NovelToon NovelToon
Cinta Beracun Pak Gustav

Cinta Beracun Pak Gustav

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Hamil di luar nikah / Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nara Diani

"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.

"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.

Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.

Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.

Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.

George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 04

Para gadis yang berdiri di belakang Gladys saling berbisik menebak-nebak siapakah yang tega membuang anaknya ke dalam toilet kampus.

“Gila ya, bisa-bisanya membuang janin di lingkungan kampus,” celetuk salah satu dari mereka.

“Ihkkk ... bau!”

“Kok bisa pada ga sadar ada janin di dalam toilet?” tanya gadis lain di samping mahasiswi yang menyeletuk tadi.

“Katanya sih janin itu menyangkut di dalam pipa, ada mahasiswi yang pipis di situ tadi pagi, katanya flush  toilet gak berfungsi, air bukannya mengalir malah menggenang di dalam kloset terus tercium bau busuk juga,” jelas seorang mahasiswa yang berdiri bersama mereka para gadis itu mengangguk-ngangguk.

Tidak ingin berlama-lama di sana, Gladys menepi dan keluar dari kerumunan, seorang mahasiswa bernama Andre yang sejak tadi memperhatikan gelagat aneh Gladys mencegatnya sebelum perempuan itu menjauh.

"Mau ke mana, Dys?” panggil Andre, Gladys seketika berhenti untuk berbalik.

Cewek ini, pasti menyembunyikan sesuatu,' batin Andre yakin dengan feeling nya.

Aneh saja, mengapa Gladys bisa terlihat se panik itu, jangan-jangan janin itu miliknya. Cih, jika benar ternyata image baiknya hanyalah topeng. Sudah Andre duga jika Gladys tidak se baik dan polos itu.

“Gue lihat-lihat dari tadi lo kayak panik gitu, terus muka lo juga pucet kayak orang ketakutan, ya?” tanya Andre dengan nada penasaran tinggi.

Pertanyaan itu berhasil mengundang perhatian para mahasiswa, seketika orang-orang di sana ikut menatap Gladys.

"Aku juga liat tadi tapi ga terlalu merhatiin,” bisik seorang mahasiswi pada temannya.

“Dia kenapa kok panik sih? Oh, apa jangan-jangan—“

“Hus! Jangan ngaco!”

Melihat spekulasi-spekulasi liar yang mulai menyerangnya, Gladys berusaha tenang dan menguasai dirinya kembali agar mereka tidak semakin curiga. Gladys tidak bisa membiarkan reputasi baik yang susah payah ia pertahankan ini menjadi buruk.

“Kenapa diam, Dys? Takut?” Andre kembali melayangkan pertanyaan, kali ini dia mendekat berjalan memutari Gladys, berhenti sejenak lalu berbisik tapi dengan suara yang cukup keras.

“Janin itu punya elo, ya?”

“Heh! Jaga ya mulut elo Andre!” Mita tiba-tiba datang entah dari mana. Gadis berperawakan pendek itu mendekati Andre dengan menaikkan dagu tanpa rasa takut.

“Kita bertiga satu SMA ‘kan? Gue yakin lo pasti inget gimana ambisius nya Gladys sama nilai, ya kali mahasiswa se ambis ini hamil di luar nikah dan buang janinnya ke toilet?” ucap Mita menyangkal tuduhan.

Andre bukannya terintimidasi malah maju ke depan hingga jarak wajahnya dan wajah Mita semakin dekat.

“Siapa yang tahu?” balas Andre tenang.

“Seperti yang lo tahu, kita bertiga satu SMA dan setahu gue orang tua Gladys meninggal saat dia kelas sebelas sempat gap year karena ga punya biaya kuliah setelah lulus.” Dahi Mita mengerut dagunya turun sementara orang-orang di sekitar mereka tiba-tiba ribut.

Mata Andre menatap Gladys mencemooh, selain pura-pura baik Andre sangat yakin jika Gladys juga tidak sepintar itu,  dia pasti melakukan cara-cara kotor agar bisa masuk ke Universitas ini. Pintar? Andre merasa bahkan dia jauh lebih pintar, tetapi mengapa semua orang selalu memuji Gladys?

“Setahun kemudian dia masuk kuliah, ke sini, dengan mobil baru dan barang-barang branded. Coba lo pikir gimana caranya gadis yatim piatu miskin bisa tiba-tiba saja menjadi makmur dan kuliah di kampus mahal padahal kita tahu sendiri kan pihak kampus tidak pernah menyediakan beasiswa apapun.”

