"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Mereka Bertemu
"Dia sudah pergi ya?" tanya bibi Umi pada Rani yang tengah sibuk memetik buah apel.
"Biarkan saja dia pergi bibi, dia sangat mengganggu!" kata Rani.
Bibi Umi tersenyum.
"Rani, kasihan tuan muda. Bagaimana jika dia benar-benar membakar brangkas ayahnya demi kamu?"
"Itu tidak mungkin bibi. Dia bukan orang seperti itu, dia bukan orang yang egois. Putra itu pria yang baik, dia pasti berpikir sebelum bertindak" kata Rani.
"Hah, bibi jadi sedih melihat kalian berdua. Kalian itu sebenarnya sudah saling mengerti, tapi..." bibi Umi menjeda ucapannya.
"Bibi, tenang saja. Suatu saat kalau Putra menemukan wanita lain yang lebih menarik di ganggu daripada aku. Dia pasti tidak akan menggangu ku lagi!"
Terdengar suara kekehan, para buruh perkebunan memang sangat akrab. Bagaimana tidak? mereka tinggal di perumahan perkebunan yang sama. Sering makan bersama, berbagi sulit, berat dan ringannya pekerjaan bersama. Biar mereka bukan keluarga kandung, tapi rasa kekeluargaan itu nyata di sini.
Rani kembali melanjutkan pekerjaannya, dia mengangkat tangannya cukup tinggi untuk memetik sebuah apel yang letaknya di puncak pohon. Namun, saat dia melakukan itu, tiba-tiba saja...
Deg
Dadanya terasa sakit, seperti jantungnya akan berhenti berdetak. Rani menyentuh dadanya itu, rasanya bukan sakit seperti masuk angin. Tapi sesuatu yang tidak bisa di jelaskan.
Bibi Umi yang melihat Rani memegang dadanya dan terdiam, segera mendekati Rani.
"Rani, kamu sakit?" tanya bibi Umi perduli.
Rani segera menoleh ke bibi Umi.
"Tidak bibi, mungkin... mungkin aku haus. Aku akan mengambil minum sebentar bibi" kata Rani.
"Iya minumlah, duduklah sebentar. Keranjangmu kan sebentar lagi juga penuh" kata bibi Umi khawatir.
Rani mengangguk dan berjalan ke arah tempat mereka semua biasa meletakkan air minum, di dekat sebuah pohon yang ukurannya lebih besar. Tapi sudah tidak menghasilkan buah yang bisa di panen lagi. Buahnya sudah tidak memenuhi grade.
Setiap langkah Rani menuju ke pohon besar itu, debaran jantungnya semakin kencang. Rani tidak mengerti, tapi dia benar-benar seperti tercekat dan tak bisa bernafas.
Rani membuka penutup wajahnya, angin berhembus cukup kencang. Membuat ikatan rambut asal yang dia buat tadi terlepas.
Rani meraih air minum di tas yang dia bawa. Dan membukanya.
Dari jauh, dengan jarak yang sebenarnya lumayan jauh, sekitar 20 meteran. Raja menatap ke arah seorang buruh perkebunan yang berjalan menjauh dari para buruh lain.
Pandangan Raja benar-benar fokus pada wanita itu, cara jalannya, bagaimana wanita itu melangkah demi langkah, Raja semakin tak bisa melepaskan pandangannya.
"Tuan muda mungkin berada di timbangan. Ini waktunya makan siang. Pasti tuan muda ada di sana!"
"Ya sudah, kita kesana saja. Ayo masuk ke dalam mobil..."
"Maaf nona, jalannya kecil. Mobil ini tidak bisa masuk. Biasanya hanya motor atau motor roda tiga perkebunan yang bisa lewat jalan menuju timbangan, karena nanti dari sana, hasil panen akan di bawa ke gudang..."
"Jadi harus jalan kaki?" tanya Hani yang sepertinya tidak senang.
