Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*30
Ricky beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Hatinya sedang sangat tidak baik-baik saja. Ada perasaan yang sangat amat tidak nyaman dalam hati.
'Aku sangat yakin kalau pemimpin dari kelompok itu adalah Melia. Tapi, bagaimana mungkin semua bukti malah bicara hal yang berbeda?'
Ricky masih sibuk dengan apa yang sedang dia pikirkan. Ketika kakinya menginjak setengah dari anak tangga penghubung lantai dua, dia baru sadar akan satu hal. Wanita pujaan hati tidak lagi terlihat oleh mata. Sebaliknya, si pengganggu malah langsung meraih lengan Ricky dengan cepat.
"Kak Iky. Apakah masalahnya terlalu besar? Kenapa kok bisa barangnya menghilang?" Citra dengan wajah yang sangat antusias bertanya.
"Bukan urusan kamu. Jadi, tidak perlu kamu pikirkan."
"Tapi, Kak. Aku-- "
"Aku punya banyak urusan sekarang. Lain kali saja kita bicaranya," ucap Ricky dengan sigap menepis tangan Citra.
Setelahnya, kaki pria tersebut berjalan dengan langkah besar menuruni anak tangga. Tentu saja, mata Ricky terus lincah mencari keberadaan Melia.
"Di mana dia?"
"Tuan muda." Fendi yang ada di belakang merasa terpanggil. "Mungkin, dia ... sudah pulang, tuan muda. Tadi, Iyas menghubungi saya untuk mengatakan kalau rencananya, nona muda minta diantarkan pulang sesaat setelah tuan muda masuk ke ruangan tuan muda."
Penjelasan Fendi membuat langkah kaki Ricky langsung terhenti.
"Hubungi Iyas sekarang juga. Aku ingin memastikan apa yang Iyas ucapkan dengan kupingku sendiri."
"Baik, tuan muda."
Fendi langsung melakukan apa yang telah Ricky perintahkan padanya. Menghubungi Iyas dengan cepat untuk mengetahui di mana Iyas berada saat ini.
Saat panggilan terhubung, Fendi langsung menyerahkan ponselnya pada Ricky.
"Tuan muda. Iyas."
Ricky meraihnya dengan cepat.
"Di mana kamu, Iyas?"
"Ka-- kami ... pulang, tu-- tuan."
"Di ... jalan sekarang. Masih di jalan."
Iyas berucap sambil melirik Melia dari kaca mobil.
Melia terlihat acuh. Namun, dia sudah tahu siapa yang sedang menghubungi sopirnya itu. Jadinya, dia mengabaikan apa yang sedang terjadi. Namun, wajah gugup si pria sangat menarik perhatian Melia. Rasa usil dalam hatinya bangkit dengan cepat.
"Siapa, Iyas?"
"No-- nona muda. Ini ... tu-- tuan. Tuan mu-- eh, tuan besar. Itu, papa nona."
"Oh. Papa. Biar aku bicara dengan papaku."
"A-- su-- sudah di putuskan sambungannya, nona muda."
"Oh, ya sudah kalo gitu."
Melia ingin mengerjainya lagi. Tapi, hatinya terlanjur merasa kasihan. Pria itu terlalu gugup sampai keringat jangungnya muncul. Sungguh mengibakan hati.
Wajah Iyas terlihat sedikit lega. Sementara itu pula, di sisi lain, Ricky sedang menatap lekat ponsel Fendi. Kali ini, yang di serang rasa gugup adalah Fendi. Dia takut kalo ponselnya akan bernasib siap jika Ricky mendadak kesal.
Namun, beruntung, sikap gila Ricky tidak keluar. Panggilan yang Iyas putuskan secara sepihak tanpa basa-basi ternyata tidak menarik rasa kesal yang tinggi bagi Ricky. Ponsel itupun Ricky serahkan pada Fendi sekarang.
"Selidiki lagi dengan teliti, Fendi. Malam ini, yang datang beneran pemimpin kupu-kupu hitam atau hanya sekedar penggantinya saja. Aku ingin tahu semua tentang kelompok itu dengan sangat jelas."
Hembusan napas berat Fendi berikan sebelum. ucapan kesanggupan dia lontarkan.
"Huh ... baiklah, tuan muda. Akan saya lakukan tugas dengan sekuat tenaga."
'Aku sampai lupa ini perintah yang ke berapa kalinya dalam bulan ini. Perintah yang sama, tapi hasilnya tidak ada.'
