"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan genangan air di luar gudang tua yang terkunci rapat. Di dalam, hanya ada kegelapan dan dingin yang menusuk. Pintu gudang terbuka dengan kasar, dan seorang bocah laki-laki dilempar masuk ke dalam kegelapan. Zavin terjatuh dan meringis kesakitan, tapi cepat-cepat dia bangkit dan melihat sekeliling. Hanya ada satu sumber cahaya dari kaca kecil di atas jendela yang tertutup rapat.
"Siapa nama kamu?" tanya Zavin setelah matanya menangkap sosok kecil yang tersandar di pojok ruangan. Gadis kecil itu menangis dan bahunya terguncang oleh isak tangis yang tertahan.
"Viola," jawabnya dengan suara parau, menatap Zavin dengan mata penuh air mata. "Kakak siapa?"
Zavin mendekatinya perlahan dan berusaha tidak menakuti gadis itu. "Zavin," jawabnya, mencoba tersenyum walau hatinya sama takutnya. Ia duduk di sebelah Viola, meletakkan tangannya pelan di bahunya yang gemetar. "Jangan takut, aku di sini."
Viola mengusap air matanya dan mencoba menghentikan isak tangisnya. "Kenapa kita di sini? Aku mau pulang."
Zavin menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang mendera dirinya juga. "Mereka menculik kita dan mungkin minta uang tebusan," jelasnya
"Uang tebusan? Tapi Mama tidak punya uang," kata Viola dengan polos.
Zavin terdiam beberapa saat menatap gadis kecil yang masih berumur lima tahun itu dengan pakaian yang lusuh. "Kita akan keluar dari sini, aku janji."
"Mereka jahat, Kak Zavin," Viola meringkuk lebih dekat, berusaha mencari kehangatan dari Zavin. "Aku dengar mereka bicara kalau aku akan dijual. Memang ada yang mau beli anak-anak?"
Zavin yang sudah berumur sembilan tahun cukup memahami apa yang dikatakan Viola. "Tidak ada. Kita bukan barang. Kamu tenang saja, aku akan menjaga kamu."
Viola mengangguk lemah dan mempercayai bocah laki-laki yang baru ia kenal.
Malam semakin larut, suara hujan di luar menjadi satu-satunya penanda waktu. Zavin dan Viola hanya bisa berpelukan erat, mencoba menghalau dingin. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Zavin memegang erat tangan Viola dan berbisik, "Jangan bersuara."
Pintu gudang terbuka, dan cahaya senter menerobos masuk. Seorang pria tinggi dengan topeng hitam berdiri di ambang pintu. Di tangannya, ia memegang sesuatu yang membuat napas Zavin tertahan. Ya, sebuah ponsel yang sepertinya terhubung dengan kedua orang tuanya.
"Kamu mau bicara dengan orang tua kamu? Jika orang tua kamu tidak ke sini juga, aku akan jual kamu dan anak itu!"
Viola mulai terisak lagi, tapi Zavin memeluknya erat dan menatap pria itu dengan mata penuh keberanian yang ia paksakan. "Papa pasti ke sini. Kita berdua akan keluar dari sini!"
Pria itu tersenyum di balik topengnya dan menyalakan ponsel memperlihatkan waktu di layar ponselnya. "Waktu orang tua kamu untuk membayar hampir habis," katanya dingin. "Jika sampai besok pagi tidak ke sini, kalian tahu apa yang akan terjadi."
Zavin menahan napas, otaknya berpacu mencari jalan keluar. Namun sebelum ia bisa berkata lagi, pria itu menutup pintu dengan keras. Kegelapan kembali menyelimuti mereka.
Viola memeluk Zavin lebih erat, dan Zavin tahu mereka tidak punya banyak waktu. "Kak Zavin..." Viola berbisik, suaranya gemetar. "Apa yang akan kita lakukan?"
Zavin menarik napas dalam dan menatap jendela yang tertutup rapat itu. "Kita akan keluar dari sini."
Zavin memandangi jendela kayu di sudut ruangan yang terkunci rapat. Harapan mereka untuk kabur hanya terletak di sana, di jendela yang telah tertutup begitu lama. Dengan napas yang berat, Zavin mendekati jendela itu dan meletakkan tangannya di bingkainya.
