Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Cuma Goresan
Aku mengeluarkan karbondioksida yang tadi sempat tertahan di paru-paru karena terlalu takut kepada Johan yang sibuk memeriksa ponselkuku. Tiba-tiba aku tersadar akan sebuah fakta yang tak terpikirkan olehku karena aura mengerikan Johan.
Tak ada video terbaru yang dia temukan! Padahal aku yakin seratus persen bahwa aku sempat merekam tindakan Johan kepada mbak Nina dan menyimpannya ke galeriku. Tapi, bagaimana mungkin Johan tak menemukan apapun? Apa jangan-jangan ponselku sudah mulai error ya?.
"Dek Ichanya mas Raka kok disini sih?"
Wajah menyebalkan mas Raka tiba-tiba muncul di depanku, membuat semua rasa bingung akibat misteri video yang hilang langsung buyar.
Aku memandang wajah mas Raka yang kini dihiasi dengan cap tangan di berbagai sisi. Sepertinya dia baru saja dianiaya oleh mas Jems dan mbak Bian yang aku tak tahu apa alasannya. Memang sih wajah polos mas Raka ngeselin, lebih mirip wajah om-om mesum yang berpura-pura lugu.
"Jangan diliatin gitu dong masnya dek, mas jadi susah bernafas nih. Tenggelam di dalam lautan matamu, eaaakk!"
Gombal mas Raka sambil menaik turunkan alisnya. Dan dalam hitungan detik kemudian, mas Raka sudah menghilang dari hadapanku. Tentu saja karena Mbak Bian yang menyeratnya pergi menuju dapur. Hanya suara rintihan memohon ampun dan bunyi pukulan saja yang terdengar di telingaku.
Melihat tingkah mas Jems yang sama sekali tak merasa canggung saat menghajar mas Raka membuatku menyimpulkan bahwa mas Jems juga mengenal mas Raka. Tapi wajar sih, sebagai sahabat dari lahir mbak Bian, mas Raka pasti juga mengenal mas Jems.
Tiba-tiba sebuah pemikiran gila terlintas di benakku. Jangan-jangan mas Raka datang kesini untuk menggagalkan mas Jems melakukan sesuatu ke mbak Bian? Mengingat saat ini sudah tengah malam dan alasan membawa putu bambu sedikit tidak masuk akal. Aku jangan-jangan, kalau seandainya tidak terjadi insiden Johan, mungkin saat ini mas Jems dan mbak Bian sedang.......
Aku mengipas-ngipas wajahku yang terasa panas. Buset dah, sejak kapan aku punya pikiran mesum seperti ini? Padahal sepanjang pelajaran reproduksi dari jaman SMP hingga kuliah, tak pernah sekalipun aku merasa malu seperti ini.
Menyadari wajahku yang mulai memerah, mbak Bian segera menghentikan amukannya ke mas Raka dan mulai berjalan mendekatiku.
"Lo nggak apa kan Cha?"
Mbak Bian memandangku dengan tatapan cemas. Wajah cantiknya membuatku sedikit terpana. Sekarang aku semakin kagum dengan mbak Bian. Bukan cuma cantik, mbak Bian ternyata seseorang yang pemberani, bahkan dia tak ragu untuk menantang Johan. Oh dunia, betapa tak adilnya dikau. Udah cantik, pintar, sukses, pemberani, tolong dong berikan kelebihan mbak Bian sedikit saja ke diriku yang hanya remahan rengginang ini!
"Cha?"
Mbak Bian kembali memanggilku, ekspresi khawatir semakin menjadi-jadi di wajahnya.
Dengan cepat aku menggelengkan kepala
"Aku baik-baik aja kok mbak!"
Jawabku, berusaha meyakinkan mbak Bian.
Mbak Bian tak serta merta mempercayai ucapanku. Dia mulai memutar tubuhku ke kiri dan ke kanan, depan dan belakang untuk memastikan bahwa aku memang baik-baik saja.
"Ish, aku baik-baik aja kok mbak!"
Aku mengulangi kalimatku dengan penuh penekanan.
Tiba-tiba wajah mbak Bian membeku, dengan gemetaran tangannya meraih tanganku dan memandang punggung tanganku dengan ekspresi horor.
"Johan sialan!!"
Umpatnya tiba-tiba
"Berani-beraninya dia nyakar tangan Icha!"
Aku hanya bisa terplongo memandangi mbak Bian dan tanganku secara bergantian. Cakaran yang mbak Bian maksud hanyalah goresan kecil yang muncul akibat rampasan paksa Johan saat mengambil ponselku.
Mbak Bian menghentakkan kakinya, emosi. Dia lalu menurunkan kembali tanganku dengan hati-hati dan mulai berjalan menuju pintu dengan wajah penuh amarah
"Botak sialan!"
Umpatnya sepanjang jalan.
Tanpa aba-aba, mas Jems dan mas Raka langsung menghalangi langkah mbak Bian, mencegatnya dari kedua sisi dan mulai memiting tubuh mbak Bian yang mencoba berontak.
"Lepas! Gue mesti bikin perhitungan sama si botak!"
Mbak Bian meronta semakin keras, membuat mas Raka dan mas Jems kepayahan. Mereka bahkan harus mengunci kaki dan tangan mbak Bian agar berhenti berontak.
Pemandangan yang tersaji di depanku membuat aku merasa sangsi bahwa mas Jems adalah kekasih mbak Bian. Bagaimana mungkin seorang pria bisa memiting wanita yang dicintainya tanpa ampun seperti ini? Tapi lagi-lagi fikiran positifku menjawab, mungkin mas Jems tak ingin mbak Bian terlibat dalam masalah dengan orang yang dari wajahnya saja terlihat berbahaya.
"Kalian nggak ngelepas gue, jangan salahin gue kalau gue pakai kekerasan!"
Protes mbak Bian semakin kesal.
Aku sedikit kaget saat mendengar ucapan mbak Bian, sedikit tak menyangka bahwa mbak Bian yang cantik dan anggun bisa mengeluarkan kata-kata dengan nada mengancam yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
Mas Raka memukul kepala mbak Bian kesal, membuatku sontak meringis karena suara yang ditimbulkan.
"Ingat Bian, lo itu perempuan, perempuan. Sekali lagi, perempuan. Sekali lagi, perempuan!"
Ucap mas Raka kesal sambil menirukan nada bicara seperti yang sering muncul di iklan kulit manggis.
Tubuh mbak Bian akhirnya berhenti berontak. Dia lalu menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya
"Udah, udah tenang gue."
Ucapnya sambil menepis tangan mas Raka dan mas Jems.
Mas Raka dan mas Jems langsung terduduk lelah di lantai. Mereka mulai mengipas-ngipas wajah mereka dengan tangan, seolah menghentikan mbak Bian adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Padahal menurutku tak mungkin mas Jems dan mas Raka kewalahan menghadapi mbak Bian. Aku pikir mereka hanya berpura-pura mengeluarkan kekuatan penuh untuk menghentikan mbak Bian.
Tapi, keringat yang mengucur di dahi mas Jems dan mas Raka seakan menjadi jawaban asumsiku. Mereka tak berpura-pura mengeluarkan kekuatan saat menghentikan mbak Bian, kenyataannya mereka benar-benar mengerahkan kekuatannya secara maksimal.
"Ingat, lo itu perempuan, Bi!"
Mas Raka mengulangi kalimatnya. Entah kenapa aku merasa mas Raka sedikit menekan pengucapan perempuan di setiap katanya.
Mbak Bian mendengus sebal, perlahan bangkit dan kembali berjalan ke depanku. Tanpa basa-basi dia langsung menarik tanganku. Mendudukkanku di sofa kecil miliknya. Mbak Bian lalu meraih kotak P3K yang terletak di meja. Dia membersikan bekas goresan yang tak seberapa ini di tanganku dan menempelkan plaster dengan motif panda, hewan favoritku.
"Makasih mbak"
Ucapku dengan senyum lebar, sengaja memamerkan gigi tak rapihku.
Samar-samar aku melihat rona merah muncul di pipi mbak Bian. Sepertinya dia juga merasa lelah karena melawan mas Jems dan mas Raka. Makanya pipinya bersemu merah seperti ini.
"Sama-sama"
Balas mbak Bian sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“Cha!”
“Huh?”
Mas Raka tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Membuatku dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara mas Raka bisa selalu muncul secara mendadak.
"Yuk kita keluar aja yuk? Nggak enak ganggu Jems yang kayaknya mau ena-ena sama Bian. Mending Icha sama mas, kita bisa nongkrong di kamar Icha, terus.."
Ucapan mas Raka tak bisa dia selesaikan karena saat ini mbak Bian dan mas Jems kembali menyeret tubuh mas Raka menuju toilet dan menutup pintunya rapat-rapat. Dari dalam terdengar suara gaduh sekaligus suara mas Raka yang memohon ampun, lebih keras dari pada sebelumnya.