NovelToon NovelToon
Izin Menikah Mengubah Takdir

Izin Menikah Mengubah Takdir

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami
Popularitas:112.2k
Nilai: 4.7
Nama Author: Minami Itsuki

Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12 TUNGGU MASA IDDAH SELESAI

Aku tak peduli lagi dengan harga diriku. Hatiku menolak keras membiarkan Aisyah pergi. Aku jatuh berlutut di depannya, tanganku mencengkeram ujung gaunnya dengan erat.

"Aisyah, aku mohon... jangan pergi," suaraku bergetar, penuh kepedihan. "Tinggallah di rumah ini… setidaknya sampai masa iddah selesai… bersama anak-anak…"

Aisyah menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan—antara luka, kecewa, dan ketegasan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia menarik napas panjang, lalu melepaskan pegangan tanganku dengan lembut, tapi tegas.

"Mas Reza, aku sudah cukup lama bertahan di rumah ini meski hatiku sudah hancur. Mas menikah dengan Laras, tapi sekarang Mas masih ingin aku tetap di sini?" suaranya terdengar lirih, tapi tajam.

Aku mengangguk cepat, air mata nyaris jatuh dari mataku. "Aku tahu aku salah… aku tahu aku menyakitimu, Aisyah. Tapi aku nggak bisa kehilangan kamu…"

Dia tertawa kecil—tawa yang penuh kepedihan. "Tapi Mas sudah kehilangan aku sejak hari Mas memilih wanita lain," jawabnya pelan.

Aku menggeleng cepat. "Tidak, Aisyah… kamu tetap istriku… ibu dari anak-anakku… aku nggak bisa bayangin rumah ini tanpa kamu…"

Aisyah menatapku lama. Aku bisa melihat matanya yang berkilat karena air mata yang ia tahan. Tapi ia tetap berusaha tegar.

"Aku juga nggak pernah membayangkan akan pergi dari rumah ini, Mas. Tapi Mas sendiri yang memaksaku untuk pergi," katanya dengan suara bergetar. "Mas bisa berbagi hidup dengan wanita lain… tapi aku tidak bisa berbagi suami."

Aku benar-benar hancur mendengar ucapannya. "Jadi… ini sudah keputusan akhirnya?"

Aisyah mengangguk pelan. "Iya, Mas. Aku pergi bukan karena aku ingin… tapi karena Mas sudah memilih jalannya sendiri."

Pada akhirnya, aku pun menyerah. Aku tahu aku tidak bisa lagi memaksanya untuk tetap menjadi istriku, tapi aku tetap ingin dia tinggal di rumah ini sampai masa iddahnya selesai.

Aku menghela napas panjang, menatap Aisyah yang masih berdiri tegak di hadapanku. "Baiklah, kalau memang itu keputusanmu, aku nggak akan memaksa lagi," suaraku berat, seperti ada batu besar yang menghimpit dadaku. "Tapi aku ingin kamu tetap di sini sampai masa iddah selesai. Aku yang akan bilang ke Ayah dan Ibu."

Aisyah menatapku lama, seolah sedang menimbang sesuatu. "Aku nggak yakin Mas benar-benar siap untuk itu," katanya pelan.

"Aku siap," jawabku tegas. "Aku ingin memperbaiki kesalahan meski aku tahu itu nggak akan mengubah apa pun."

Aisyah menarik napas panjang. "Baiklah. Aku akan tetap di sini sampai masa iddah selesai," ucapnya akhirnya. "Tapi setelah itu, aku ingin Mas benar-benar merelakan aku pergi."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kata-katanya menusuk langsung ke hatiku, tapi aku hanya bisa mengangguk. "Aku akan mencoba…"

Sebelum aku bisa menambahkan apa pun, Aisyah sudah melangkah pergi ke kamarnya, meninggalkanku dalam kehampaan yang semakin menyiksa.

Aku mengumpulkan keberanian dan berjalan mendekati mertuaku. Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah, tapi aku harus mengatakannya.

"Ayah, Ibu…" suaraku sedikit bergetar, tapi aku tetap berusaha tegas. "Aisyah dan anak-anak akan tetap tinggal di sini sampai masa iddah selesai."

Ayah Aisyah menatapku tajam, sorot matanya penuh ketidakpercayaan. "Kamu masih berani bicara seperti itu setelah semua yang kamu lakukan?" suaranya dingin, penuh kekecewaan.

"Aku tahu aku salah, Yah," aku menghela napas, mencoba meredam emosi. "Tapi sesuai hukum, seorang istri yang diceraikan harus tetap tinggal di rumah suaminya sampai masa iddah selesai."

Ibu Aisyah mendesah panjang, lalu menatap putrinya. "Aisyah, kamu yakin mau tetap di sini?"

Aisyah mengangguk pelan. "Aku hanya menjalani apa yang memang sudah menjadi aturannya, Bu."

Ayahnya masih terlihat tidak setuju, tapi akhirnya ia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah. Tapi dengar, Reza," suaranya tegas. "Kami tetap akan mengawasi. Jangan sampai ada hal yang membuat Aisyah semakin terluka."

Aku mengangguk. "Aku mengerti, Yah. Aku janji nggak akan membuat semuanya semakin sulit."