Pak Kusni mengangguk. Sebenarnya kalau ada tamu, ada kendaraan khusus juga yang bisa di pakai. Tapi memang Putra meminta pak Kusni mengajak tamunya berjalan. Dia mau tahu, apa tamunya hari ini tulus atau tidak. Mau atau tidak kalau di suruh jalan.
"Iya nona, tenang saja. Saya bawa payung!" kata pak Kusni.
Hani terlihat tidak senang. Sudah lima tahun dia hidup enak. Dan harus jalan di tengah teriknya matahari. Tentu saja dia tidak senang. Namun, demi menjadi istri pewaris bangsawan kaya raya, dia akan berusaha. Toh, dulu saat di perkebunan, dia sering berjalan satu kilometer lebih saat panen daun teh.
"Kakak, ayo kita jalan!" ajak Hani.
Raja hanya menoleh sekilas, dia melihat ke arah pak Kusni yang memegang dua payung.
"Kalian duluan! aku masih mau lihat-lihat! nanti aku menyusul!"
"Kakak, mana bisa begitu?" tanya Hani.
"Atau kamu mau di sini menemaniku lihat-lihat dulu?" tanya balik Raja.
Hani mendengus kesal.
"Ya sudah, cepatlah! ayo pak Kusni!"
Pak Kusni mengangguk patuh. Dia memimpin jalan untuk Hani menuju ke timbangan tempat tuan muda Shahan berada saat ini.
Sementara Raja, pria itu kembali mencari keberadaan wanita yang tadi menarik perhatiannya. Dia kehilangan jejak wanita itu, dan perasaan yang aneh tadi juga perlahan menghilang.
Raja melangkah, mempercepat langkahnya menuju ke arah terakhir kali dia melihat wanita tadi.
Langkahnya berhenti, dia tidak bisa menemukannya.
Hingga beberapa buruh menyerukan pada yang lain untuk istirahat makan siang terlebih dahulu.
"Tuan, apa tuan tersesat?" tanya bibi Umi.
Raja tadinya tidak mau menjawab, dia malah mau pergi. Tapi salah satu buruh perkebunan lain menghampiri bibi Umi.
"Bibi Umi, aku sudah pinggirkan keranjang Rani. Kita bisa makan siang sekarang!"
Raja tertegun. Nama yang di ucapkan wanita yang mengenakan masker di depannya itu sangat tidak asing. Dan perasaan itu juga tidak asing.
"Iya bi, aku tersesat. Bolehkah aku minta sedikit minum?" tanya Raja.
Bibi Umi membuka penutup wajahnya dan tersenyum pada Raja.
"Tentu saja nak, ayo ikut ke sana. Di sana tempat kami istirahat. Ada minuman di sana!" ajak bibi Umi.
Dan semakin Raja melangkah mengikuti bibi Umi. Debaran jantungnya sama persis seperti tadi.
"Rani, tolong ambilkan gelas bersih nak. Tuan ini tersesat dan haus!" kata bibi Umi yang melihat Hani sedang minum di tempat itu.
"Baik bibi"
Deg
Rani menoleh...
Deg
Tatapan Raja terkunci.
Keduanya saling pandang, dan mata keduanya tampak segera berkaca-kaca. Tiba-tiba saja, semua kenangan masa lalu yang keduanya lewati bersama terlintas begitu saja di pikiran dan pandangan keduanya.
"Rani, mana gelasnya?" tanya bibi Umi yang sudah mengambilkan botol mineral yang masih di segel.
Rani segera menurunkan pandangannya, dia segera berbalik dan mengambilkan gelas bersih dan memberikannya pada bibi Umi.
"Ini bibi, aku sudah selesai istirahat. Aku akan melanjutkan pekerjaanku!" Rani buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara pandangan Raja sejak tadi tak lepas dari Rani yang perlahan menghilang dari pandangannya. Tangan pria itu terkepal kuat.
"Tuan, ini minumnya" kata bibi Umi ramah.
"Terimakasih Bi" jawab Raja menahan emosi.
***
Bersambung...