Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjebol Istriku
Lampu weser menyala, terus berkedip sehingga menimbulkan bunyi sejak tadi. Perlahan mata gadis itu terbuka.
Ketika Laras bangun dari tidurnya, ia tidak melihat suaminya. Kemudi mobil kosong. Ketika Laras menegakkan tubuhnya bersandar ke kursi, Pria itu langsung terlihat, Ali menelfon seseorang di bawah pohon.
Tetapi, perhatian gadis itu teralihkan dengan sesuatu yang unik. “Eung? Rumah apa ini?” Laras mengucek matanya. “Rumah Adat Honai?”
Rumah mungil dengan lingkaran kerucut seperti jamur sebagai atap pelindung. Berbahan dasar kayu dan jerami. Tak ada jendela hanya ada satu pintu.
Senyuman Laras mengembang. Ketika ia turun, ada dua ruangan khusus di belakang. Satu adalah wc, satunya lagi adalah dapur. Sepertinya, sengaja dibangun secara terpisah antara tempat tidur dan yang lainnya.
“Hmmm …, kenapa Mas Al ajak aku wisata ke tempat ini?” Dengan senang hati gadis itu mengeluarkan ponselnya. Menjepret sana-sini. “Bagus banget aku up di instagram, aesthetic.”
Sementara itu, Aliando dengan wajah lelah dan kesal segera menuju mobil. Dirinya habis membantah, Ali memilih untuk menyewa rumah lain saja yang dekat dengan rumah sang Kapolda.
Tapi, ia segera berkeliling mencari Laras ketika gadis itu hilang dari dalam mobil. Ali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. “Baru ditinggal bentar malah hilang? Apa dia diculik?”
Namun, kekhawatiran itu segera sirna sebab Ali tengah melihat gadis itu asyik mengambil gambar.
Aliando nampak ragu-ragu berinteraksi, polisi itu berdeham. Laras sadar akan kedatangannya.
“Asyik banget ya kalau bisa nginap di sini,” ujar Laras, kedua matanya seperti bulan sabit, ia tersenyum riang.
Kening Ali mengernyit. “Apa? Mau tinggal di sini?”
Laras pun mengangguk. “Hmmm, kalau bisa, sih. Tapi …, ini, ‘kan tidak bisa ditempati sembarang orang.”
“Bisa, ‘kok, kalau kamu mau,” jawab Ali cepat.
“Mang eak?”
Ali mengangguk. “Ya. Ini salah satu rumah adat milik bosku.”
Mata Laras melebar, seperti ada sinar yang keluar dari manik matanya. Ia memeluk Aliando erat. “Wah … luar biasa! Ini seperti sedang melangsungkan acara My Trip My Adventure!”
My Trip matamu, Laras …, Aku ke sini untuk menjalankan tugas sebagai supir pribadi Pak Kapolda. Sebagai Intel, aku merasa tidak berguna. Tapi …, aku pun memiliki satu rencana bagus selama bertugas di sini.
“Jadi …, ada kasur, ‘kan, di dalam.”
“Ya.” Ali menarik lengan gadis itu masuk ke dalam rumah. Penerangan masuk lewat cela lubang kecil. “Jika malam hari, pasti akan gelap. Serius mau tinggal di sini?”
Rambut panjang terurai gadis itu bergoyang, mengangguk semangat saking senangnya.
Ali menghela napas panjang, “ya sudah. Aku keluarkan barang dulu.”
“Tunggu.” Laras menahan tangan pria itu. “Serius kasurnya cuma satu?” Mata gadis itu membola.
“Memang kenapa?”
“Kamu nanya, Mas?”
“Loh …, bukannya kita suami istri? Bosku tahu kalau aku sudah menikah, Laras.” Tanpa perduli dengan wajah kusutnya Laras, Ali segera pergi mengambil barang, dalam perjalanannya, pria itu tersenyum bahagia.
Akhirnya aku bisa berdua saja denganmu …. Tak perlu canggung lagi.
***
Setelah Ali bantu beres-beres. Mereka pun sangat kelelahan. Setelah mandi dan makan malam. Aliando sejak tadi sudah memasang dua buah pelita.
Hanya ada bayangan mereka berdua di dalam rumah kecil itu. Laras sedang bermain ponsel di atas kasur. Sementara Ali tengah sibuk memandangi Laras, sejak tadi pesan dari Prass masuk tapi dia tidak mau peduli.
“Laras ….”
“Eum?” tanpa Laras berbalik, masih sibuk dengan ponselnya.
“Mas, ngantuk.”
“Ya sudah …, sana tidur.”
“Kamu tolong minggir sedikit.”
Ketika itu, Laras melirik. Pelan-pelan ia menggeser pantatnya. Guling pun ia taruh di tengah. “Jangan lewati batas ini, paham?”
Aliando tersenyum, “baiklah ….”
Krekkk!
Suara dari ranjang terdengar, agak reot rupanya. Ali berbaring menghadap Laras, mata pria itu tertuju fokus pada wajah gadis itu.
