”
Fathir tersenyum tipis. “Aku sendiri juga nggak nyangka. Tapi aku tahu satu hal — selama perjalanan itu, doa-doa aku selalu mengarah padamu.”
Arpa menunduk, air mata mulai mengalir. “Fath, aku bingung. Aku senang… tapi juga takut. Takut kalau aku nggak bisa jadi sekuat kamu.”
Fathir mendekat perlahan. “Arpa, kita berdua nggak sempurna. Aku pun punya banyak keraguan selama ini. Tapi aku percaya, selama kita niatkan ini karena Allah, kita bisa saling menguatkan.”
Arpa menghapus air matanya dan menatap Fathir. “Aku… aku mau berjuang bareng kamu. Tapi aku butuh waktu. Aku ingin memastikan hatiku sepenuhnya siap.”
Fathir tersenyum lega. “Itu lebih dari cukup, Arpa. Aku nggak pernah pengen buru-buru. Aku cuma ingin kita saling jujur dan saling menjaga. Kita akan jalanin ini pelan-pelan.”
Mereka berdua tersenyum, merasakan kelegaan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
---
Janji di Bawah Langit Senja
Saat matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi semburat oranye kemerahan. Arpa dan Fathir berdiri berdampingan di pinggir danau, memandangi bayangan senja yang indah.
“Fath,” ucap Arpa pelan, “kalau suatu saat nanti kita harus berpisah lagi, entah karena jarak atau keadaan, janji ya… jangan berhenti mendoakan.”
Fathir mengangguk. “Aku janji. Karena selama kita masih mendoakan satu sama lain, aku yakin hati kita nggak akan pernah benar-benar jauh.”
Mereka berdua tersenyum, merasakan ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya. Tak ada kepastian kapan mereka akan benar-benar bersatu, tapi kali ini mereka yakin bahwa cinta yang mereka jaga dalam doa adalah cinta yang Allah ridhoi.
Pelajaran dari Sebuah Pilihan
Sore itu, setelah percakapan yang penuh haru di taman, Arpa berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak taman kota. Udara sejuk senja menemaninya, namun pikirannya penuh oleh kata-kata Fathir. Ada ketenangan, tapi juga ada pergolakan batin yang belum sepenuhnya padam.
"Aku mau berjuang bareng kamu... tapi aku butuh waktu."
Kalimat itu terus terngiang di kepalanya. Arpa tahu, ucapan itu bukan hanya sekadar penundaan, tapi juga pengakuan jujur dari dirinya sendiri. Ia butuh keyakinan yang lebih dalam sebelum benar-benar berkomitmen.
Saat menyusuri taman, ia melihat sekelompok anak kecil sedang bermain layang-layang. Salah satu anak terlihat kesulitan mengendalikan benangnya dan akhirnya layang-layang itu jatuh. Anak itu hampir menangis, tapi seorang pria tua datang menghampiri dan membantu mengangkat layang-layang itu kembali ke udara.
Arpa tersenyum melihat adegan sederhana itu.
"Kadang, hidup seperti layang-layang. Untuk bisa terbang tinggi, kita perlu tahu kapan harus melepaskan dan kapan harus menarik benangnya lebih kuat," batinnya.
Saat merenung, ponselnya bergetar. Pesan dari Salma masuk.
Salma: “Araaa! Besok ada kajian di masjid kampus. Ustadz favorit kamu yang ngisi, lho. Ayo ikut!”
Arpa tersenyum membaca pesan itu. Ia membalas singkat.
Arpa: “Oke, aku ikut. Thanks ya, Nay!”
---
Kajian Tentang Takdir dan Keikhlasan
Keesokan harinya, Arpa duduk di barisan depan masjid kampus, siap mengikuti kajian. Tema yang diangkat membuat hatinya bergetar: “Takdir, Pilihan, dan Keikhlasan: Menyatukan Tiga Hal yang Sulit”.
Ustadz membuka kajian dengan ayat Al-Qur’an:
"Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
“Saudaraku,” ujar sang ustadz, “seringkali kita bingung di antara pilihan hidup. Kita bertanya, mana yang terbaik? Siapa yang akan menjadi takdirku? Tapi ingatlah, takdir Allah bukan untuk ditebak atau dipaksa. Takdir itu untuk dijalani dengan ikhlas, tanpa harus tahu ujungnya.”
Arpa mendengarkan dengan hati yang berdebar. Seolah setiap kata ustadz itu ditujukan langsung untuknya.
“Dalam hubungan manusia,” lanjut ustadz, “kita harus belajar membedakan antara cinta yang diinginkan dengan cinta yang diridhai. Kadang, cinta yang kita perjuangkan bukanlah yang terbaik untuk kita. Tapi jika cinta itu mendekatkan kita kepada Allah, itulah cinta yang patut dipertahankan.”
Kalimat itu menancap di hati Arpa. Ia mulai memahami sesuatu yang selama ini samar dalam pikirannya.
"Mungkin ini bukan soal Fathir. Ini soal diriku sendiri — tentang seberapa besar aku mempercayai takdir Allah," pikirnya.
---
Percakapan yang Lebih Dalam di Bawah Langit Malam
Malam itu, setelah kajian, Arpa menghubungi Fathir dan mengajaknya bertemu. Mereka kembali ke taman kota — tempat di mana segalanya dimulai. Kali ini, langit malam dipenuhi bintang. Udara malam terasa sejuk, dan suara jangkrik terdengar samar di kejauhan.
Fathir tiba lebih dulu, duduk di bangku taman sambil memandangi langit. Tak lama, Arpa datang dengan senyum tenang di wajahnya.
“Assalamualaikum, Fath,” sapa Arpa.
“Waalaikumsalam,” jawab Fathir sambil tersenyum.
Arpa duduk di sampingnya, keduanya terdiam beberapa detik sebelum Arpa memulai.
“Aku ikut kajian tadi sore,” kata Arpa pelan.
“Oh ya? Kajian tentang apa?”
“Takdir dan keikhlasan.”
Fathir menoleh padanya. “Dan… apa yang kamu dapat?”
Arpa menarik napas dalam-dalam. “Aku sadar, selama ini aku terlalu sibuk mencari jawaban, padahal seharusnya aku fokus menjalani perjalanan ini dengan ikhlas.”
Fathir mendengarkan dengan seksama.
“Aku sempat ragu, Fath. Aku takut salah langkah, takut salah memilih. Tapi sekarang aku paham… bukan hasil akhirnya yang harus aku takutkan, tapi bagaimana aku menjalani proses ini,” lanjut Arpa.
Air mata mulai menggenang di matanya.
“Aku ingin kita memperjuangkan ini bersama, tapi dengan satu syarat.”
Fathir tersenyum. “Apa syaratnya?”
“Bahwa kita akan saling mengingatkan untuk tidak menempatkan satu sama lain di atas Allah. Cinta ini harus tetap dalam batasan yang diridhai.”
Fathir terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, “Arpa, itu bukan syarat. Itu adalah pondasi yang seharusnya ada sejak awal. Aku janji, kita akan menjaga ini bersama.”
Arpa tersenyum lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa beban di hatinya benar-benar terangkat.
---
Doa Bersama di Bawah Langit Malam
Di tengah malam itu, di bawah langit penuh bintang, Fathir mengajak Arpa untuk berdoa bersama. Mereka duduk bersila di rumput taman, menundukkan kepala, dan berdoa dalam diam.
"Ya Allah, jika ini jalan terbaik yang Engkau pilihkan, mudahkan langkah kami untuk meraihnya. Tapi jika bukan, tenangkan hati kami untuk menerima keputusan-Mu dengan ikhlas."
Setelah doa selesai, mereka saling menatap dan tersenyum. Tak ada lagi keraguan. Kini hanya ada keyakinan bahwa perjalanan mereka, seberat apapun, sudah dalam genggaman takdir Allah.
---
Refleksi Terakhir Malam Itu
Saat Arpa kembali ke rumahnya malam itu, ia menulis di jurnal pribadinya:
"Hari ini aku belajar sesuatu. Bahwa cinta sejati bukan tentang kepastian waktu atau jarak, tapi tentang seberapa besar kita mempercayakan cinta itu kepada Allah. Dan malam ini, aku yakin… aku sudah menempatkan cinta ini di tempat yang benar."
Di tempat lain, Fathir membuka jurnalnya dan menulis:
"Aku tahu perjalanan ini masih panjang, tapi malam ini aku merasa tenang. Karena untuk pertama kalinya, kami berdua saling memegang tangan… bukan untuk saling menggenggam, tapi untuk saling menguatkan dalam doa."
---
“Cinta yang diridhai Allah bukan tentang saling memiliki secepatnya, tapi tentang saling menjaga hingga waktu yang tepat tiba.”
---