[UPDATE 2 - 3 CHP PERHARI]
"Hei, Liang Fei! Apa kau bisa melihat keindahan langit hari ini?"
"Lihat! Jenius kita kini tak bisa membedakan arah utara dan selatan!"
Kira kira seperti itulah ejekan yang didapat oleh Liang Fei. Dulunya, dia dikenal sebagai seorang jenius bela diri, semua orang mengaguminya karena kemampuan nya yang hebat.
Namun, semua berubah ketika sebuah kecelakaan misterius membuat matanya buta. Ia diejek, dihina, dan dirundung karena kebutaanya.
Hingga tiba saatnya ia mendapat sebuah warisan dari Dewa Naga. Konon katanya, Dewa Naga tidak memiliki penglihatan layaknya makhluk lainnya. Dunia yang dilihat oleh Dewa Naga sangat berbeda, ia bisa melihat unsur-unsur yang membentuk alam semesta serta energi Qi yang tersebar di udara.
Dengan kemampuan barunya, si jenius buta Liang Fei akan menapak puncak kultivasi tertinggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 Langkah Perpisahan: Liang Fei Meninggalkan Sekte Naga Putih
Zhou Lin mengingat ketika dia menusuk Patriark Long Ye dari belakang dengan sebuah item Demonic yang mampu menghancurkan dantian seorang kultivator.
Dia sangat menikmati ekspresi yang dibuat oleh pria tua itu—ketidakpercayaan, kesedihan, amarah, semuanya menjadi satu.
Patriak Long Ye adalah orang yang sangat kuat, mengingat kultivasinya yang berada di ambang Raja Alam.
Namun, Zhou Lin telah mempersiapkan banyak hal dari lama untuk mengakhiri hidup pria tua itu, mulai dari meracuninya dengan teh yang setiap malam Patriak Long Ye minun dan merencanakan Long Yuan yang menjadi iblis.
Racun itu tidak akan berdampak secara langsung pada tubuhnya, tapi melemahkan dantian-nya sedikit demi sedikit sehingga tidak ada yang menyadarinya.
'Untung saja si tua bangka itu tidak memanggil pelindung sekte sejak awal. Jika itu terjadi, situasinya akan menjadi lebih rumit.'
Sejak mengamuknya Long Yuan, Patriak Long Ye tidak menganggap hal itu sebagai ancaman yang dapat menghancurkan sektenya.
Selain itu, Long Ye berpikir bisa menyelamatkan Long Yuan secara kekeluargaan. Oleh karena itu dia tidak memanggil pelindung sekte karena tidak hanya akan membunuh cucunya, tapi juga akan mengungkap rahasia terbesar sekte Naga Putih.
Tentu saja semua hal itu ada di dalam kendali Zhou Lin sebagai salah satu penatua kepercayaan sang Patriak.
Zhou Lin melihat Mei Lin dan tahu bahwa putrinya sangat cerdas dan memiliki intuisi tajam. Dia tidak terkejut ketika mengetahui bahwa Mei Lin punya dugaan tentang keterlibatannya dalam kematian Patriark Long Ye.
Namun, di tengah upaya perbaikan kehancuran di Sekte Naga Putih, dia tidak ingin pembicaraan mereka bocor.
"Ayah hanya melakukan apa yang diperlukan untuk menyelamatkan sekte dan memastikan kelangsungan kita. Patriark Long Ye terlalu lunak dalam memimpin sekte ini," kata Zhou Lin dengan nada lebih rendah, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.
Mei Lin memperhatikan ayahnya dengan cermat, mencari kebenaran di balik kata-katanya.
"Dan apa rencanamu ke depannya, Ayah? Apakah kita akan berdamai dengan Kekaisaran atau malah memancing perseteruan dengan mereka?" tanya Mei Lin dengan penuh rasa ingin tahu.
Zhou Lin menghela nafas. Pertanyaan putrinya mencerminkan kenyataan rumit yang harus dihadapinya.
"Untuk saat ini, kita harus tenang dan membangun kembali kekuatan kita. Kekaisaran memiliki mata dan telinga di mana-mana. Jika kita membuat langkah yang salah, itu bisa membawa kehancuran pada kita."
Mei Lin mengangguk, memikirkan kata-kata ayahnya.
Ayah dan anak itu memiliki sifat yang sama. Mereka bisa dengan mudah mengubah rekan menjadi musuh, begitu pula sebaliknya.
Hampir setiap tragedi yang terjadi di Sekte itu adalah hasil ulah mereka, termasuk kematian Patriark sebelumnya.
Tidak ada yang mencurigai mereka karena sifat baik mereka yang terlalu menonjol.
"Daripada mengurusiku, lebih baik kau mengawasi anjing peliharaanmu itu. Sepertinya kendalimu padanya sudah mulai longgar."
Mei Lin tersenyum, "Dia akan tetap menjadi milikku, tak peduli seberapa berubahnya dia."
"Kuharap obsesimu itu tidak membuat instingmu tumpul," balas Zhou Lin, merasa bahwa kecintaan putrinya sudah melampaui batas.
"Tenang saja, Ayah." Mei Lin segera pergi dari hadapan ayahnya, langkahnya agak cepat dan penuh kegembiraan seperti seorang gadis pada umumnya.
Sambil bersenandung, Mei Lin melewati Liu Bei yang sedang berlutut sambil memeluk batu nisan ayahnya. Liu Bei menangis tersedu-sedu, tak mampu menghadapi kenyataan kematian ayahnya, Liu Zhang.
'Kasihan sekali. Tapi, kenapa aku harus peduli?' batin Mei Lin sambil menutup mulutnya, menahan tawa.
Tidak hanya Liu Bei yang bersedih di tengah tragedi yang melanda sekte itu. Banyak murid yang kehilangan sahabatnya, seorang anak yang kehilangan orang tuanya, hingga seorang pelayan yang kehilangan rekan kerjanya.
Di antara kesedihan itu, Mei Lin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda empati. Dia melangkah melewati mereka semua dengan sikap acuh tak acuh, sembari menjaga senyum kecil di wajahnya.
Dia merasa bahwa dia dan ayahnya sedang di atas angin, mengendalikan narasi sekte ini sesuai keinginan mereka.
Saat dia melintas, beberapa murid lain menatapnya dengan heran. Mereka bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa tetap begitu ceria di tengah segala kesedihan yang terjadi.
Namun, tidak ada yang berani menyuarakan kecurigaan mereka dengan lantang. Sekarang, hanya keluarga Lin yang memegang kuasa di Sekte Naga Putih, dan risiko menantang mereka terlalu tinggi.
Mei Lin terus melangkah hingga mencapai paviliun kecil yang terletak di tengah taman bunga sakura yang mulai gugur.
Di sanalah Liang Fei duduk termenung sendirian.
"Liang Fei," sapa Mei Lin gembira, namun Liang Fei masih diam termenung.
"Liang Fei, ada apa denganmu?" tanya Mei Lin kebingungan, nada suaranya sedikit lebih lembut.
Liang Fei perlahan menyadari kehadiran Mei Lin, tatapan matanya masih kosong dan suram.
"Aku hanya memikirkan semua yang telah terjadi," jawabnya pelan.
Mei Lin duduk di sampingnya, mencoba memasang wajah peduli meski dalam hatinya merasa sangat puas dengan perkembangan situasi itu.
"Ini adalah masa yang sulit bagi kita semua," ujarnya, meniru nada empati yang meyakinkan.
Liang Fei terdiam sejenak sebelum mengatakan sesuatu yang membuat Mei Lin sangat terkejut, "Aku berniat pergi dari sekte ini."
"Kenapa kau mengatakan hal itu? Apakah kau ingin melupakan kenangan bersama kakekmu di tempat ini?"
Liang Fei merenung lagi, memikirkan kakeknya yang telah tiada. Meskipun bukan kakek kandungnya, kasih sayang yang ia berikan melebihi peran orang tua kandung.
