Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1 (Makan-Makan)
“Guys, guys!” seru Andin dengan semangat yang membara. Suara lantangnya menggetarkan suasana kelas yang mulai lengang setelah jam terakhir berakhir. Andin berdiri di tengah kelas, wajahnya ceria, dan senyumnya lebar, menarik perhatian teman-temannya yang masih sibuk mengemasi barang-barang mereka.
“Gimana kalau kita makan-makan buat merayakan kemenangan kita? Akhirnya kita semua bisa lewatin semester ini dengan baik!” lanjut Andin, suaranya penuh antusiasme. Ia memandang satu per satu temannya, berharap ada yang setuju dengan ide briliannya itu.
“Wah, boleh juga tuh. Tumben, Din, ide lo bagus!” jawab Radit dengan nada menggoda. Anak itu bersandar santai di bangkunya, memandang Andin dengan senyum nakal.
Andin mencibir, matanya menyipit tajam ke arah Radit. “Eh, sembarangan aja lo. Gini-gini gue gak pernah keluar ide yang gak bermutu, kayak—” ucapnya, sengaja melirik ke arah Awan yang duduk di sudut kelas.
Awan, yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, langsung menegakkan badan. “Maksud lo apa, Din? Gue, ha?” tanyanya dengan nada ketus, membuat beberapa teman di sekitarnya menahan tawa.
Andin tertawa kecil, tak gentar sedikit pun dengan respons Awan. “Yaelah, marah lo? Becanda kali, lagi PMS ya lo? Gue cewek aja gak segitunya, tuh.” Matanya memandang Awan dengan tatapan menggoda, berusaha mencairkan suasana.
Suasana kelas mulai riuh. Beberapa siswa cekikikan mendengar pertengkaran kecil itu, sementara yang lain saling melempar komentar. Namun, tiba-tiba, suara lantang terdengar dari sudut ruangan.
“Udah, udah, becanda mulu lo pada. Kalau terus berdebat, kapan kita makannya?” ujar Algar, sang ketua kelas, dengan nada tegas. Tatapan dinginnya menyapu seluruh kelas, membuat semua terdiam seketika.
Algar bukan sekadar ketua kelas biasa. Mantan ketua OSIS itu dikenal karena karismanya yang kuat, pintar dalam pelajaran, dan jago di berbagai cabang olahraga. Di kelas, tak ada yang berani macam-macam kalau dia sudah berbicara.
“Iya, ih! Kapan perginya kalau kalian malah adu bacot gitu,” timpal Sasa dari bangkunya. Gadis berambut panjang itu memutar bola matanya, menunjukkan kekesalan kecil tapi disertai senyum yang membuat suasana jadi lebih ringan.
“Yaudah, jadi kita kemana nih?” tanya Aldrin sambil melipat tangan di depan dada, menatap teman-temannya yang masih sibuk dengan komentar masing-masing.
“Gacoan aja gimana?” usul Clara dengan nada santai. Ia duduk di atas meja sambil memainkan ponselnya, seolah ide itu memang sudah lama ia pikirkan.
“Boleh juga tuh, yang lain gimana?” sambung Sasa, menatap teman-temannya dengan harapan agar mereka setuju.
Satu per satu teman-temannya mengangguk setuju. Kelas mendadak menjadi lebih hidup, percakapan beralih dari adu bacot ke rencana untuk makan bersama. Dengan cepat, mereka mengemasi barang dan beranjak menuju parkiran dengan tawa dan candaan yang masih terus berlanjut.
Sesampainya di parkiran, keramaian khas anak sekolah yang baru pulang terlihat jelas. Beberapa sibuk membetulkan rambut, ada yang berbisik pelan, dan sebagian besar langsung bergegas menuju motor atau mobil mereka masing-masing.
“Al, gue bareng lo, ya?” ajak Sasa, sambil berjalan cepat mengejar Algar yang tengah membuka kunci motor.
Algar menoleh sambil tersenyum tipis. “Boleh dong, sayang,” jawabnya santai, dengan nada yang membuat beberapa orang di sekitar mereka melirik.
Aldrin, yang tengah berdiri tak jauh dari situ, langsung berseru keras, “Terusss… pacaran kagak, ngomong sayang iya!” Ucapannya sukses mengundang gelak tawa teman-teman yang mendengarnya. Algar dan Sasa, dua sahabat sejak kecil itu, memang sering kali terlihat lebih mesra daripada kebanyakan pasangan di kelas mereka.
Seluruh kelas tahu betul kalau keduanya hanya sebatas sahabat. Tapi sikap Algar yang selalu protektif, dan Sasa yang selalu nyaman berada di dekatnya, membuat banyak yang salah paham. Setiap kali ditanya, Algar selalu menjawab dengan santai, “Gue udah anggap Sasa kayak adik gue sendiri.” Namun, saat pertanyaan yang sama dilemparkan ke Sasa, ia hanya tersenyum kecil, menaikkan alis dan bahunya seolah menegaskan, “Ya, begitulah.”
Suasana parkiran semakin riuh. Gelak tawa teman-teman semakin pecah mendengar komentar Aldrin yang terkesan ‘kejam’ itu. Sasa dan Algar hanya bisa saling pandang, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum maklum.
“Woy, udah-udah, ketawa mulu lo pada! Jadi mau makan di mana nih? Ke Gacoan yang biasa aja, mau nggak? Deket sekolah juga,” Clara tiba-tiba berseru, mencoba menghentikan keributan kecil itu. Dia memandang teman-temannya satu per satu, mencari persetujuan.
Clara, yang dikenal sering nongkrong di Gacoan bersama Sasa dan Andin, mengusulkan tempat favorit mereka bertiga. “Tempat langganan kita aja gimana?”
Setelah Clara berbicara, perhatian seisi parkiran tertuju padanya. Beberapa orang langsung mengangguk setuju, sementara yang lain menggumamkan persetujuan dengan suara setengah malas. “Boleh lah,” kata salah satu cowok, diikuti oleh suara-suara setuju lainnya.
Akhirnya, setelah kesepakatan tercapai, rombongan kelas itu bergegas menuju Gacoan. Gelak tawa dan canda masih terdengar di sepanjang perjalanan, menambah warna dalam persahabatan mereka yang kadang lebih ribut dari sekedar obrolan biasa.
Sesampainya di Gacoan, mereka langsung berhamburan mencari tempat duduk. Suara deru mesin motor yang baru saja mereka parkirkan masih terdengar samar di kejauhan. Beberapa dari mereka duduk santai di kursi, sementara yang lain pergi memesan makanan. Riuh tawa dan obrolan ringan mengisi udara, menciptakan suasana yang hangat meski AC di dalam ruangan menyala kencang.
Setelah menunggu beberapa menit, meja mereka pun penuh dengan piring-piring yang menggoda: 17 porsi mi pedas yang berwarna merah menggugah selera, pangsit goreng renyah yang tersusun rapi, dan es teh manis yang dingin berembun. Kombinasi aroma pedas dan gurih menggantung di udara, memancing liur bagi siapa pun yang berada di dekatnya.
Suasana meja semakin ramai. Beberapa siswa mulai mengobrol dan bercanda, sedangkan beberapa siswi sibuk menata piring dan minuman, mencari angle terbaik untuk memotret makanan mereka. Suara ponsel yang dijepret dan notifikasi kamera terdengar bertubi-tubi.
“Ntar, jangan dimakan dulu, ya!” seru Clara, mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. Ia mengarahkan kameranya ke meja, mencoba menangkap setiap detail makanan yang tertata. Tangan Clara dengan cekatan menggeser gelas dan piring agar foto terlihat lebih menarik. Cowok-cowok yang sudah lapar hanya bisa pasrah, menunggu aba-aba makan yang tak kunjung datang.
“Wan, fotoin kita, dong!” pinta salah satu cewek dengan suara manja, sambil menunjuk kelompok mereka yang sudah siap berpose. Awan, yang tadinya sudah siap menyantap mi pedasnya, terpaksa menunda keinginannya dan berdiri. Dengan sigap, ia mengambil ponsel, bersiap menjadi fotografer dadakan.
Cowok-cowok lain cuma bisa menahan tawa melihat tingkah Awan yang seperti fotografer profesional, memiringkan sedikit ponselnya untuk mendapatkan angle terbaik. “Senyum, tiga, dua, satu...” klik! Satu jepretan berhasil diabadikan. Namun, foto pertama tentu saja tak pernah cukup. Cewek-cewek itu sibuk mengecek hasil foto dan, tak puas, mereka berpose ulang.
Sementara para cewek sibuk dengan sesi fotonya, cowok-cowok memanfaatkan kesempatan itu dengan cepat menyambar sumpit, menyantap mi yang sudah lama mereka incar. Beberapa dari mereka tertawa cekikikan, merasa beruntung karena bisa makan lebih dulu.
Setelah merasa cukup puas dengan hasil foto, para cewek pun akhirnya duduk bergabung, ikut menyantap makanan yang masih mengepul di atas meja. Obrolan tentang sekolah, guru-guru yang menyebalkan, dan rencana liburan mulai terdengar bersahut-sahutan. Tawa dan canda terus menghiasi siang itu, membuat suasana semakin meriah.
Waktu berjalan cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 16.15, menandakan mereka sudah lebih dari dua jam nongkrong di Gacoan. Satu per satu mulai beranjak, berpamitan dengan yang lain karena beberapa dari mereka sudah ditelepon orang tuanya untuk segera pulang.
Hari itu, momen-momen kecil seperti ini terasa begitu berharga. Di antara tumpukan piring kosong dan gelas berembun, ada tawa, cerita, dan kenangan yang terukir. Mereka tahu, kebersamaan seperti ini tak akan selamanya ada, tapi setidaknya, mereka punya hari ini—satu hari penuh tawa dan mi pedas yang tak terlupakan.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.