Alvaro Ardiwinata adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang terlahir dari keluarga kaya. Namun, meskipun hidup dalam kemewahan, dia merasa tidak pernah menjadi bagian dari keluarga tersebut. Dia lebih dianggap sebagai "anak pelayan" oleh kedua orangtuanya, Jhon dan Santi Ardiwinata. Setiap kesalahan, besar atau kecil, selalu berujung pada hukuman fisik. Meskipun ia berusaha menarik perhatian orang tuanya, mereka tidak peduli padanya, selalu lebih memperhatikan adiknya, Violet. Violet yang selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih, tapi di balik itu ada rasa iri yang mendalam terhadap Alvaro.
Sementara itu, Alvaro berusaha menjalani hidupnya, tapi luka psikologis yang ia alami semakin mendalam. Saat ia beranjak dewasa, ia merasa semakin terasingkan. Tetapi di balik penderitaan itu, ada harapan dan usaha untuk menemukan siapa dirinya dan apakah hidup ini masih memiliki makna bagi dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wèizhī, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Ruangan gelap yang hanya mendapatkan sedikit sinar itu tak kunjung dibuka dari kuncinya. Alvaro mulai berdiri dan menatap lubang kecil yang ada disana. Ia melihat sedikit keadaan diluar, apakah sudah pagi atau masih larut.
Ceklek-
Pintu terbuka, namun Alvaro tidak senang. Karena yang membukanya adalah ayahnya, Bhram. Pria berusia 40-an itu berjalan santai kearahnya sembari membawa sesuatu ditangannya. Seketika mata Alvaro membulat, ia lalu mundur beberapa langkah dengan tubuhnya yang sudah gemetar hebat.
"Alvaro. Kau memang tak habis membuat ulah" ucap Bhram menatap datar kearahnya.
"Papa.. apa yang mau kau lakukan?...," tanya Alvaro tampak gelisah.
Bhram tak menjawab pertanyaan putranya itu. Ia mengangkat tangannya yang membawa sebuah cambuk dan lalu mulai memukulkannya pada Alvaro dengan wajah datar nya.
Ctas!!!-
Ctassss!!!-
Ctassss!!!!!-
Suara cambuk yang terdengar bersamaan dengan ringisan dan teriakan Alvaro mengisi ruangan tersebut. Dibalik pintu, tampak Violet tersenyum senang. Ia tak merasa kasihan ataupun bersalah karena memang menurutnya itu bukanlah karenanya.
"Arghh!!! Pah.. sakit... Stop...," ucap Alvaro yang sudah mulai tak tahan. Ia menjerit kesakitan dengan tangisanmya yang mulai pecah.
Namun Bhram tak menghentikan kegiatannya, terus dan terus dengan emosi yang mendalam. Ia mencambuk Alvaro.
Sedang disisi Clarionne, gadis itu tengah kesal dengan ibunya yang tak memberitahu nya keberadaan Alvaro.
"Pelayan bilang dia sudah pulang. Dimana dia?!!" Clar tampak sudah tak dapat menahan emosinya. Ia bahkan sampai berteriak para sang Mama.
"Kau tak sopan, Clar. Hanya untuk anak sialan itu! Kau berteriak padaku!!" Bukannya menjawab, Santi justru malah membalasnya dengan amarah yang sama tak dapat ia tahan.
"Anak sialan?! Sadarlah, Santi Lestari Ardiwinata!! Dia putramu, dan seharusnya kau merawatnya, bukan menyiksanya!!!!" Marah Clar membentak sang Mama.
Clar bahkan sampai harus mengatur nafasnya agar tak terlalu terasa sesak. Ia memiliki riwayat penyakit asma, jadi ia harus dapat mengatur nafasnya dengan baik meski dalam emosi yang memuncak. Namun Santi bukannya sadar, ia malah lebih memperhatikan Clar yang berbicara dengan berteriak padanya.