Aisyah tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya berdiri di samping ibunya dengan ekspresi datar, seolah semua ini tidak ada artinya baginya. Dan itu lebih menyakitkan daripada kemarahannya.

Setelah itu, mereka berpamitan untuk pulang. Aku mengantar mereka sampai ke depan rumah, melihat mobil mereka perlahan menjauh. Saat aku kembali masuk, Aisyah sudah tidak ada di ruang tamu.

Aku menghela napas panjang, menatap ke sekeliling rumah yang terasa begitu hampa. Biarlah aku egois kali ini. Biarlah Aisyah tetap di sini, walau hanya sebentar. Aku belum siap kehilangan sepenuhnya… meski aku sadar, mungkin di hatinya aku sudah bukan siapa-siapa lagi.

Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang menggelayuti dadaku. Suasana di ruang tamu terasa begitu hening setelah kedua orang tua Aisyah pergi. Kini hanya ada kami berdua, duduk berseberangan dalam diam yang begitu menekan.

Aisyah masih dengan ekspresi dinginnya, seolah tembok tak kasat mata berdiri kokoh di antara kami. Aku tahu, aku salah. Aku paham kenapa dia bersikap seperti ini. Dan sekali lagi, aku benar-benar menyesal.

"Aisyah..." Aku memanggilnya pelan, berharap dia mau menoleh atau setidaknya merespons. Tapi yang kudapatkan hanyalah kebisuannya.

Aku menggigit bibir, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku benar-benar minta maaf."

Tak ada jawaban. Aku menghela napas lagi. Mungkin aku pantas menerima ini. Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. "Aku tahu, kata maaf saja tidak cukup. Tapi aku benar-benar menyesali semuanya, Aisyah. Aku tidak bermaksud menyakitimu."

Perlahan, Aisyah mengangkat wajahnya. Sorot matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit kutafsirkan—kemarahan, kekecewaan, atau mungkin... luka?

"Maaf?" Suaranya akhirnya terdengar, tapi nadanya begitu datar. "Kamu pikir semua bisa selesai hanya dengan kata maaf, Reza?"

Aku menelan ludah. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Yang kutahu, aku tidak ingin kehilangan Aisyah.

“Jangan bicara lagi kepadaku, Reza. Kita sudah bukan suami istri lagi.”

Suara itu datar, tapi penuh ketegasan. Aku menatapnya, berharap ada sedikit keraguan di matanya, tapi yang kudapati hanyalah keteguhan yang dingin.

"Tapi aku belum mengucapkan talak, Aisyah," suaraku bergetar, nyaris seperti bisikan.

Aisyah menghela napas, lalu menatapku dengan sorot mata yang membuatku semakin tenggelam dalam rasa bersalah. "Ucapanmu, sikapmu, semuanya sudah cukup, Reza. Aku tidak butuh kata-kata itu untuk tahu bahwa semuanya memang sudah berakhir."

Aku merasakan dadaku semakin sesak. Sesakit ini kah perasaan Aisyah karena ulahku? Seberapa dalam luka yang telah kutorehkan hingga ia bisa berkata seperti itu tanpa ragu sedikit pun?

Aku ingin berkata sesuatu, ingin membantah, ingin meminta kesempatan. Tapi bibirku kelu. Aku sadar, mungkin aku sudah terlambat.

1
Ambo Nai
silaras pelakor sok bijak.pelakor murahan.
Arin
/Heart/
Arin
Sokor.....
Arin
Sudah nikmati saja pilihanmu sekarang Reza..... Apalagi didukung kedua orang tua mu. Manjakan istri barumu kan dirimu punya duit. Menikah kedua saja orang tuamu sudah membedakan dengan pernikahan pertamamu. Tapi nanti jangan menyesal jika istri keduamu tidak seperti yang kamu inginkan
Arin
Biar-biar dia menyesal Raka. Reza kan cuma nurut sama kedua orang tua nya. Tanpa memikirkan perasaan istrinya....... sakit
Arin
Makanya jangan sekali2 mengusik seorang istri dengan izin untuk poligami. Kalau aku di kayak gituin sih terus terang bilang..... Silahkan jika ingin menikah lagi aku izinkan, tapi syaratnya ceraikan aku.

Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
Sri Rahayu
Luar biasa
martina melati
terima kasih thor atas karyamu ini. tetap semangat berkarya y.

mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/
martina melati
menyesal kemudian tiada guna
martina melati
gk usah menghargai orang, sama menantu aplg cucu perempuan aja gk sayang... mauny sm cucu laki2 aja
martina melati
astagaaa... nih yg perlu diobati ibuny reza, terlalu obsesi cucu laki2
martina melati
turut prihatin y...
martina melati
maksudny? syndrom 1000wajah?
martina melati
br komen nih... pdhl drpd nikah cari istri br jaman skrg canggih bisa program bayi dg jenis kelamin.
martina melati
astagaaaaa
martina melati
bgm jika lahiran nti bayi perempuan y
martina melati
kasihan nti jabang bayiny lahiran bisa ngileran krn bumil ngidam gk ksampean
martina melati
jd suami bukanny mengerti malah mengintimidasi
martina melati
bahaya nih... bisa mengganggu perkembangan janin jika bumil stress ato depresi
martina melati
bukan lupa lagi... tp benar2 sdh lupa, malah pergi keluar dari rumah ktimbang berjumpa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!