'Ya Tuhan, tuan muda. Kenapa anda selalu lupa bahwa kelompok kupu-kupu malam bukan tandingan kita. Mereka terlalu sempurna untuk mencari celah. Mereka terlalu baik untuk kita cari keburukan.' Keluh Fendi dalam hati.
Sejujurnya, Fendi sangat ingin menyerah dengan tugas itu. Ini adalah tugas pertama yang tidak bisa dia selesaikan. Dalam beberapa bulan terakhir, ini adalah pekerjaan paling melelahkan.
"Tuhan ku .... "
"Fendi."
"Ya, tuan muda."
"Bubarkan semua tamu yang hadir."
"Apa?"
"Haruskah aku ulangi lagi?"
"Ah, tidak tuan muda. Akan saya lakukan."
Fendi langsung menjalankan perintah. Susah payah dia memenangkan hati para tamu undangan. Eh ... ujung-ujungnya berakhir dengan membubarkan juga. Tau gitu, dari tadi dia bubarkan saja semuanya tanpa perlu menahan mereka dengan susah payah.
"Nasib." Fendi bergerak dengan cepat untuk menemui para tamu undangan yang ada di ruangan sebelah.
Sementara itu, Resta yang sejak tadi mencari keberadaan Ricky, sekarang baru melihatnya. Tentu saja wanita itu langsung menghampiri Ricky dengan cepat setelah matanya berhasil menemukan sosok yang sedang dia cari.
"Tuan muda. Apa yang terjadi? Benarkah kelompok kupu-kupu hitam datang mengacau lagi?"
"Hm. Benar."
"Ya Tuhan. Apakah mereka tidak kapok-kapok juga?"
"Tuan muda, saya punya kenalan. Mungkin, mereka bisa tuan muda pakai untuk menghadapi kelompok kupu-kupu malam yang sudah sangat keterlaluan ini."
Ricky langsung menatap lekat wajah Resta.
"Maksud kamu? Kamu punya orang yang bisa melacak keberadaan mereka?"
"Ya. Bukan hanya melacak. Tapi, juga mungkin bisa menghadapi kelompok itu."
"Kakak sepupu saya adalah ketua gengster terkenal. Gagak hitam."
"Gagak hitam?"
Ricky kini baru ingat akan hubungan Resta dengan ketua gengster tersebut. Dilon Dikana.
Seorang pemuda, pemimpin dari sebuah kelompok yang cukup di segani di kota ini. Dia punya nama yang cukup tersohor.
Sebuah pikiran muncul dalam benak Ricky. Mungkin, dia bisa memakai kelompok gagak hitam untuk menemukan kelompok kupu-kupu hitam. Tapi, tidak untuk memberantas mereka. Melainkan, hanya untuk menemukan kebenaran di balik kelompok tersebut.
"Baik. Aku ingin kamu bantu kamu, Resta. Pertemukan aku dengan ketua kelompok gagak hitam secepatnya. Aku ingin bicara secara langsung."
Senyum merekah langsung terukir di bibir Resta. "Siap, tuan muda. Saya akan atur waktu pertemuan secepatnya."
"Hm."
"Aku tunggu kabar baiknya."
"Oke."
"Ah, bagaimana kalau kita makan bersama sekarang, tuan muda? Kebetulan, saya belum makan. Saya yakin, tuan muda juga pasti belum makan. Jadi, ayo makan bersama!"
"Tidak."
"Akh punya urusan yang harus aku selesaikan. Kamu makan sendiri saja."
"Tapi, tuan muda."
"Maaf, Resta. Lain kali, mungkin bisa."
"Oh, baiklah kalau gitu. Maafkan saya, tuan muda. Saya lancang."
"Tidak. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Saya menolak ajakan anda, itu murni karena saya punya banyak urusan. Jadi, saya harap, anda bisa memakluminya."
"Tuan muda. Saya maklumnya."
"Hm."
Baru juga Ricky ingin beranjak. Eh .... Citra malah datang. Wanita itu langsung bergelayutan di lengan Ricky seolah Ricky sangat memanjakan dirinya. Sayangnya, dengan gerakan spontan, Ricky menolak Citra sehingga wanita itu terhuyung dan terdorong. Beruntung, tangan Fendi sigap menahannya dengan cepat.
"Kak Iky. Kamu-- "
"Ah, maaf. Aku kaget. Tidak sengaja."
"Kamu beneran kaget, kak?"
Ini wanita cukup kuat tidak sadarkan diri. Bukannya merasa malu, eh ... malah seolah merasa kalau Ricky memang benar-benar jujur dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Padahal, omongan Ricky barusan hanya sekedar basa-basi saja. Omongan yang Ricky ucapkan agar Citra tidak terlalu malu di depan Resta.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