Plak!!!-
Satu tamparan mendarat di wajah mulus Clarionne. Santi menamparnya dengan wajah marahnya. Ia menatap tajam kearah Clarionne. Sedang yang ditatap, menatapnya balik tak kalah tajam.
"Ingatlah, Nyonya Ardiwinata. Aku bukan putrimu. Aku tak punya hak untuk mematuhimu sebagai seorang 'Anak'! Karena bahkan kau tak pernah berusaha menghidupiku!"
Deg!-
Seolah jantungnya berhenti, Santi mulai limbung. Mendengar ucapan Clar yang tak pernah ia perkirakan sebelumnya. Fakta yang selalu ia dan suaminya tutupi. Clar memang tahu dari awal mengenai hal tersebut, ia merupakan anak titipan dari seseorang, sedang Santi dan Bhram hanyalah orangtua asuhnya.
"Aku akan mengatakan 'padanya', bahwa kau tak merawatku dengan baik. Sekarang beritahu aku dimana adikku!!!," ancam Clar pada Santi, membuat wanita paruh baya itu gemetar.
Santi tampak takut dengan ancaman tersebut. Clar, merupakan anak seseorang yang ada diatasnya, dan orang itu merupakan penguasa dunia bawah. Bagaimana jika memang Clar akan mengatakan hal tersebut, walau tanpa bukti tapi orang itu akan mempercayai semua yang dikatakan Clarionne.
"Aku tidak tahu!..," ucap Santi masih kekeuh tak ingin memberitahu keberadaan Alvaro.
---
Beberapa menit telah usai, Bhram menggusar surai hitamnya kebelakang dengan keringat yang membasahi pelipisnya karena lelah 'Bermain'.
Tampak juga Alvaro yang sudah terbaring lemas tak berdaya dengan banyak darah disekitarnya. Luka lama kembali terbuka, hatinya sungguh sakit. Alvaro melihat Bhram, Papahnya itu bahkan tak terlihat menyesali perbuatannya. Alvaro lalu tersenyum kecut, ia sungguh bodoh karena masih memanggilnya 'Papah'. Disaat pria itu bahkan tega melayangkan cambuk padanya.
"Kenapa... Kalian melakukan ini padaku?...," tanya Alvaro dengan suara lirihnya sembari menahan rasa sakit dimana-mana.
"Aku putramu... Apa sebenarnya kesalahanku... Sebenarnya kenapa semua ini terjadi... Beritahu aku, Pah... Dimana letak kesalahanku?...," tanya nya lagi, setidaknya ia mengharapkan sebuah jawaban yang tak membuatnya semakin runtuh.
Bhram menatapnya datar, ia lalu menyimpan cambuknya dan mengambil sebuah pisau kecil di meja yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kenapa, hm? Karena kau anak sialan yang hanya membawa sial keluarga ku!!!," jawab Bhram dingin sembari sedikit ia menyayat pipi mulus Alvaro.
Ahh... Runtuh sudah dunia ini... Tak ada lagi harapan yang diharapkan oleh Alvaro. Sekali lagi air matanya jatuh, dengan matanya yang sayu itu menatap mata tajam milik Bhram.
"Jadi begitu...," batinnya sembari menutup matanya perlahan.
"Seharunya aku membunuhmu saja. Tapi bagaimana ini, jika begitu kau akan terlalu cepat merasakan damai" ucap Bhram.
Tatapan mata yang awalnya masih menyisakan sedikit sinar itu, kini benar-benar musnah. Mata itu menatap kosong kearah Papah nya yang bahkan terus menyiksanya. Ia sudah tak peduli dengan rasa sakit yang ia rasakan. Alvaro... Sungguh tak ingin merasakan apapun lagi, namun hati ini rasanya sakit.
---
"Nyonya, Tuan Gintara dan keluarganya datang bertamu.," ucap seorang pelayan melapor pada Santi.
"Gintara?! Ada urusan apa mereka kemari?" Clar dan Santi menghentikan adu mulut mereka untuk sementara.
"Tidak tahu, Nyonya. Mereka menunggu di ruang tamu.," jawab pelayan tersebut.
"Datangi mereka!," titah Clar pada Santi. Sontak, wanita itu langsung melangkahkan kakinya dan menuju ruang tamu.
"Ya ampun. Lihat siapa ini. Ada urusan apa keluarga Gintara yang terhomat ini datang berkunjung?," tanya Santi yang sikapnya berubah 360°.
"Nyonya Ardiwinata. Kami datang untuk ini.," ucap Ayah Samuel sembari memberikan sebuah file dengan beberapa dokumen didalamnya.
Tampak Santi menerimanya dan membaca, ia sontak merubah ekspresi yang tadinya cerah menjadi kembali suram.
"Maksudnya apa ini? Anda menginginkan Alvaro?," tanya Santi memastikan setelah ia selesai membaca dokumen-dokumen tersebut yang ternyata isinya peralihan hak asuh.
"Kami hanya butuh tanda tangan Anda beserta Tuan Ardiwinata.," ucap Bunda Lily.
"Ada apa ini?" Suara yang tiba-tiba terdengar. Mereka langsung melihat siapa yang membuat sumber suara tersebut, ternyata itu adalah Bhram. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan yang lain, sepertinya sudah selesai dengan Alvaro.
"Mas. Kau lihat ini" ucap Santi menyerahkan file tersebut yang kemudian dibaca oleh Bhram.
"Apa maksud Anda, Tuan Gintara?," tanya Bhram dingin.
"Apa kau buta huruf? Berikan saja apa yang kami mau" ucap Xavier tak kalah dinginnya.
"Aku tidak berbicara padamu, nak" ucap Bhram kesal.
"Tuan Bhram. Seperti yang putraku katakan. Berikan saja, tak usah banyak bicara!" Tuan Gintara ini tampaknya tak ingin berdebat. Keluarga Gintara menatap tajam kearah Bhram dan Santi.
"Dimana putraku?!," tanya Ayah Samuel.
"Putra?! Dia putra kami, Tuan. Anda tak memiliki hak untuk memanggilnya seperti itu.," ucap Bhram dengan nada menantangnya.
"Pengadilan sudah setuju. Berikan saja, atau kau tahu akibatnya" ancam Samuel.
Bhram dan Santi tampak tak menjawab apapun. Jujur saja, mereka akan terlihat rendah dimata Gintara. Level mereka tak sama, selisih nya saja bahkan hampir tak terlihat.
Clarionne yang diam-diam mendengar pembicaraan mereka, sontak dia memasang senyum tipisnya. Bukan memiliki niat buruk, tapi entah kenapa dia tampak senang dengan situasi saat ini.
"Jika Gintara mengadopsi mu. Itu akan lebih baik, Al.," gumamnya kecil dengan senyuman tipisnya.
Sedangkan disisi Alvaro. Ia menatap kosong kearah kedua tangannya. Air mata itu terus berjatuhan tak berhenti. Bukannya menginginkan diri menangis, hanya saja meski tanpa isakan dan suara, air mata itu terus mengalir.
"Sebenarnya kenapa?... Pasti ada suatu alasan, kan kenapa mereka bersikap seperti ini. Bahkan Mama tak melirikku. Kenapa Papa begitu kejam padaku?... Apa yang salah?... Dimana letak kesalahannya?... Apa aku ini... Benar putra kandung mereka?..." Pemikiran dan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Alvaro bahkan sekarang terlihat seperti mayat hidup. Ia tak mengerti jalan pikiran keluarganya. Seorang ayah yang seharusnya menjadi pahlawan bagi anak-anak, justru malah melakukan penyiksaan padanya. Bahkan sampai tak berkedip. Membuat bingung dan tak mengerti Alvaro.
Alvaro yang semulanya terduduk, ia mulai terbaring lemas. Pikirannya kosong begitupun dengan tatapan matanya yang seolah sudah tak memiliki harapan lagi. Lalu kesadarannya mulai tak tersisa, perlahan ia menutup kedua matanya.