“Viola, aku akan mencoba membuka jendela ini,” bisik Zavin, suaranya tegas meski hatinya diliputi kecemasan.
Viola menatapnya dengan mata yang memantulkan ketakutan. Ia mengangguk pelan, mencoba memberikan semangat pada Zavin.
Zavin menggenggam pegangan jendela dan mulai mendorongnya sekuat tenaga. Jendela itu berderit, menandakan bahwa sudah lama sekali tak dibuka. Butuh tenaga ekstra untuk membuka celah yang cukup agar mereka bisa melarikan diri.
Viola berdiri tak jauh dari Zavin. Dia menggigit bibir bawahnya sambil memandang ke arah pintu, takut penculik itu akan kembali kapan saja.
Ketika Zavin berhasil membuat celah kecil. Ia mendorong lebih keras lagi. Namun, tepat ketika jendela hampir terbuka sepenuhnya, sebuah suara langkah kaki terdengar mendekat dengan cepat.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?!" suara penculik terdengar menggelegar, membuat hati Viola nyaris berhenti berdetak. Pintu terbuka dengan kasar, dan penculik itu langsung menghampiri jendela yang berhasil terbuka. Tanpa ragu, ia menutup jendela itu dengan keras. Hingga daun jendela itu menghantam dahi Zavin.
Zavin terhuyung ke belakang sambil menahan kepalanya. Rasa sakit menyeruak dengan cepat, dan ia bisa merasakan cairan hangat mengalir di dahinya. Tangannya bergetar saat ia menyentuh dahinya dan melihat darah di jari-jarinya.
"Kak Zavin." Viola berlari menghampiri Zavin yang kini berlutut sambil menahan rasa sakit di kepalanya. Air mata mengalir di pipi Viola, suaranya pecah ketika melihat darah yang mengalir dari dahi Zavin. "Kak Zavin, berdarah," katanya dengan isakan yang semakin keras.
"Aku tidak apa-apa, Viola," ucapnya pelan sambil menarik tubuh Viola ke dalam pelukannya. "Jangan menangis. Aku tidak apa-apa." Zavin berusaha menahan rasa sakitnya hingga darah itu berhenti mengalir dengan sendirinya.
Penculik itu menatap mereka dengan tatapan dingin setelah kembali mengunci jendela itu. "Jangan coba-coba melarikan diri lagi!" bentaknya. "Orang tua kalian sudah setuju untuk membayar. Uang sedang dalam perjalanan. Jadi, lebih baik kalian duduk manis di sini dan tunggu."
Zavin tidak merespons, matanya terpejam sambil menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Ia hanya fokus pada Viola dan memastikan Viola tidak semakin ketakutan. Penculik itu mendengus kesal dan keluar dari ruangan, meninggalkan mereka dalam kegelapan.
Malam itu terasa begitu panjang. Zavin duduk bersandar di dinding dengan Viola di sampingnya. Angin malam yang dingin menyusup melalui celah-celah ruangan, membuat tubuh Zavin menggigil. Rasa panas mulai menjalar di tubuhnya, pertanda demam yang datang akibat luka di dahinya. Namun, ia berusaha tetap sadar, menahan semua rasa sakit itu.
“Kak Zavin...,” suara Viola terdengar lirih. Ia bisa merasakan tubuh Zavin yang semakin panas. "Kakak demam..."
Zavin tersenyum lemah, mengusap punggung adiknya dengan pelan. "Tidak apa-apa, Viola," bisiknya. "Kita akan segera keluar dari sini. Percayalah."
Viola memeluk Zavin semakin erat, air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Perlahan, kesadaran Zavin mulai memudar. Pandangannya kabur, dan suara Viola semakin terdengar samar. Meski tubuhnya terasa semakin berat, Zavin tetap memeluk Viola erat. Hingga kegelapan mengambil alih dan Zavin tak sadarkan diri.
"Kak Zavin tidur?" Viola juga memejamkan matanya karena dia kira, Zavin hanya tertidur.
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆
Siapa ya yang berniat jahat ke Viola?