Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LEUKEMIA
"Leukemia," gumam Vani dengan mata berkaca-kaca. Kertas yang dibawanya hampir jatuh karena tangannya gemetar hebat. Cobaan apa lagi ini, belum cukupkah selama ini Tuhan memberi cobaan pada keluarganya.
"Leukimia memang penyakit yang bisa dibilang berbahaya, tapi bisa diobati. Salah satunya dengan transplantasi sumsum tulang. Biayanya memang cukup mahal, apalagi tidak semua bisa dicover dengan asuransi dari pemerintah." Sebenarnya bukan hanya masalah biaya yang dipikirkan Vani, tapi tentang siapa yang akan mendonorkan sumsum tulang untuk Sisi.
Keponakannya itu sudah ditinggal pergi selamanya oleh ibu kandungnya. Dan ayah biologisnya, entah siapa dan seperti apa kabarnya saat ini, dia tidak tahu. Rani, kakaknya itu pulang dari Jakarta dalam kondisi hamil. Tak tahu siapa ayah si jabang bayi karena wanita itu sama sekali tak mau mengatakannya.
"Apa tidak ada alternatif pengobatan lainnya, Dok?"
"Tentu saja ada. Tapi Sisi masih terlalu kecil, kasihan jika harus menjalani kemoterapi. Jadi saya anjurkan untuk terapi imun atau imunoterapi terlebih dulu saja."
Setelah mengobrol dengan Dokter, Vani kembali ke ruang perawatan Sisi. Gadis kecil itu harus berbagi kamar dengan yang lain karena dirawat dikelas 3, menggunakan asuransi kesehatan gratis dari pemerintah.
"Bagaimana Van, Dokter bilang apa?" tanya Bu Mia. Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat cemas. Sejak tadi, dia sudah tak sabar menunggu kedatangan Vani. Sudah seminggu lebih Sisi dirawat. Menjalani banyak sekali pemeriksaan yang membuatnya khawatir, takut sesuatu yang buruk menimpa cucu semata wayangnya. Selain itu, sudah 3 kali ini Sisi masuk rumah sakit, tapi belum ketahuan sakitnya.
"Sisi..." Vani menatap gadis kecil berusia 6 tahun yang sedang terbaring diatas ranjang dengan selang infus terpasang dipergelangan tangannya. Kejam sekali takdir pada gadis kecil itu. Tak hanya tak memiliki kedua orang tua, sekarang masih ditambah harus mengidap penyakit yang tak bisa dianggap remeh.
"Sisi kenapa, Van?" desak Bu Mia sambil menarik-narik lengan Vani. Dia sungguh tak sabar ingin tahu kondisi cucunya. Matanya berkaca-kaca, feelingnya mengatakan jika terjadi sesuatu yang buruk pada Sisi. Apalagi saat ini, raut wajah Vani tampak kacau.
"Sabar Bu, sabar," Pak Cholis menepuk punggung istrinya. Sebenarnya dia juga ingin tahu, tapi masih bisa bersabar, tak mendesak seperti istrinya.
"Sisi...." Ternggorokan Vani seperti tercekat. Rasanya berat sekali harus mengatakan kabar buruk ini pada kedua orang tuanya. "Sisi didiagnosa leukemia."
Bu Mia langsung syok. Hampir saja dia terjatuh karena kakinya lemas. Beruntung sang suami yang ada disebelahnya menahannya. Meski sudah tua dan orang kampung, dia paham penyakit apa itu. Dia sering mendengar penyakit semacam itu di TV. Ini lebih buruk dari perkiraannya.
Tangis Bu Mia pecah dipelukan suaminya. Membungkam mulutnya dengan telapak tangan agar suaranya tak terdengar. Sisi sedang tidur, dia tak mau bocah kecil itu terganggu dengan tangisannya. Selain itu, diruangan ini juga ada orang lain selain mereka.
...----------------...
Setelah beberapa hari dirawat dirumah sakit, tadi siang Sisi sudah diizinkan pulang. Beberapa hari ini, Vani terus mencari tahu tentang donor sumsum tulang diinternet. Sumsum tulang yang cocok, biasanya berasal dari orang tua atau saudara kandung, persis dengan apa yang dijelaskan dokter kala itu. Dan saat ini, satu-satunya harapan Sisi, adalah ayah kandungnya. Tapi dimana dia harus mencari pria itu.
Vani membuka diary milik alm. kakaknya. Tak ada informasi apapun disana. Sebelum meninggal, Rani mengalami baby blues berat. Hingga akhirnya, wanita malang itu meninggal karena maag kronis. Itu hasil diagnosa dokter. Saat hamil, Rani sudah mengalami depresi berat. Tak mau melakukan apa-apa, hanya diam saja, mengurung diri didalam kamar. Bahkan tak jarang tertawa atau menangis sendiri. Sekalipun, tak pernah mau mengatakan siapa ayah dari anak yang dia kandung. Selain kondisi mentalnya yang bisa dibilang sakit, kondisi fisik Rani juga mengalami penurunan. Dia jadi sering sakit-sakitan.
