Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35 - Olahraga bersama
Pasangan yang masih hangat-hangatnya itu tengah berolahraga pagi. Kaivan yang mengajak istrinya.
"Ihh aku capek." Aruna berhenti, dia ngos-ngosan mengimbangi langkah Kaivan.
"Dikit lagi sampai." Kaivan ikut berhenti di depan Aruna.
Bukannya menghampiri sang suami, Aruna duduk di aspal. Tidak menghiraukan teriakan Kaivan yang menyuruhnya berlari lagi.
Kaivan terkekeh, ia berjalan menghampiri istrinya. Berjongkok di depan gadis tersebut.
"Nah minum dulu." Kaivan membuka botol air minum yang mereka bawa dari rumah.
Aruna menyambar botol air minum tersebut, meneguk airnya sampai tak tersisa sedikit.
"Eh pak Kaivan?"
Kaivan dan Aruna menoleh ke arah suara.
"Pak Calvin." Kaivan berucap saat melihat Calvin dan istrinya mungkin juga tengah berolahraga pagi.
"Kebetulan sekali kita bertemu, ibu Aruna kenapa?"
"Ibu? No! Aruna masih muda," koreksi gadis tersebut. Ia memegang tangan Kaivan lalu berdiri.
Calvin menggaruk belakang kepalanya tak gatal. Paska di mall, Kaivan memintanya memanggil Aruna dengan sebutan ibu. Sekarang malah dikoreksi.
"Pak Kaivan, saya boleh panggil istrinya sebutan nama saja?" tanya Calvin.
"Iya boleh."
Sebenarnya Calvin heran dengan sikap Kaivan akhir-akhir ini kepadanya. Yang pertama kali bertemu, lelaki itu bersikap judes dan seadanya. Namun, sekarang sikapnya begitu ramah.
"Halo bibi." Aruna melambaikan tangannya pada Aliza. Mereka pernah bertemu di mall, tentu saja Aruna masih mengingatnya.
"Halo, gimana kabarnya?" tanya Aliza basa-basi.
"Baik, aku udah sembuh."
"Alhamdulillah, turut senang mendengarnya."
"Pak Calvin, gimana kalau kita berempat olahraga bersama? Sepertinya seru," ajak Kaivan lebih dulu, hal tersebut membuat Calvin semakin aneh dengan sikapnya.
"Boleh, ayo mas."
"Aruna ayo." Aliza mengajak Aruna, Aruna yang tadinya udah menyerah di tengah jalan seketika semangat.
Aliza dan Aruna berlari kecil lebih dulu, meninggalkan para lelaki yang berada di belakang.
"Ayo pak." Kaivan lari lebih dulu.
Calvin menggaruk lehernya yang tak gatal. Ya sudahlah, tidak perlu dia pikirkan. Mungkin Kaivan emang begitu. Ia pun ikut berlari mengimbangkan dirinya dan Kaivan.
"Saya dengar lagi ada masalah di kantor, ya?"
"Iya ada. Saya mengalami kerugian besar di visi penjualan."
"Butuh bantuan, pak?" tanya Calvin, sebagai seseorang yang menjalin hubungan rekan kerja, Calvin memang seharusnya membantu Kaivan.
"Tidak perlu, masih bisa saya atasi." Kaivan menolak dengan halus.
Selama ia menjabat sebagai ceo, belum ada rekan bisnisnya menawari bantuan yang dia terima. Ia masih bisa mengatasi perusahaanya sendiri, menurutnya jika ia masih bisa ia tak perlu meminta bantuan.
Mereka beralih memandang istri mereka yang berada di depan. Keduanya terlihat begitu dekat, dan asik.
"Mikirin apa, pak?"
Calvin menoleh ke arah Kaivan sekilas. "Mikirin anak saya, jika seandainya dia ada di sini mungkin sudah sebesar istri anda."
"Jika seandainya istri saya anak anda, gimana tanggapan pak Calvin." Melihat tatapan bingung Calvin membuat Kaivan kembali berbicara. "Ini perandaian, pak. Seandainya."
"Yang jelas saya akan merasa sangat senang, itu juga bukan hanya berlaku ke Aruna jika seandainya istri pak Kaivan adalah anak saya, tapi juga ke gadis lain di luar sana yang kemungkinan anakku."
Kaivan mengangguk mengerti.
"Mas kita singgah dulu yok. Kita makan bubur ayam, keknya enak sarapan pagi-pagi. Gimana pak Kaivan, Aruna setuju gak?"
"Aruna setuju."
"Saya ngikut aja."
Mereka pun mampir ke tempat makan bubur ayam. Mereka memesan empat porsi.
"Di samain aja," sahut Kaivan. Aliza pun mengangguk lalu memulai memesan.
Sekitar beberapa menit pesanan pun siap. Mereka makan saling berhadapan.
"Sini." Kaivan menukar mangkok bubur mereka. "Kamu makan punya saya, sudah saya pisahin bawang gorengnya." Kaivan langsung peka saat istrinya enggak untuk memakan sebab ada bawang goreng, mungkin Aruna kurang suka dengan bawang goreng.
"Makasih, Ipan." Aruna tersenyum lalu mulai memakan buburnya.
"Aruna enggak suka bawang goreng seperti kamu mas," bisik Aliza pada suaminya saat mendengar pembicaraan pasangan di depan mereka.
"Kamu mikir apasih? Hanya kebetulan."
"Ih aku juga cuma bilang kok, aku enggak berharap lebih jika Aruna bukan anak kita yang kita kira."
Setelah bertemu di mall waktu itu, Aliza benar-benar membandingkan suaminya dengan Aruna yang banyak kesamaan. Dari itu, Aliza sering berandai bahwa Aruna adalah anak mereka.
"Eh kalian tim bubur di aduk apa tidak?" tanya Aliza.
"Aruna tim semuanya."
"Saya suka semuanya."
Calvin dan Aruna kompak menjawab membuat Aliza dan Kaivan memandang pasangan masing-masing.
"Hm... Pak Kaivan apa?"
"Saya diaduk."
Aliza manggut-manggut saja. Ia melirik sang suami, Calvin hanya fokus memakan buburnya tanpa membalas liriknya istrinya.
Usai sarapan bubur, mereka memutuskan berpisah di sana. Sebab arah rumah mereka berbeda.