Ia bisa bertahan di sekte tersebut meskipun penuh hinaan karena kenangan manis kakeknya yang masih melekat di dalam hatinya.
Meskipun begitu, Liang Fei harus berani melangkah lebih maju. Ia sadar dirinya masih lemah dan harus terus melatih teknik warisan Dewa Naga miliknya.
Ia juga harus membuktikan kepada Jing Yan kalau dirinya pantas untuk bersanding dengan Seo Yun.
Mei Lin berusaha untuk tidak menunjukkan keterkejutannya setelah mendengar keputusan Liang Fei.
"Liang Fei, apa kau sungguh ingin meninggalkanku? Apa kau ingin meninggalkan penghuni sekte dengan kondisi seperti ini?"
Liang Fei mengangguk sambil terdiam, jelas sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. Dia melirik ke arah Mei Lin, seolah mencari jawaban di balik ekspresi tenangnya.
"Sekte ini memang berarti bagiku, tapi setelah semua yang terjadi padaku, aku merasa kehilangan arah," ujar Liang Fei dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Menjadi buta membuat Liang Fei sadar, dirinya tidak lebih dari sekedar alat untuk menunjang status sekte menjadi yang terkuat. Dan ketika dirinya kehilangan kemampuan, ia hanya dianggap sebagai sampah.
Bohong jika Liang Fei tidak membenci sekte Naga Putih atas semua hinaan dan perlakuan mereka. Liang Fei bukanlah malaikat yang akan memaafkan setiap kesalahan orang-orang.
Liang Fei menganggap tragedi yang menimpa sekte Naga Putih beberapa hari lalu adalah takdir. Sebuah balasan untuk setiap kejahatan yang ada di tempat itu.
"Maafkan aku, tapi aku akan tetap pergi. Terima kasih untuk semuanya, Mei Lin."
Liang Fei berdiri, tekadnya sudah bulat dan tidak bisa dihentikan oleh siapapun termasuk Mei Lin.
Tidak butuh waktu lama bagi Liang Fei untuk beranjak pergi, ia tidak punya barang apapun untuk dibawa bersamanya. Hanya sebuah pedang usang yang selalu menemaninya.
"Liang Fei kembalilah!"
Mei Lin memanggil Liang Fei yang beranjak keluar gerbang sekte, nadanya keras dan sedikit memerintah. Namun, Liang Fei tidak terpengaruh. Ia tetap melanjutkan langkahnya dengan mantap.
Mei Lin mulai menangis, suaranya lirih dan bergetar, "Tidak, kau adalah milikku, Liang Fei."
Mei Lin merasakan amarah dan rasa frustrasi yang membara di dalam hatinya saat melihat Liang Fei berjalan menjauh.
Dia tidak pernah menyangka bahwa Liang Fei, yang selama ini dipandangnya sebagai anjing peliharaan yang patuh dan bisa dia kendalikan, memiliki keberanian untuk pergi begitu saja.
Kehilangan Liang Fei adalah sesuatu yang tidak pernah Mei Lin rencanakan. Ia sangat mencintai pria itu dan rela melakukan apapun untuk mendapatkannya, sudah tidak terhitung banyaknya nyawa yang dia hilangkan demi Liang Fei.
Tapi sekarang, Mei Lin tidak berdaya menghadapi tekad Liang Fei yang ingin pergi darinya.
Mei Lin terdiam sejenak, merasakan emosi yang bercampur aduk dalam dirinya. Amarah, frustrasi, dan sedikit rasa sakit karena kehilangan meluap dalam hatinya.
Dia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja, namun, untuk pertama kalinya, dia merasa tidak memiliki kendali atas situasi ini.
Sementara itu, Liang Fei melangkah keluar dari Sekte Naga Putih, meninggalkan segala kenangan baik dan buruk di belakangnya.
Dia menggenggam pedangnya erat-erat, seolah mendapati kekuatan dan kepercayaan diri dari senjata tersebut.
Dalam hatinya, Liang Fei tahu bahwa perjalanan ke depan akan penuh tantangan, tetapi dia merasa bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya.