Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
°
°
°
Akmal dan Anaya terkejut melihat siapa yang datang. Gadis cantik tersenyum menawan dengan rambut tergerai indah menenteng koper di tangannya.
"Hai, Kak Akmal, Kak Anaya!" ujarnya tersenyum ramah.
"Kamu... datang sama siapa?" Akmal bertanya kaget, saat melihat sosok di balik pintu.
Anaya terkejut dan bergumam, "Khanza?"
"Sendirian. Budhe yang menyarankan agar aku datang ke sini berkenalan dengan istri Kakak," jawabnya dengan senyum ceria.
Perasaan Anaya campur aduk. Apakah Khanza datang untuk memperburuk keadaan? "Ya Allah, semoga dia tidak lama berada di sini, aamiin," doanya dalam hati.
Akmal membuka pintu lebih lebar lalu mempersilakan tamunya masuk. "Masuklah, Za!"
Khanza melangkah masuk dan memandang seluruh ruangan. "Rumahnya bagus sekali, Kak."
Anaya memaksakan senyum. "Terima kasih. Silakan duduk!"
Khanza duduk di sofa, menatap Anaya. "Kak Anaya, kamu ternyata sangat cantik."
Akmal memperhatikan reaksi Anaya, khawatir akan terjadi kesalahpahaman.
Anaya tersenyum kaku, merasa tidak nyaman. "Terima kasih, Khanza. Kamu juga cantik."
Khanza menatap Akmal. "Kak Akmal, aku minta izin tinggal beberapa hari di sini, ya. Mumpung aku sedang libur."
Akmal terlihat ragu, kemudian menatap Anaya sebelum menjawab, "Boleh. Kamu boleh tinggal di sini sesuka hati. Oh ya, apa kamu sudah makan malam? Kami baru saja selesai."
"Belum, Kak. Apa Kakak Ipar mau memasakkannya untukku?" ucap Khanza dengan manja.
Dengan berat hati, Anaya memenuhi permintaan adik sepupu suaminya itu. Berhubung sudah malam, maka Anaya pun memasak yang simpel, lalu menyajikannya di meja.
Saat ingin memanggil Khanza untuk makan, Anaya harus menyaksikan pemandangan yang menurutnya tidak pantas dilakukan oleh seorang adik sepupu.
"Makanannya sudah siap." Anaya berkata dengan datar.
Khanza berdiri diikuti oleh Akmal, sementara Anaya diam memperhatikan keduanya.
"Lah, kok ayam goreng lagi, aku sudah bosan makan ayam goreng, Kak. Aku mau nasi goreng saja yang special pakai telur ceplok," protes Khanza.
Dengan perasaan mendongkol, Anaya memasak nasi goreng lengkap dengan toping. Kemudian menyajikannya di atas meja tanpa kata.
Dengan antusias, Khanza duduk di kursi makan, dan menyantap nasi goreng. Namun baru satu suapan, ia langsung memuntahkan nasi yang baru saja dimakannya. "Huh.. hah... pedas...pedas banget! Kak Naya sengaja mau membuat perut aku sakit, ya?"
"Maaf, tapi ini resep dari Bunda, kalau kamu bilang tidak enak berarti kamu menghina masakan Bunda! Mau kamu sebenarnya apa? Mau mengerjai aku, kan?" Anaya berusaha menekan emosinya. Lantas Anaya mengambil piring yang berisi nasi goreng dan tanpa ragu membuangnya ke tempat sampah, kemudian dengan kasar meletakkan piring tersebut ke wastafel.
Akmal terkejut melihat reaksi Anaya, tapi tidak melakukan apapun. Ia masih diam mengawasi istrinya dan menunggu hal apa yang akan dilakukannya.
"Kamu pikir dirimu siapa? Baru datang membuat ulah di rumah orang. Aku bukan perempuan pengangguran yang hanya menikmati kerja keras suami. Jadi kalau mau makan, ya usaha sendiri. Jangan sok jadi bos di rumah orang!" Anaya berkata dengan penuh penekanan, merasa lega telah mengeluarkan uneg-unegnya, setelahnya ia langsung pergi ke kamarnya.
Khanza merasa sedih, dengan airmata berurai di wajahnya. Akmal mendekat dan berusaha menenangkan. "Maaf ya, Za. Mungkin Kak Naya, lagi PMS, ditambah lagi dia juga capek setelah seharian bekerja, jadi tolong dimaklumi, ya," tutur Akmal lembut, lalu bergegas menyusul Anaya ke kamar.
Sedangkan Khanza tersenyum culas, sembari mengusap airmata buayanya. "Sempurna, sebentar lagi badai akan datang, dan mereka pasti akan bertengkar hebat. Hehhh, kamu memang cerdas Khanza."
°
Di dalam kamar Anaya baru saja keluar dari kamar mandi. Dia memalingkan wajahnya kala bertatap mata dengan suaminya.
Anaya menuju meja rias untuk melakukan rutinitas malamnya. Akmal menghampirinya dan memeluknya dari belakang.
"Nay, maaf. Aku tidak bermaksud membela siapapun, tapi apa reaksimu tadi tidak terlalu keras? Khanza tamu di rumah kita," ucap Akmal hati-hati.
"Justru karena dia tamu harusnya tahu diri. Aku bukan wanita yang tidak peka dengan kedatangan wanita lain, yang berusaha menghancurkan hubungan kita. Aku sangat-sangat paham ciri-ciri pelakor!"
Akmal menyangkal, "Khanza tidak mungkin seperti itu, Nay! Aku menyayanginya seperti adikku sendiri."
Anaya melakukan pembelaan diri untuk mempertahankan asumsinya. "Mungkin Mas Akmal memang menganggapnya seperti itu, lalu apakah dia juga beranggapan yang sama? Di mana kepekaanmu Mas? Apa kamu tidak lihat bagaimana matanya menatapmu begitu memuja?"
Akmal terpaku beberapa saat untuk menggali memorinya. Bagaimana saat kanak-kanak dulu, Khanza yang selalu berusaha mencuri perhatian padanya, bahkan April sampai menangis karena harus selalu mengalah pada Khanza untuk mendapatkan kasih sayang kakaknya.
Akmal menggelengkan kepalanya, mencoba menolak kenyataan yang ada.
"Mas Akmal itu selalu peka pada Kak Arbi, bahkan wanita seperti apa yang mendekatinya selalu bisa menebak. Lalu, kenapa justru tidak bisa membentengi diri sendiri?" Anaya terus menyerocos mengeluarkan argumennya.
"Haruskah aku menarik ucapanku untuk percaya pada Mas Akmal? Terus terang aku lebih suka Kak Akmal yang tengil dan selengean daripada yang sekarang. Sok berwibawa tapi tidak peka!"
"Dan satu lagi, aku bukan Risna yang lemah lembut dan anggun, tapi aku Anaya Putri, yang dijuluki si ibu tiri Adzana. Kemarin saja aku lagi sial sampai kalah sama mereka!"
Usai mengeluarkan semua kekesalan hatinya Anaya langsung pergi ke tempat tidur, membelakangi Akmal yang seolah mati gaya, tidak berkutik menghadapi istrinya.
Akmal mengacak rambutnya kasar, dia tidak menyangka Anaya akan sekeras itu. "Apa benar yang dikatakan Naya, kenapa aku begitu bodoh tidak menyadarinya?"
Akmal membuka ponselnya dan memeriksa rekaman kamera tersembunyi di ruangan kantornya. Tangannya mengepal kuat, mendapati apa yang baru saja dilihatnya. Ia lalu menghubungi Bunda Marini.
"Hallo, assalamualaikum, Nak. Tumben malam-malam telepon, tidak ada masalah dengan istrimu, kan?"
"Waalaikumsalam, Bun. Aku cuma mau tanya, benarkah Bunda yang menyuruh Khanza datang ke rumahku?"
"Iya, Bunda yang menyuruhnya datang. Apa dia membuat masalah?"
"Nah itu dia, Bund. Khanza membuat Anaya kesal dan marah." Lalu Akmal menceritakan kejadian di meja makan pada bundanya.
"Pasti ada alasannya kenapa dia marah, perempuan itu sangat peka, Nak. Mungkin dia menangkap sesuatu dari sikap Khanza yang tidak kamu sadari."
"Baiklah, Bun. Selamat malam, maaf sudah mengganggu waktu Bunda, wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, kalau ada apa-apa jangan sungkan kasih tahu Bunda ya, Nak."
"Baik, Bun. Terimakasih" Akmal memutus sambungan telepon.
Ia bergegas turun ke bawah, menemui Khanza. Melihat Akmal turun, Khanza memasang senyum terindahnya.
"Maafkan, aku ya, Kak. Aku tidak bermaksud membuat Kak Naya marah," ucap Khanza memelas.
"Sudahlah, lebih baik kamu masuk kamar dan istirahat. Sekarang sudah malam, kakak juga ingin cepat beristirahat," sahut Akmal.
"Sialan itu perempuan udik! Awas saja, aku pasti akan membalasmu!"" marah Khanza dalam hati.
°
°
°
°
°
Astaga, Akmal yang mau bermanja-manja/Facepalm/