Laras pun sadar jika sejak tadi, Aliando terus memandanginya. Gemuruh guntur pun terdengar. Hujan turun dengan cepat. Laras menghela napas berat.
“Kenapa? Kamu takut?” tanya Ali tiba-tiba.
“Gak bobo, Mas?” Laras memeluk lututnya.
“Mana bisa …. badanmu gemeteran gitu.”
“Laras … takut.”
“Sama?”
“Guntur.”
Ali bangkit, meraih pinggang Laras. Ia peluk wanita itu. “Ngapain takut? Ada Mas di sini yang jagain kamu.”
Hujan kian turun deras. Suara angin terdengar kencang dari luar.
“Gak badai ini, ‘kan?” cemas gadis itu meremat paha Ali.
“Gak badai, ‘kok.”
Sepertinya tubuhku yang badai, Laras …. kamu harus tanggung jawab. Kenapa aku bisa sehaus ini? Aku …. Aku turn on!
“Perut Laras sakit.” Gadis itu memegang perutnya, mengeluh.
Ali mengambil minyak gosok. Ketika Laras hendak meraihnya, Aliando malah mencengkram kuat botol itu.
“Loh, ‘kok?”
“Kamu rebahan saja. Biar Mas yang bantuin gosok.” Aliando mendorong pelan bahu gadisnya. Ia buka tutup botol minyak tawon itu. Napasnya terasa tercekat ketika tangannya mulai berani masuk di balik baju tidurnya Laras.
Kening Laras mengernyit. “Mas ….”
“Ya?”
“Kok, Geli ….”
Aliando tak menjawab apa-apa lagi, pikirannya menjadi kosong. Perut Laras terasa begitu hangat. Untuk pertama kalinya Aliando menyentuh bagian tubuh wanita. Meski sudah pernah berciuman, rasanya sama sekali tidak membuat adik kecilnya bangkit. Tapi, kenapa saat bersama Laras, ia turn on!
Semakin naik tangan besar itu mengusap hingga ke tengah dada. Aliando sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan apa pun terhadap Laras. Toh, gadis ini adalah istrinya.
Laras menutup matanya erat. Ia mengigiti bibir bawahnya. Gadis itu jelas tidak tahu apa maksud dari perlakuan Aliando. Laras polos … benar-benar polos.
Tangan besarnya Ali perlahan menuju belakang si Gadis. Seperti diarahkan secara otomatis. Aliando membuka pengait bra gadis itu.
Wajah Ali pun mendekat, semakin terasa hangat dan hangat. Napas mereka saling beradu. Mata Laras masih tertutup rapat. Ketika Ali mulai menyentuh jeruk nipisnya Laras, ia tekan dengan lembut, dada gadis itu tersentak ke atas.
Matanya terbuka lebar. “Mas …, apa yang kamu lakukan?” tanya gadis itu lirih.
“Sedang mencintaimu.”
“P, maksud? Laras gak ngerti.”
“Nanti juga paham.” Ali tidak berhenti menjalankan aksinya. Minyak tawon itu ia lemparkan ke bawah tidak perduli jika isinya habis tertumpah.
Berbagai macam cara ia lakukan agar gadis di bawahnya menjadi basah. Meski Aliando belum pernah melakukan hal macam itu, dia tetap mengerti harus bagaimana.
Ketika tangannya mulai menyusup nakal masuk ke balik celana Laras, wanita itu merintih nikmat.
“Hentikan.” Laras meremas lengan pria itu.
Namun, Aliando tidak akan berhenti. Sudah sejauh ini ia melangkah, mana mungkin mau berhenti?
Kedua jari panjangnya pelan menelusup masuk ke dalam goa surgawi. “Ini sudah sangat basah, Laras.” Bisik Aliando ke telinga si Gadis.
Kedua kaki Laras terus bergerak menendang ke bawah, sprei menjadi acak-acakan.
“Laras …, karena aku sudah manjakan kamu di awal, sekarang waktunya kamu membalasku.”
Riuh irama hujan membekap suara-suara indah penuh keromantisan di dalam sana.
Sreeettt!
Suara sobekan terasa begitu sakit bagi Laras, meski pria di atasnya sudah sangat pelan melakukan aksinya.
Air mata gadis itu keluar, semakin erat ia memeluk Aliando. Diluar hujan tapi mereka kepanasan.
Ketika Laras terus berteriak dan mengigit bibir bawahnya, Ali memasukkan jempolnya ke dalam mulut istrinya. “Gigit saja, aku sangat khawatir jika bibirmu berdarah.”
Malam panjang dalam rumah Honai, saksi dari sebuah pelepasan membahagiakan. Kini, Laras terbaring lemah dalam pelukan Aliando. Bekas merah terbentuk di atas sprei. Ada rasa bangga yang menyelimuti hati Polisi Intel itu.
Pertama kali dalam hidupnya tertidur dalam kondisi penuh kenyaman. Besok, ketika pagi menyapa, Aliando akan mengungkapkan identitasnya pada Laras, istri mungilnya yang berhasil membuatnya gila setengah mati.