Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva lagi
"Nih Bu, kiriman dari Mas seno." menyerahkan uang lembaran biru ada enam belas lembar.
Ibu pun segera meraihnya dari tanganku, menyimpannya di balik saku bagian dalam, baju berlapis miliknya.
"Kemarin aku lihat ibu di belakang pasar, ngapain? Ibu juga dekat sama Mbak Lusia?" tanyaku, sengaja memasang wajah jutek. Sebenarnya aku sedang bersandiwara, mana tahu ibu bisa ku kelabuhi.
Tapi, ibu menatap tajam diriku, lalu mendekat dengan langkah pelan, ngeri juga ternyata di perlakukan seperti ini. "Menurutmu?" tanya ibu.
"Nganterin kue kok sampai jauh sekali Bu, bukankah ibu tidak pernah mau terima orderan jauh, diantar sendiri lagi!"
Ibu masih diam, menaruh curiga mungkin.
Aku mendesah kesal. "Ya sudah, aku pulang." ucapku.
"Tunggu!" cegah ibu, aku pun berhenti, berbalik badan perlahan.
"Jangan bicara apapun sama Seno, kecuali kamu sudah siap kehilangan dia."
Degh! Kehilangan yang bagaimana ini? Aku menghela nafas memikirkan ancaman ibu mertua yang seperti tidak main-main.
"Ya aku harus bicara lah, ibu rela menghantarkan kue sampai jauh, sedangkan main ke rumah ku, ibu tidak mau." jawabku sinis, berpura tidak tahu saja, aku tidak mau ambil resiko.
Aku berjalan kaki menapaki gang, pikiranku rumit memikirkan ucapan ibu yang jelas mengancam.
Apa ku katakan saja sama Mas Seno? Aku juga tidak mau mas Seno terkesan polos, atau bahkan mereka anggap bodoh lantaran tidak tahu apa-apa. Tapi, bagaimana kalau mereka macam-macam?
Untungnya, aku sudah menitipkan Seina kepada mbok Yun, aku jadi bebas berjalan kaki sebelum menemukan ojek atau angkot.
Rumit sekali, tiba-tiba saja aku menyesali keinginan ku untuk membeli emas yang hanya se-uprit ini, Andai saja aku tidak keluar kemarin itu, mungkin hidupku masih baik-baik saja. Hanya menunggu mas Seno pulang bekerja dengan rasa aman, laku berakhir bahagia hingga esok dia berangkat bekerja lagi.
Sialnya diriku...
Namun seketika mataku membulat sempurna. Baru saja aku keluar dari tikungan, sebuah mobil tampak meluncur seperti bola di lempar.
"Aaaaaagghh!" aku menutup mataku, tak sempat menghindar pastilah ma-ti.
Ciiiittttt!
Brakkk!
Sebuah tangan menggeretku agar lekas menjauh hingga terhempas ke dinding pagar beton, punggung ku sakit.
Pulih kesadaranku dan ternyata Mas Dias yang menarik ku begitu keras.
"Mas?"
Pria itu kembali menarik tanganku berlari masuk ke lorong sempit. Tanpa bicara ia terus saja membawa diri ini melaju, mengayuh kedua kaki hingga jauh menghindari jalan raya.
"Ngapain lari Mas?" protes ku, terengah-engah mengatur nafas. Aku berdiri, berhenti berlari.
"Nanti aku jelaskan." kembali menarik tanganku, mau tak mau aku ikut saja, mengingat kami sudah pernah berlarian seperti ini sebelumnya. Hingga tiba di jalanan yang tak terlalu ramai, mas Dias menoleh kiri kanan, lalu mengajakku segera menuju mobilnya yang terparkir.
"Mas?"
"Masuk!" titahnya. Aku menurut, takut juga sendirian di jalanan ini.
Mobil melaju cukup kencang, sesekali ia melihat kaca, takut ada yang mengikuti.
"Ada apa sebenarnya Mas?" tanyaku penasaran, nafasku saja masih ngos-ngosan.
"Ada apa, ada apanya?" kesal Mas Dias tiba-tiba menoleh ku kesal.
Aku terdiam, terkejut sudah pasti karena dia tak pernah seperti itu sebelumnya.
"Maaf." ucapnya kemudian, ku lihat dia juga mengatur nafasnya, menghela berkali-kali.
Baru saja kami merasa tenang, tiba-tiba dari arah depan muncul dua orang pria yang berdiri membawa golok tepat di tengah Jalan yang sepi.
"Mas!" aku panik, tapi Mas Dias malah menambah kecepatannya.
"Mas, jangan Mas, aku tak_ Aaaaaarghhhh!" aku menutup wajahku sambil berteriak kencang. Mobil yang kami kendarai ini menerobos saja hingga terdengar suara hantaman yang keras, oleng, berdecit, lalu kembali melaju lancar.
"Ya Allah!" aku menangis histeris, menutup mulut agar tak bersuara. Jangankan menoleh, melihat kaca saja aku tak berani. Tak bisa ku bayangkan bagaimana pria itu tertabrak, apakah terlindas juga? Mataku hanya sempat melihat wajah pria itu panik sebelum aku memejamkan mata.
Mas Dias hanya diam, meraih jariku lalu menggenggamnya tanpa kata.
Aku semakin tergugu, takut sekali. "Mengapa kamu menabraknya Mas?" tanyaku sambil terisak.
"Pilihannya ada dua, kita yang mati atau dia?" jawab Mas Dias.
"Tapi bisa menghindar kan?" protes ku lagi.
"Menghindar terlalu beresiko, bisa-bisa pisaunya menghantam kaca lalu kamu yang terluka." jelasnya lagi.
Aku semakin menangis, takut dan tak menyangka Mas Dias sangat kejam. "Harusnya kau tidak mengajakku." sesalku.
"Aku tidak akan mengajakmu kalau kamu nggak ada di situ!" Kesalnya, menolehku dengan kesal seperti tadi. "Lagian kamu itu ngapain kelayapan, kemarin tiba-tiba di sana, sekarang tiba-tiba di sini." omelnya.
"Aku nggak kelayapan!" jawabku.
"Kalau bukan kelayapan terus apa? Jadi istri itu benernya ya di rumah! Kecuali kamu nggak bahagia." dia menatapku penuh selidik.
Ish menyebalkan, apa harus ku jelaskan segala kebahagiaan ku, biar dia tahu?
"Kenapa? Apa Seno marahin kamu? Apa Seno gak ngasih kamu uang?" tanya Mas Dias. Dia kembali menoleh diriku, memperhatikan wajahku berkali-kali sambil menyetir. Namun yang terakhir dia malah fokus ke leherku.
Dia tersenyum sinis, mendadak mulutnya yang cerewet itu diam.
Ku lihat dari kaca depan, tampak jejak gigitan mas Seno berjejer di sana. Bisa-bisanya aku tak sadar.
"Aku dari rumah ibu." kataku, mengalihkan rasa malu ku pada Mas Dias.
"Ngapain ke rumah ibu? Udah tahu kan dia itu jahat? Mereka itu bahaya!" kesalnya.
Dah lah, aku menyerah saja, malas berdebat sama Mas Dias.
"Jangan datang lagi ke rumah ibu mertuamu. Kau tahu aku juga tadi mengikuti Lusia." katanya.
"Lusia dari rumah ibu." kataku pula.
"Aku tahu, aku baru saja melihat dia berciuman dengan seorang polisi. Aku merekamnya di sini."
Aku terbelalak lebar melihat ponsel mas Dias, ada Lusia dan seorang anggota polisi di sana, aku hanya melihat sekilas tanpa menekan tombol putar yang terjeda. Aku ingat wajahnya.
Aku kembali pulang dengan langkah gontai, turun dari tikungan tanpa menoleh, aku takut melihat mobil mas Dias, mana tahu darah pria itu masih menempel di sana.
Sejak hari itu aku semakin merasa was-was, hanya saja tak mau memperlihatkan pada Mas Seno.
Mas Dias pun tak ada kabarnya, meskipun aku penasaran seperti apa nasib mantan kekasih ku itu, tapi tak mungkin aku menghubunginya.
Kata terakhir yang dia ucapkan sebelum aku turun dari mobil. "Jangan takut, aku bersumpah akan selalu menjagamu."
Aku bergidik mendengarnya, bisa-bisanya Mas Dias mengulang ucapan itu hingga beberapa kali. Harusnya dia sadar kalau aku sudah menikah, itupun atas keinginannya.
Aku hanya bisa berdoa sepanjang malam untuk keselamatan kami dan juga Mas Dias. Walaupun sholat ku jarang, namun dalam zikir ku aku meratap, memohon agar semua baik-baik saja, aku juga tak tenang karena tidak tahu kabar Mas Dias, bagaimana pun juga dia adalah orang baik.
Tuhan mengabulkan doaku. Minggu ketiga, aku merasa tenang melihat Mas Dias ada di depan rumah. Walaupun aneh saja rasanya, dia berdiri di depan sana pada tengah malam.
Ingin ku buka tapi takut jadi prasangka, mengingat dia dan aku ini sudah menjadi orang asing.
Namun malam-malam selanjutnya malah Mas Dias bertingkah, dia menggedor rumah Mbok Yun sangat keras. Ingin sekali aku marah padanya, namun setiap kali aku ingin keluar, dia melarang.
Terakhir ku tahu ternyata......
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya