"Aku pikir kamu sahabatku, rumah keduaku, dan orang yang paling aku percayai di dunia ini...tapi ternyata aku salah, Ra. Kamu jahat sama aku!" bentak Sarah, matanya berkaca-kaca.
"Please, maafin aku Sar, aku khilaf, aku nyesel. Tolong maafin aku," ucap Clara, suaranya bergetar.
Tangan Clara terulur, ingin meraih tangan Sarah, namun langsung ditepis kasar.
"Terlambat. Maafmu udah nggak berarti lagi, Ra. Sekalipun kamu sujud di bawah kakiku, semuanya nggak akan berubah. Kamu udah nusuk aku dari belakang!" teriak Sarah, wajahnya memerah menahan amarah.
"Kamu jahat!" desis Sarah, suaranya bergetar.
"Maafin aku, Sar," bisik Clara, suaranya teredam.
***
Mereka adalah segalanya satu sama lain—persahabatan telah terjalin erat sejak memasuki bangku kuliah. Namun, badai masalah mulai menghampiri, mengguncang fondasi hubungan yang tampak tak tergoyahkan itu. Ketika pengkhianatan dan rasa bersalah melibatkan keduanya, mampukah Clara dan Sarah mempertahankan ikatan yang pernah begitu kuat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22. Kelakuan Grace
Keesokan paginya, matahari bersinar cerah seperti biasanya. Udara cukup terik, dan Mama Sarah telah menyelesaikan setumpuk cucian—pakaiannya dan pakaian Sarah. Sarah usai mandi dan berdandan, mengendong tasnya, menunggu Clara di ruang tamu.
Pagi ini mereka ada kelas di kampus dan biasanya Clara selalu datang untuk menjemputnya, tanpa ia minta atau mengirimkan pesan. Tiba-tiba datang dan mengetuk pintu. Itulah Clara.
Tapi ini sudah hampir memasuki jam masuk kampus, sementara Clara belum juga muncul. Sarah mencoba menghubunginya, namun ponsel Clara sibuk, sedang berada di panggilan lain. Lalu pesan dari Clara muncul di layar.
Clara love❤️
"Sar, maaf ya hari ini kamu berangkat sendiri dulu. Aku mau berangkat sama Antonio, dia lagi OTW ke sini."
Hanya itu pesan yang Clara kirimkan, setelahnya nomornya terlihat offline tanpa menunggu Sarah untuk membalasnya. Sarah hanya menghela nafas, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia berdiri, menghampiri mamanya yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang.
"Ma, Sarah berangkat ya," pamit Sarah setelah tiba di halaman belakang, di mana Mamanya masih sibuk menjemur pakaian.
Mamanya langsung berhenti, meletakkan jemurannya kembali ke bak di tanah. Ia berbalik, tersenyum hangat, lalu mengangguk perlahan. Ia mengulurkan tangannya dan Sarah mencium punggung tangan Mamanya dengan lembut.
"Hati-hati ya," pesan mamanya, lalu menoleh ke belakang tubuh Sarah. "Clara mana? kamu berangkat sama dia kan?" tanyanya. Biasanya Sarah selalu berangkat dengan Clara, itulah yang mamanya tahu. Tapi...
Sarah menggeleng, senyum masih mengembang di bibirnya, namun sorot matanya berkata lain. "Aku berangkat sendirian, Ma," jawabnya.
Mamanya mengerutkan keningnya, heran. "Kenapa? bukannya setiap hari kalian berangkat ke kampus bareng ya? Kok tumben banget kamu berangkat sendiri? Clara ke mana? dia sakit dan nggak masuk kampus?" tanya mamanya beruntun.
Dengan cepat Sarah menggeleng, senyum masih mengembang di bibirnya. "Mama jangan bilang gitu, nggak baik," ujarnya lembut.
"Lah terus kalau bukan itu Clara ke mana, tumben dia nggak jemput kamu ke sini? biasanya kayak gitu kan?" tanya mamanya
"Iya, hari ini... Clara sibuk, kita berangkat sendiri-sendiri. Ya udah, Ma aku berangkat dulu ya, keburu telat nanti," jawab Sarah, tidak mau mendengar pertanyaan mamanya lebih banyak lagi yang tentunya ia bingung untuk harus menjawab apa.
Akhirnya ia memilih untuk segera berangkat, toh juga jam sudah sangat mepet, sementara ia masih berada di rumah dan harus menunggu angkot di depan.
Mamanya mengangguk, mengantar Sarah sampai depan pintu. Ia melambaikan tangan saat Sarah berjalan menjauh, hingga sosok putrinya lenyap di balik tembok rumah tetangga.
Sementara itu di kampus, kedatangan Clara dan Antonio menyita perhatian. Aura kebahagiaan dan kemesraan mereka begitu terasa.
Begitu keluar mobil, tangan mereka sudah bertaut erat. Para mahasiswa di sekitar terperangah melihat kemesraan itu, berbisik-bisik dan berseloroh—ada yang memuji kecocokan mereka, ada pula yang tak senang, bahkan sampai menghujani Clara dengan makian karena dianggap merebut Antonio.
Antonio dan Clara melangkah memasuki lobi utama, hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu kelas Clara. Antonio mengantarkan Clara sampai ke depan kelasnya.
"Belajar yang rajin ya, nanti setelah selesai kabarin aku. Aku cuma ada satu kelas pagi ini," ujar Antonio, tangannya lembut membelai pipi Clara. Clara tersenyum manis, mengangguk malu-malu—lucu sekali, seperti anak kecil.
"Aku masuk ya, dadahh Sayang! Muacchh!" Clara memberikan kiss bye kepada Antonio sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kelasnya. Antonio masih menatap punggung Clara hingga gadis itu menghilang di balik pintu, barulah ia berbalik dan menuju kelasnya sendiri.
Di luar gerbang kampus, Sarah baru saja tiba. Setelah membayar ongkos kepada kenek angkot, langkahnya langsung terburu-buru menuju gedung kuliah. Kelas tinggal beberapa menit lagi dimulai, dan ia baru sampai.
"Aduh lari gini capek juga ya. Biasanya kan aku selalu bareng Clara, sementara ini harus nunggu dia dulu tapi dia nggak datang-datang. Semoga nggak telat deh," gumam Sarah, sambil terus melangkah cepat di jalan beton menuju ke gedung fakultasnya berada.
Tapi...
"Hmm, sendirian aja nih?" Suara perempuan yang sangat menyebalkan bagi Sarah terdengar di belakangnya, membuatnya tersentak. Sarah menghentikan langkahnya dan berbalik.
Di sana berdiri Grace, tangan terlipat, menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh penghinaan. Senyum tipisnya yang menyiratkan kepuasan jahat, terpatri di bibirnya.
Lesung pipitnya yang biasanya terlihat manis kini tampak mengancam. Langkah Grace pelan tapi pasti, hingga ia berdiri tepat di depan Sarah, tubuhnya sedikit membungkuk, seakan ingin menelan Sarah hidup-hidup.
"Clara mana? tumben banget datang nggak sama dia? biasanya aja pergi kemana-mana bareng, nempel terus kayak perangko. ini tumben sendirian? kenapa? Clara udah nggak mau temenan lagi sama Lo, ya? kasihan banget deh, nggak punya temen sekarang."
Grace lalu menjauhkan tubuhnya dari Sarah setelah selesai mengatakan itu. Wajahnya terlihat menyebalkan sekali. Sungguh, Sarah benci sekali melihatnya.
Wajah Sarah memerah, tangan mengepal erat. "Bukan urusan Lo!" suaranya meninggi, tajam.
Grace terkekeh kecil melihat emosi Sarah. Ia menggelengkan kepala, senyum miring terukir di bibirnya—seperti baru saja menyaksikan sesuatu yang lucu. Tawa kecilnya terdengar, menambah rasa jengkel Sarah berlipat ganda.
"Sarah Sarah, kasihan banget sih lo. Udah miskin, nggak punya pacar, terus punya temen satu ngilang lagi. Hahaha, miris banget sih hidup lo.
Mau nih gue kasih sumbangan, hmm? atau mau gue cariin pacar aja biar ada yang nemenin? gue punya banyak kenalan ganteng tahu, mungkin salah satu dari mereka ada yang mau sama Lo yang kismin plus mukanya pas-pasan gini," ejek Grace sembari menatap Sarah dari ujung rambut hingga kaki dengan pandangan meremehkan.
"Atau Lo mau gue cariin om-om aja? Gue ada kenalan om-om tahu, orangnya cukup berotot, ganteng, terus rajin olahraga gitu. Bolehlah kalo seumpama ehemm di hotel lama, nggak keluar-keluar. Eh, tapi Lo doyan esek-esek nggak? Jangan-jangan Lo udah ahli lagi. Wahh, gue curiga nih, di luar sana Lo pasti udah punya pacar om-om tuwir gitu, kan? hahaha," lanjutnya, lalu tertawa lepas.
Sarah semakin tajam menatap Grace, kedua tangannya mengepal erat, kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga memerah. Wajahnya putih bersih, namun matanya menyala dengan api kemarahan yang jarang terlihat.
Ia jarang marah, tetapi saat itu, Grace sudah sangat keterlaluan. Dia dengan sadar menghin4nya, merendahkannya, membuat darahnya mendidih. Ia sudah muak dengan kelakuan Grace.
"Banyak bac0t Lo! pergi sana! Gue sibuk, mau ada kelas!" Sarah berbalik, hendak pergi, tapi Grace dengan cepat menarik tangannya.
"Dih, sini ngomong baik-baik juga malah sewot. Gue masih baik loh mau bantuin Lo, eh situ malah marah-marah, dasar gaje. Dah ah, mending pergi aja, nggak guna juga gue ngomong sama perempuan freak kayak Lo. buang-buang waktu gue aja. Huh!"
Grace menghempaskan tangan Sarah dengan kas4r, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Sarah sendirian. Langkahnya menjauh, menuju lantai atas gedung fakultasnya berada.
Setelah Grace pergi, Sarah berbalik dan ikut pergi. Jam sudah sangat mepet, tinggal dua menit lagi! Langkahnya terburu-buru hingga akhirnya ia sampai di kelas dan masuk.
Di dalam ia mendapati Clara sudah duduk di tengah-tengah di samping beberapa mahasiswi lain. Ia tengah bercengkrama asyik dengan mereka.
Melihat di samping Clara masih ada tempat kosong, Sarah melewati beberapa mahasiswa dan mahasiswi, lalu duduk di samping Clara. Clara belum menyadari kedatangan Sarah, Ia masih asik berbincang dengan mahasiswi di sampingnya.
"Ra, udah dari tadi?" sapa Sarah, setelah ia meletakkan tasnya. Clara menoleh, baru menyadari kehadiran Sarah. Senyumnya masih merekah, semakin lebar saat melihat Sarah.
"Eh, kamu baru dateng? Gimana perjalanannya tadi?" tanya Clara, ceria seperti biasanya. Ia menepuk tangan Sarah, hangat dan ramah.
"Tadi, aku sempet nungguin kamu di rumah, tapi ternyata kamu malah berangkat sama Antonio," jawab Sarah, wajahnya terlihat masam, bibirnya manyun.
Clara sedikit tersentak, matanya membola. "Oh, maaf, Sar! Tadi Antonio langsung telpon aku dan ngajak berangkat bareng, akhirnya ya aku bilang oke dan kita berangkat bareng. Maaf ya, Sar udah bikin kamu nunggu lama," ujarnya, suaranya penuh penyesalan.
"Ya udah, nggak papa, aku ngerti kok. Aku bisa berangkat sendiri," jawab Sarah, berusaha tersenyum, meskipun itu sedikit di paksakan.
Clara menatap Sarah dengan mata penuh empati. "Tapi, kamu baik-baik aja, kan? Nggak ada yang ngeganggu di jalan? Maksudku, kamu tahu kan, ada beberapa orang yang suka bikin masalah."
Sarah mengangguk, meski pertemuannya dengan Grace beberapa saat yang lalu masih membekas di pikirannya. "Iya, aku baik-baik aja kok, kamu nggak usah khawatir."
Clara mengangguk, tetapi Sarah bisa melihat kecemasan di wajah sahabatnya. "Kalau ada masalah, bilang aja, ya. Aku nggak mau kamu merasa sendirian," Clara berkata lembut.
"Meskipun aku udah ada pacar sekarang, aku tetaplah Clara sahabat kamu," lanjutnya.
"Tenang aja, Ra. Aku baik-baik aja kok. Nggak ada yang perlu di khawatirkan. Udah ah, jangan khawatir gitu, kamu tahu kan kalau aku ini orangnya mandiri? Aku udah biasa kemana mana sendiri, Ra, itu bukan masalah," jawab Sarah, berusaha meyakinkan Clara.
Sebelum Clara bisa menjawab, dosen mereka masuk ke dalam kelas, memecah suasana. Sarah dan Clara segera memusatkan perhatian pada pelajaran, tetapi pikiran Sarah tetap melayang kembali pada pertemuan singkatnya dengan Grace.
Bersambung ...