---
"Dia sedang tak ada dirumah saat ini.," ucap Bhram berbohong pada keluarga Gintara.
"Tidak. Dia sudah pulang sejak kemarin, aku yang mengantarnya. Dia tak pernah keluar kecuali untuk pergi kesekolah.," ucap Angga yang mulai tak suka dengan sikap Bhram. Seolah si Bhram ini berusaha mengusir mereka.
"Cari dia!" Akhirnya Ayah Samuel memerintahkan bodyguard yang ia bawa untuk mencari keberadaan Alvaro dengan paksa. Tiga bodyguard itu mulai melaksanakan perintahnya dan mencari disetiap sudut juga ruangan di kediaman Ardiwinata ini.
"Apa-apaan ini, Tuan Gintara?! Anda tak bisa semena-mena pada saya seperti ini!," ucap Bhram tak terima.
"Buat diam dia" titah Samuel pada bodyguard nya yang lain.
Pencarian pun dimulai, para bawahan Gintara mencari Alvaro ke sekitar kediaman Ardiwinata. Bahkan tak ayal mereka sampai mencari disetiap sudut ruangan. Seorang pelayan tiba-tiba menghampiri Ayah Samuel yang tengah kelimpungan mencari putra angkatnya itu.
"Maaf, Tuan." Pelayan itu menghadap pada keluarga Gintara.
"Apa?," tanya ayah Samuel dingin.
"Tuan muda... Beliau ada di ruangan itu, Tuan. Saya mohon, keluarkan Tuan Muda...," ucap pelayan tersebut sembari membungkukkan tubuhnya.
Itu adalah pelayan yang selama ini tak tahan dengan perilaku keluarga Ardiwinata pada Alvaro. Bibi pelayan itu selalu memperhatikan Alvaro dari jauh. Ia bahkan sesekali diam-diam menyimpan sebuah camilan di kamar Alvaro tanpa diketahui oleh siapapun. Pelayan itu juga yang selalu menyiapkan obat untuk Alvaro saat remaja itu terluka. Walau sepertinya, Alvaro sendiri tak mengetahui tentang hal tersebut.
"Ruangan? Tunjukkan pada kami!" Titah Xavier.
Sontak pelayan itu membawa mereka ke depan sebuah ruangan yang dirantai pintunya. Hanya ruangan itu saja yang tampak seperti itu. Aura suram keluar dari ruangan tersebut.
"Bau amis darah?!," batin Xavier, Angga, juga Ayah Samuel.
Indra yang tajam yang diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga Gintara. Mereka tak mungkin salah. Ini adalah bau amis darah. Sesuatunya pasti terjadi didalam ruangan ini.
"Tuan!," panggil Bhram pada Samuel.
"Anda tak bisa membuka ruangan ini begitu saja. Sudah cukup dengan hal lain, saya akan mencari Alvaro dan membawanya pada Anda. Jika memang Anda menginginkannya!," ucap Bhram sudah pasrah, ia tak mau bisnisnya kebawa-bawa dengan penampakan yang ditampilkan dibalik ruangan ini.
Samuel menatapnya dingin. Ia tak percaya, pria ini berubah secepat ini. Samuel merasa penasaran dengan apa yang ada dibalik ruangan tersebut.
"Tak usah dicari. Kami sudah menemukannya." Bukan Samuel yang berbicara, tapi Xavier.
Deg!-
Seolah detak jantungnya berhenti. Bhram meneguk salivanya kasar. Ia merasa khawatir dengan reaksi dari Samuel, salah sedikit saja perusahaannya yang terkena imbas.
"Sialan. Bagaimana ini?!!," batinnya, ia merasa kesal sampai menggertakkan giginya.
"Mana kuncinya?!!" Angga menyentak Bhram dengan lantang. Ia menatapnya marah.
"Kunci? Tak ada. Ruangan ini tak pernah dipakai lagi, kuncinya hilang." Bohong Bhram pada mereka.
Namun Gintara tak dapat dibohongi begitu saja apalagi Lily. Ia menatap kesal kearah Bhram, lalu berdecak. Samuel yang melihat istrinya mulai kesal, ia lalu mendekati Bhram dan meninjunya.
BUG!!!!
Bhram yang mendapat tinjuan mentah dari Samuel, langsung tersungkur dengan ringisan keluar dari bibirnya. Santi yang melihat hal itu sontak menghampiri suaminya dan membantunya berdiri.
"Apa-apaan ini Tuan? Suamiku sudah bilang, kuncinya hilang. Kami tak tahu apapun soal itu!.," sentak Santi, yang tanpa ia ketahui Samuel sudah memegang kunci nya dan menunjukkannya pada mereka. Sontak mereka melihatnya dengan penuh keterkejutan.
"Ba-bagaimana...,"
Ya, Samuel mendapatkannya saat ia meninju Bhram. Tangan kanan meninju, tangan kiri mengambil dari saku pakaian. Sulit dipercaya, tapi itulah kenyataannya.
Samuel tanpa banyak kecoh. Ia langsung membuka pintu itu dan melepas rantainya.
Kreeet--
Pintu perlahan terbuka, didalam sangat gelap namun bau amis darah itu semakin tercium bahkan oleh Santi dan Bhram sendiri.
"Sialan!," umpat Bhram
"Tunggulah disini dengan Angga.," ucap Samuel pada sang istri yang lalu dijawab anggukan mengerti darinya.
Samuel dan Xavier memasuki ruangan, mereka tak menemukan apapun karena sangat gelap. Namun ada sedikit cahaya yang muncul dari sela tembok. Mereka menoleh kearah cahaya kecil itu dan semakin mereka berjalan semakin pula bau darah itu tercium.
Xavier lalu tak sengaja menyentuh sesuatu di kakinya. Ia sontak berjongkok dan melihat apa itu. Itu ternyata adalah sebuah cambuk yang sudah dipenuhi oleh darah, apalagi darah tersebut masih basah. Sepertinya telah terjadi penyiksaan disini.
"Apa Tuan Ardiwinata itu memenjarakan seseorang disini? Apa mungkin dugaanku bahwa itu adalah Alvaro benar?," batinnya yang mulai gelisah ketika melihat cambuk itu.
Tak jauh dari cambuk tersebut, Samuel menatap tak percaya. Rahangnya mulai mengeras, tatapan nya tajam menuju kearah sosok yang tergeletak tak sadarkan diri disudut ruangan tersebut.
"Xavier" panggilnya pada sang anak
"Ya, ayah?," jawab Xavier.
Xavier yang melihat ayahnya kembali diam, ia merasa bingung. Lalu ia mengikuti tatap mata Xavier dan lalu matanya pun ikut tertuju pada sosok yang dilihat ayahnya itu. Sontak ia terkejut, jantungnya terasa berhenti berdetak.
"ALVAROO!!!!,"
...✧✧✧✧✧...
Alvaro's Diary
Sungguh. Seharusnya aku tak lahir di dunia ini, itu akan lebih baik. Aku sangat lelah..., tak mengapa jika mereka seperti ini. Tapi setidaknya..., setidaknya tolong..., beritahu aku apa salahku..., apa yang sebenarnya harus kulakukan?..., Papa..., Mama..., kenapa harus seperti ini..., aku sungguh tak mengerti. Kenapa semuanya begini? Apa yang salah? Aku..., aku lelah...,
...✧✧✧✧✧...
...End Of Chapter 11...
...✧✧✧✧✧...
......Guys sorry ya saya gak up kemarin. Oh iya, terimakasih banyak karena sudah mampir dan membaca karya ini sampai sini. Saya sebagai Author pemula yang baru bikin karya, seneng banget karena ada yang baca karya ini. Dari like, comment, & subs kalian, semua itu berarti banget. Terus dukung karya ini ya, saya bakal berusaha untuk membuat cerita ini menjadi semakin menarik dan tak membuat kalian bosan. Sekali lagi, terimakasih banyak🩷🩷🩷......