Andre menarik sebelah tangan Mita paksa membawa gadis itu ke hadapan Gladys sementara yang lain hanya diam menonton.

“Lihat teman lo ini. Dia cantik, putih, badannya bagus, lo sebagai teman dekatnya sejak SMA ga pernah mikir kalau bisa saja dia menjual kecantikannya demi uang, menjadi simpanan pria kaya bukan hal yang aneh lagi di Indonesia,” cecar Andre panjang lebar menatap wajah Gladys dengan tatapan merendahkan.

“Jaga ucapan elo! Teman gue ga mungkin berbuat begitu, lo terus-terusan begini jatuhnya ke fitnah!”

Andre berdecih sinis, ia hempaskan tangan Mita kesal. “Logikanya aja, dari mana dia dapat barang-barang mewah itu kalau enggak dari Daddy-nya. Gundik berkedok anak ambis.”

“Cukup!” seru Gladys.

“Apa? Mau membela diri lo pelacur?”

Plak!

Gladys menampar wajah cowok itu keras hingga semua orang terkejut bahkan beberapa orang memekik kaget.

"Jaga mulut lo! Tuduhan elo sama sekali tidak berdasar, Andre,” balas Gladys emosi, tangannya terkepal kuat dan sedikit bergetar, mata Gladys bahkan sudah memerah menahan tangis.

“Lo main pakai logika kan? Kalau begitu sini gue kasih tahu. Pertama, wajah gue pucat karena lagi haid, lo pinter pasti tahu kalau cewek haid itu mengalami penurunan hemoglobin karena kehilangan banyak darah makanya wajah gue pucet dan lemas,” terang Gladys, mati-matian dia menahan tangisan hingga matanya memerah, sesak dan sakit tapi dia tetap tidak bisa kalah.

“Dua, orang tua gue memang gak kaya tapi kami hidup berkecukupan, mereka nabung dari gue kecil dan investasikan uang itu untuk modal sekolah gue karena itu sekarang gue bisa si makmur sekarang.”

“Tiga, gue memilih gap year setahun karena masih berduka atas kepergian mereka. Lo kira mudah menerima kenyataan kalau orang tua lo meninggal mendadak dan tragis, hah?!” Akhirnya tanpa bisa di tahan, air matanya mengalir, Gladys terisak, sakit sekali. Segala hal yang menyangkut orang tuanya selalu berhasil membuat Gladys runtuh. Mita sigap memeganginya.

Untungnya serangan balik dari Gladys berhasil mengiring kembali kepercayaan padanya. Orang-orang yang tadinya menaruh curiga kini malah balik memicing pada Andre.

“Jahat banget mulut elo, Andre. Gue juga kenal Gladys sejak SMA dan dia bukan orang seperti itu, siapa pun tahu kalau Gladys gadis baik-baik yang mencintai nilai,” ucap laki-laki berkaca mata bulat, Fian namanya.

“Ani-ani itu kan cewek bodoh yang gak punya skill sama sekali makanya jadi simpanan modal selengki tapi Gladys lihat sendiri sepintar apa dia? Ani-ani mana ada yang pintar?” ucap Mita menambahi.

 “Iya juga ya,” bisik-bisik yang lainnya.

Gadis itu menunjuk-nunjuk dada Andre marah. “Tujuan lo apa fitnah teman gue begitu, ha? Apa coba jawab?” cibir Mita tertawa mengejek.

“Lo sirik kan karena selalu kalah pintar dari Gladys sejak dulu?” tambah Mita telak.

Andre mengepalkan tangannya kesal, urat-urat leher dan lengannya sampai tampak ke permukaan, wajahnya memerah, entah itu marah atau malu.

“Lo!” Jarinya menunjuk semua orang  berurutan, tetapi orang-orang di sana yang pro Gladys malah menertawakan wajah bodohnya.

“Awas saja lo semua!” teriak Andre berlari pergi.

“Yah ... lari dia.”

“Cupu lo!” ejek orang-orang itu.

***

“Bagaimana?” tanya Gustav setelah menghembuskan asap rokoknya ke udara.

Gustav menjadikan nikotin sebagai pelarian sementara waktu karena Gladys untuk saat ini tidak bisa di tunggangi hingga pingsan.

Beberapa bulan terakhir ini masalah datang bertubi-tubi, mulai dari  serangan hama besar-besaran di kebun teh miliknya hingga pembunuhan yang terjadi di hotel membuat citra hotel mereka menjadi buruk.

“Pihak korban meminta kompensasi pada kita karena tidak bertanggung jawab menjaga keselamatan keluarga mereka, Pak. Jumlahnya seperti yang di sebutkan kemarin,” jelas Nick, asisten pribadi sekaligus sekretaris Gustav dan tentu saja dia mengenal Gladys.

“Apa mereka gila? Mana aku tahu seseorang akan menumpang mati di hotelku, seharusnya fokuslah mencari pelaku bukan meminta kompensasi pada pihak hotel,” desis Gustav. Wajah bermata elang yang terlihat lelah itu menajam dengan alis menukik tinggi.

“Bisa saja ini jebakan untuk memeras kita. Katakan pada mereka apapun yang terjadi pihak kita tidak kan memberi kompensasi sepeser pun,” tandas Gustav.

“Baik, Pak.” Gustav menghembuskan napas panjang begitu Nick keluar, saat akan menghisap rokoknya lagi ponselnya bergetar.

My Cat is calling ....

 Ah, ada apa Gladys menelepon? Apakah pendarahannya sudah selesai dan ia siap begadang sampai pagi lagi bersamanya? Pria itu buru-buru mengangkat telepon dengan wajah cerah tapi pikiran indah di kepalanya segera surut begitu Gladys menyampaikan kabar buruk lainnya.

Gustav menutup telepon tanpa mengatakan apapun, dia panggil kembali Nick dengan telepon interkom di atas meja.

“Ya, Pak. Ada apa?” tanya Nick sigap begitu dia masuk.

“Gladys membuang janinnya ke toilet kampus dan di temukan oleh pihak mereka, hubungi petinggi universitas dan bungkam mereka semua,” ucap Gustav memijit kepala pusing.

“Tapi, Pak. Keuangan kita saat—“ Nick bungkam begitu Gustav menatapnya tajam.

Pria itu menunduk, “Baik, Pak.”

***

Sambungan telepon di matikan, Gladys mengantongi kembali ponselnya. Untung saja ia cepat mengetahui hal ini dan bisa memberitahu Gustav untuk mengurus masalahnya, saat ini rektor dan para dekan sedang rapat untuk menyelidiki kasus temuan janin tersebut.

Gladys turun dari tangga darurat tempatnya menelepon tadi, melihat sekeliling setelah merasa aman dia segera menjauh dari sana untuk kembali ke kelas.

“Ternyata dia beneran pelacur,” ucap seseorang terkekeh mengejek. Ia keluar dari balik tembok persembunyian menatap punggung Gladys yang semakin mengecil.

 “Cih, munafik!”

***

“Bodoh!” maki Gustav keras menunjuk wajah Gladys.

Selesai bekerja dia langsung menemui Gladys di apartemen untuk meluapkan emosi yang sejak semalam terkumpul di hati.

Ia membanting barang-barang yang ada di sana meluapkan amarah, apartemen Gladys yang rapi seketika berubah menjadi kapal pecah di tangan Gustav.

“Dasar tidak berguna! Brengsek, perempuan dungu!”

Pria itu mengambil akuarium mini berisi ikan cupang di atas meja lalu membantingnya keras-keras di depan  Gladys.

Perempuan muda yang sedang berjongkok menutup telinganya dengan lelehan air mata itu terkejut dan semakin takut.

 Mama, Papa, Gladys takut!

“Bukankah kamu pintar? Ke mana perginya otakmu itu sampai melakukan kesalahan bodoh seperti ini hah!” maki Gustav menekan-nekan kening Gladys dengan telunjuknya.

Gladys menunduk ketakutan, tidak berani menatap mata merah Gustav barang sedetik pun.

“Ma—maaf aku yang salah aku ceroboh.”

“Memang!” hardik pria itu dengan suara menggelegar yang jika saja unitnya tidak kedap suara sudah pasti para tetangga bisa mendengar teriakannya.

“Masalah sudah banyak bukannya mengurangi kau malah menambah lagi!” maki Gustav membanting barang lainnya.

“Di sekolahin bukannya makin pintar malah makin tolol!”

"A—aahh!” teriak Gladys karena tiba-tiba saja Gustav menarik rambut belakangnya keras, memaksa kepalanya mendongak menatap mata nyalang dan berkabut pria itu.

“Ini terakhir kalinya kau membuat masalah, kalau sekali lagi kau melakukan kesalahan yang sama aku tidak akan segan-segan membuang mu!”

“Ah!” Kepala Gladys di hempaskan kasar hingga ia terjatuh dan hampir menabrak lantai. Gustav pun keluar, pergi meninggalkan kekacauan di rumah dan hatinya.

***

Musik indie mengalun pelan di dalam kafe bernuansa klasik modern itu. Hanya ada beberapa orang pengunjung yang duduk di meja-meja yang berjauhan, salah satu dari mereka adalah Gladys yang memilih menyendiri setelah pertengkarannya dengan Gustav beberapa jam yang lalu.

Tidak ada buku atau macbook yang biasa dia bawa untuk belajar sambil duduk di kafe, kali ini Gladys datang dengan tangan kosong, hanya membawa pikiran dan patah hatinya untuk di tenangkan sejenak.

“Gladys? Halo, kita bertemu kembali.” Lamunan Gladys buyar begitu mendengar seseorang menyebut namanya.

“Saya George, masih ingat?” tanyanya tersenyum ramah.

Pria berambut pirang yang mengenakan kaos hitam polos dilapis apron hijau juga mengapit kanvas dan alat lukis di tangannya.

“Hai,” sapa Gladys pelan berusaha menunjukkan wajah seramah mungkin.

“Sendiri? Temanmu mana?” tanya George basa-basi.

"Enggak datang.”

Pria itu mengangguk-angguk paham. “Mau ikut saya ke atas? Mending temani saya melukis sambil mengobrol daripada melamun sendirian di sini.”

Gladys tampak berpikir. “Boleh, kalau kamu tidak keberatan.”

"Ayo,” ajak George memandu Gladys naik ke lantai atas.

Di lantai atas memang pihak kafe khusus buatkan tempat bagi para pelukis, ada bangku-bangku kecil dengan masing-masing frame di depannya juga meja kecil tempat meletakan cat.

Gladys memerhatikan sekitar tempat lukis yang lumayan luas itu. “Aku belum pernah ke sini,” monolognya, padahal dia sering mengunjungi kafe ini tapi tidak tahu tempat ini.

George meletakan kanvas dan alat lukisnya pada frame yang terletak paling ujung dekat tembok, langit biru langsung menyambut begitu melihat ke atas.

“Memang, tempat ini dikhususkan bagi pelukis, selain pelukis dilarang ke sini,” jawab George menoleh sebentar pada Gladys lalu merapikan alat-alat lukisnya.

“Pantas saja,” gumam Gladys.

“Mau jadi model potret saya? Nanti saya bikin dua, kalau sudah jadi lukisannya saya kasih ke kamu satu, gratis.” tawar George.

Mata Gladys membulat lucu, dia belum pernah dilukis sebelumnya ini pasti akan menjadi pengalaman yang menyenangkan pikirnya, dengan wajah ceria dia mendekat ke arah George.

“Boleh!” serunya bersemangat.

George tertawa gemas. “Duduk di situ.”

“Bos, nona ke kafe menemui seorang pelukis pria, mereka naik ke lantai dua dan hanya ada mereka berdua di sana,” ucap pelan seorang pria yang selalu Gustav tugaskan untuk mengawal Gladys diam-diam.

Di seberang telepon Gustav kebakaran jenggot. Pria katanya? Lelaki kurang ajar mana yang berani bertemu bahkan berduaan dengan gadisnya?

Gustav mematikan telepon si pengawal dan mencoba menghubungi Gladys berkali-kali tapi tidak di angkat karena ponselnya sengaja ditinggalkan di apartemen.

“Sial! Gladys!” teriak Gustav frustrasi. Pria itu menyambar jasnya dari atas kursi berjalan keluar ruangan kerja.

 Fuck! Lihat saja, Gustav akan mengikat kaki Gladys saat mereka bertemu nanti.

1
Myra Myra
lupakan gustac dah sesuai Ngan mu
Chung Chung
Up
Tình nhạt phai
Gokil abis!
Amanda
Seru banget deh!
Mina
Mantap jiwa banget, bikin nagih baca terus!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!