Vani menatap foto yang dia temukan di buku diary milik Kakaknya. Foto seorang pria muda yang tampan. Dibelakang foto itu, ada tulisan I Love you. Feeling Vani mengatakan jika pria itulah ayah kandung Sisi. Karena jika diperhatikan, wajah Sisi dan pria itu cukup mirip. Saat awal jadi ART di Jakarta, Rani pernah bercerita padanya yang saat itu masih SMP, jika dia menyukai anak majikannya. Mungkinkah pria itu adalah anak majikannya di Jakarta?
...----------------...
"Apa kamu bilang, mau kerja di Jakarta?" pekik Bu Mia sambil melotot. "Ibu tidak setuju." Dia masih trauma atas kehilangan Rani. Tak ingin sesuatu yang sama terjadi juga pada putri keduanya, Vani.
"Tapi hanya dengan cara itu, kita bisa tahu siapa ayah kandung Sisi, Bu. Vani sudah minta alamat majikan Mbak Rani dulu pada Mbak Susi." Susi adalah tetangga yang dulu mengajak Rani kerja di Jakarta. Mereka kerja di komplek perumahan yang sama. Dan sampai sekarang, Susi masih bertahan kerja di Jakarta.
"Apa gak ada cara lain, Nduk?" tanya Pak Cholis.
"Gak ada, Pak." Dengan mata berkaca-kaca, Vani menggenggam tangan Bapaknya yang ada dipankuan. "Dulu kita hanya bisa pasrah saat Mbak Rani mendapatkan ketidak adilan. Sudah saatnya kita tahu siapa ayah dari Sisi. Sisi harus sembuh, Pak, Bu." Sambil berderai air mata, Vani menatap kedua orang tuanya bergantian. "Selain itu, kita juga harus menuntut keadilan untuk Mbak Rani."
"Enggak, Ibu gak setuju." Bu Mia kekeh menolak. "Rani sudah tenang disana. Allah yang akan membalas bajingan itu, bukan kita. Ibu tak mau kamu mengalami hal yang sama dengan Rani."
"Insyaallah, Vani akan baik-baik saja, Bu." Vani menggenggam kedua tangan ibunya, berusaha meyakinkannya. "Kata dokter, pengobatan di Jakarta lebih bagus. Jadi tak ada salahnyakan, Vani membawa Sisi ke Jakarta."
"Sisi?" seru Bu Mia. "Maksud kamu, Sisi akan kamu ajak ke Jakarta?" Vani mengangguk yakin.
"Vani percaya, jika darah lebih kental daripada air. Dan ikatan darah itu, akan membuat Sisi memiliki ikatan batin dengan ayah kandungnya. Kita akan lebih mudah mengetahui siapa ayah Sisi dengan mengajaknya ikut ke Jakarta. Kita harus segera menemukan ayah Sisi secepatnya."
"Ayah Sisi?"
Ketiga orang yang sedang berada didalam kamar itu langsung menoleh kearah pintu yang terbuka setengah. Entah sejak kapan, Sisi ada di sana.
"Bibi bilang, mau nyari ayah Sisi?" gadis kecil itu kembali bertanya sambil berjalan masuk. "Bukankah ayah Sisi sudah meninggal?" Sejak dulu, Sisi sudah diberi tahu jika ayahnya telah meninggal.
Ketiga orang dewasa itu langsung kelabakan mendapat pertanyaan seperti itu. Rasanya terlalu sulit untuk menjelaskan detailnya pada Sisi yang masih berusia 6 tahun.
"Kenapa diam? Ayah Sisi masih hidup?"
"Ma-maksud Bibi, nyari makam ayahnya Sisi," sahut Bu Mia. Selama ini, Sisi sering sekali bertanya dimana makam ayahnya. Karena setiap kali diajak ke makam, dia hanya mengunjungi makam ibunya.
"Sisi ikut, Bi." Rengek bocah itu sambil memegangi lengan Vani. "Sisi ikut nyari makamnya Ayah. Sisi pengen ngasih bunga dan doain Ayah."
"Sisi," Bu Mia mendekati Sisi dan menyentuh kepalanya. "Selama ini, Sisi kan udah doain ayah sama Ibu setiap habis sholat. Jadi gak perlu lagi Sisi ikut nyari makam ayah."
Bocah kecil itu menggeleng cepat. "Sisi mau nyari makam Ayah."
"Izinkan Sisi ikut, Bu." Vani masih terus membujuk. Dia yakin, Sisi yang akan menunjukkan siapa ayah kandungnya nanti.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan