NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 : Panggilan dari kepala sekolah

Pagi itu di ruang kelas, suasana cerah di luar tampak kontras dengan wajah suram Amelia. Dia duduk dengan dagu bertumpu di meja, tatapannya kosong menatap jendela. Sesekali dia menghela napas panjang seolah dunia telah runtuh di hadapannya. Bahkan suara ceria teman-temannya di kelas tidak mampu mengusik aura dramatis yang menyelimutinya.

Luna, yang duduk di sebelahnya, memandangi sahabatnya dengan alis terangkat. Amelia yang biasanya ribut seperti burung jalak kini mendadak berubah menjadi versi manusia film melodrama. Luna mendekatkan wajahnya, menatap Amelia lekat-lekat. "Apa kau sakit?" tanyanya, separuh khawatir, separuh geli.

Amelia menoleh dengan lambat, seperti pemeran utama dalam film kolosal. "Luna... aku merasa hampa..." jawabnya dengan nada tragis.

Luna menahan tawa. "Hampa? Sejak kapan kau menjadi penyair, Amel? Apa ini semua gara-gara si ‘om ganteng’ yang kabur itu?" tanyanya, sengaja memanfaatkan momen untuk menggoda sahabatnya.

Amelia memutar tubuhnya dan menatap Luna dengan ekspresi terluka, seolah Luna baru saja mencabut hatinya. "Jangan sebut dia begitu! Lucius bukan sekadar om ganteng. Dia... dia adalah pria sempurna! Sorot matanya, suaranya, cara dia berjalan... semuanya seperti pangeran di negeri dongeng."

Luna hampir tergelak. Ia melipat tangan di dada dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Pangeran di negeri dongeng? Amel, kau ini hebat sekali dalam menciptakan skenario. Tapi dengar ya, kau bahkan hanya bicara dengannya sekali. Dan itu pun hanya soal bekalmu yang dia tolak!"

Amelia mendengus kecil, mengalihkan pandangannya dengan kesal. "Itu bukan penolakan. Itu... bentuk kerendahan hati seorang pria sejati. Dia pasti tidak mau merepotkanku."

Luna benar-benar tidak bisa menahan diri kali ini. Dia tertawa begitu keras hingga beberapa teman di kelas menoleh penasaran. "Oh, Amel, kau memang juara. Jangan-jangan besok kau sudah jatuh cinta lagi pada tukang pos yang lewat depan rumahmu."

Amelia mendongak dengan cepat, wajahnya merah. "Tentu tidak! Aku ini setia! Setidaknya... untuk saat ini."

Jawaban itu membuat Luna tertawa lebih keras, sampai dia harus menepuk meja. "Setia... untuk saat ini! Aku tidak tahu apakah aku harus kagum atau takut dengan logika cintamu, Amel."

Sambil memandangi Luna yang masih terpingkal-pingkal, Amelia hanya mendesah panjang, kembali memandang jendela dengan tatapan sendu. "Kau tidak mengerti, Luna. Kau tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dari kejauhan."

Luna berhenti tertawa sejenak, menatap Amelia dengan mata menyipit. "Oh, aku tahu. Aku tahu betul rasanya... terutama karena aku sudah cukup lama mencintaimu dari kejauhan karena kau terus-terusan membuatku gila dengan dramamu ini."

Kali ini, giliran teman-teman sekelas yang tertawa. Amelia menundukkan kepala, wajahnya merah padam, sementara Luna menikmati kemenangan kecilnya.

"Sudahlah, Amel. Fokus saja pada tugas matematika. Dan siapa tahu, mungkin minggu depan kau akan jatuh cinta pada pria yang duduk di samping kita saat ujian," tambah Luna, kali ini dengan nada lembut, tetapi tetap penuh godaan.

Amelia hanya mendengus kesal, sementara Luna kembali sibuk dengan buku catatannya, senyum lebar masih tersungging di wajahnya. Ah, sahabatnya memang sumber hiburan terbaik di dunia.

...****************...

Jam istirahat berdering, dan suasana sekolah kecil itu langsung berubah riuh. Para siswa berhamburan menuju kantin, beberapa berlari untuk mengantre lebih dulu, sementara yang lain berjalan santai sambil bercanda dengan teman-temannya. Bangunan kantin, meski kecil, memiliki nuansa hangat dengan dinding batu ekspos dan meja-meja kayu yang tertata rapi. Jendela besar di salah satu sisi memberikan pemandangan ladang hijau yang membentang di kejauhan, membuatnya terasa seperti tempat makan keluarga, bukan sekadar kantin sekolah.

Luna dan Amelia berjalan beriringan, Luna dengan langkah penuh semangat seperti biasa, sementara Amelia sibuk mengeluh soal menu kantin yang katanya "terlalu membosankan." Tapi bagi Luna, kantin adalah surga kecil. Dia bisa memilih makanan sesuka hati, tanpa perlu berbagi dengan siapa pun kecuali Amelia yang terkadang suka mengintip makanannya.

Namun, suasana nyaman itu segera buyar saat pandangan Luna tertuju pada sudut ruangan. Di sana, sekelompok siswa terlihat mengerubungi seorang gadis berwajah Asia yang tampak kebingungan dan cemas. Mereka melontarkan kata-kata rasis yang kasar, menyebut-nyebut hal yang tidak pantas tentang asal-usul dan penampilannya yang dari seragam yang dia gunakan merupakan siswi baru di sekolah mereka.

Luna berhenti di tengah langkah, matanya menyipit tajam. "Amel, tunggu di sini," katanya tegas.

Amelia yang sudah mengantre hanya mengangkat alis. "Apa lagi kali ini? Jangan bilang kau mau bikin masalah lagi."

"Aku tidak bikin masalah. Aku menyelesaikannya," jawab Luna dingin sebelum melangkah ke arah kerumunan itu.

Dengan langkah penuh percaya diri, Luna mendekati kelompok itu. Dia berhenti tepat di belakang mereka, menatap punggung salah satu siswa yang terlihat paling vokal. "Hei," panggilnya dengan nada rendah tapi tegas, membuat semua orang menoleh.

Gadis Asia itu memandang Luna dengan mata membesar, seperti baru saja menemukan penyelamatnya. Sementara kelompok pengganggu itu hanya tertawa kecil, tidak menyadari siapa yang mereka hadapi.

"Apa masalah kalian?" tanya Luna, tangannya terlipat di dada. "Kalian tidak punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan selain menggertak siswi baru disini?"

Seorang siswa yang tampak lebih besar dari yang lain melangkah maju. "Ini bukan urusanmu, Luna. Pergi sana."

Luna tersenyum tipis, tapi matanya tetap tajam. "Salah besar. Ini urusanku kalau kalian bertingkah bodoh di depanku dan mengganggu suasana makan siangku" Dia melangkah maju, berdiri di antara gadis itu dan para pengganggu. "Kalau kalian merasa hebat, coba saja berhadapan denganku."

Kerumunan kantin mendadak sepi, semua mata tertuju pada mereka. Bahkan Amelia, yang awalnya malas, kini menyaksikan dengan penuh perhatian.

Para pengganggu itu saling pandang, ragu-ragu. Mereka tahu reputasi Luna. Gadis tomboy itu mungkin kecil, tapi dia adalah legenda di sekolah karena kemampuannya dalam bela diri. Melawan Luna sama saja dengan mencari masalah besar.

Akhirnya, pemimpin mereka menggerutu, "Hmph, tidak sepadan." Mereka bubar satu per satu, mencoba menyelamatkan muka.

Luna menoleh ke gadis itu, tersenyum ramah. "Hei, kau baik-baik saja?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk pelan, suaranya gemetar. "T-terima kasih... Aku tidak tahu harus bagaimana kalau kau tidak datang."

Luna menepuk bahu gadis itu dengan lembut. "Santai saja. Mereka hanya orang bodoh yang butuh perhatian. Namamu siapa?"

"Yumi," jawab gadis itu dengan suara pelan.

"Yumi, mulai sekarang, kau duduk denganku dan Amelia di kantin. Tidak ada yang akan mengganggumu lagi," kata Luna sambil menggiring Yumi ke meja mereka.

Amelia, yang baru saja kembali dengan nampan penuh makanan, hanya mendengus. "Kau ini memang magnet masalah." Tapi dia tetap mempersilakan Yumi duduk di sebelahnya, sambil diam-diam tersenyum bangga pada sahabatnya.

Kantin kembali riuh, tapi kali ini dengan bisikan-bisikan tentang bagaimana Luna sekali lagi membuktikan bahwa dia bukan hanya gadis tomboy, tapi juga pelindung tak resmi sekolah itu.

Suasana kantin yang awalnya hangat dan penuh tawa mendadak sunyi ketika suara kepala sekolah terdengar melalui pengeras suara yang terpasang di sudut-sudut ruangan. “Luna Heinrich dari kelas 301, harap segera ke ruang kepala sekolah. Luna Heinrich dari kelaa 301, segera ke ruang kepala sekolah.”

Semua orang berhenti makan, bahkan seorang siswa yang tengah menggigit burger setengah jalan kini diam mematung seperti patung batu. Puluhan pasang mata langsung tertuju ke arah meja Luna, seakan-akan dia baru saja melakukan kejahatan tingkat tinggi.

Luna, yang tengah asyik menyeruput sup panasnya, langsung berhenti dan menatap Amelia dan Yumi. “Kenapa aku dipanggil?” tanyanya dengan nada bingung, meski sudah ada firasat buruk yang menggelayuti pikirannya.

“Aku tahu kenapa,” Amelia menjawab sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya. “Pasti karena kau terlalu keren membela Yumi tadi.”

“Bukan keren, tapi masalah!” sela Yumi panik, suaranya kecil tapi cukup untuk membuat Amelia menoleh. “Luna, apa ini karena aku? Aku merasa bersalah... mungkin aku seharusnya membiarkan mereka membullyku saja.”

Luna menatap Yumi seperti guru yang sedang mencoba mengajari murid kecil agar tidak terlalu dramatis. “Hei, santai saja. Tidak ada yang salah dengan membela orang lain. Kalau memang itu alasannya, aku akan menghadapi kepala sekolah. Lagi pula, ini bukan salahmu.”

“Tapi kalau sampai kau kena masalah...” Yumi menggigit bibirnya, wajahnya semakin tampak seperti anak kucing yang ketakutan.

Amelia memutar bola matanya sambil menyodok Luna dengan siku. “Serius, Luna, kau membuat ini seperti adegan di film aksi. Tidak ada yang bakal terjadi, oke? Kalau perlu, bilang saja mereka yang mulai duluan.”

Luna berdiri, mengangkat bahunya dengan santai, tapi senyumnya menyiratkan rasa percaya diri khasnya. “Tenang, ini bukan pertama kalinya aku dipanggil kepala sekolah. Aku sudah hafal prosedurnya.”

Amelia terkikik sambil berbisik pada Yumi, “Kau tenang saja, tidak akan ada masalah.”

“Bagaimana kalau kau kena skors?” Yumi masih terlihat khawatir.

“Kalau aku kena skors, setidaknya aku bisa tidur siang lebih lama di rumah,” jawab Luna santai sambil berjalan meninggalkan meja.

Seisi kantin mulai berbisik-bisik lagi, sebagian siswa diam-diam mendukung Luna, sementara yang lain bertaruh tentang seberapa panjang "ceramah" kepala sekolah kali ini. Luna berjalan dengan tenang melewati mereka semua, sesekali melirik ke arah orang-orang yang membully Yumi tadi pagi. Tatapannya seperti harimau yang memperingatkan mangsanya.

Begitu dia keluar dari kantin, Amelia menyandarkan kepalanya di tangan dan tersenyum pada Yumi. “Kau tahu, Yumi, aku tidak akan kaget kalau suatu hari Luna jadi kepala sekolah di sini.”

Yumi mengerutkan alis. “Kepala sekolah? Kenapa?”

“Karena dia punya bakat luar biasa untuk mengatur orang lain dan memecahkan masalah... dengan cara yang biasanya membuat kepala sekolah sakit kepala.” Amelia terkikik, sementara Yumi akhirnya tertawa kecil, meski masih khawatir pada sahabat barunya.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!