NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26: Kotak dan Pitanya

Kalaupun muncul pertanyaan serupa, sepertinya gak akan mengubah keyakinan gue kalau Dea bukanlah makhluk jahat. Seenggaknya gue meyakini itu sampai saat ini. Saat gue dan dia berjalan menuju area kosong di mana Sulay berada. Walaupun masih belum jam 8 malam, yang namanya pemakaman tentu aja sepi. Dan ... tentu aja gue gak lupa membawa alat yang bisa sedikit meramaikan suasana.

"Itu apa, Do?" tanya Dea ketika gue mengeluarkan speaker bluetooth dari saku.

"Ini speaker, Dea."

Dea diam aja melihat gue yang lagi memutar musik.

"Lagu apa ini?"

Terdengarlah sebuah lagu berbahasa Jepang. Terbayang wajah Naruto di kepala gue.

"Lagu ini pas banget buat Pak Sulay," kata gue sambil ketawa sendiri.

Sampai di area kosong, gue dan Dea baru paham kenapa ini disebut area kosong. Bukan karena gak ada yang mengubur di sini, melainkan banyak kuburan yang dibongkar. Entah apa alasannya, yang jelas karena banyak bongkaran, gue harus hati-hati melangkah. Karena kalau gak fokus, bisa-bisa gue yang kekubur masuk lubang. Tampak Sulay lagi jongkok di samping lubang kuburan itu. Dia kayak lagi merhatiin sesuatu di dalamnya. Mendengar ada suara lagu mendekat, dia segera menoleh ke arah kami.

"Ngapain lo, Do!? Kenapa pake mutar musik segala!?"

"B-biar gak sepi aja, Pak."

Dea berjalan-jalan sendiri, memperhatikan setiap lubang kosong itu.

"Eh, eh, Do! Lihat sini, deh," katanya.

Gue dan Sulay menuju arah telunjuk Dea. Di dalam sebuah lubang kuburan, terbaring seorang gadis kecil yang rambutnya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Badannya kurus banget dan kulitnya kemerahan dengan mata terpejam. Sulay langsung terjun ke dalam lubang itu.

"Ngapain, Pak!?"

Sulay tampak mencari-cari sesuatu di sekitar tubuh itu.

"Jagain gue dari atas, Do."

"J-jagain? Jagain dari apa!?"

Sulay tiba-tiba bersorak ketika tangannya mengantongi sesuatu dengan cepat.

"Nemu apaan, Pak?"

Belum sempat Sulay menjawab, tangan kanannya dipegangi oleh gadis itu! Ternyata dia bukan mayat!

"Pak! Awas, Pak!"

Gadis kecil itu menatap Sulay dengan mata melotot. Bola matanya jadi kelihatan gede banget karena pipinya yang kurus.

"Kembalikan!" katanya pada Sulay.

Sulay malah tersenyum, dan gak lama gadis kecil itu melepaskan cengkramannya dari tangan Sulay sambil teriak kesakitan. Muncul sedikit asap hitam dari tangan kanan Sulay. Dengan sekali lompatan, Sulay keluar dari lubang itu.

"Misi selesai, Do. Kita balik ke kantor."

"Lho? Katanya mau nyari spirit ngamuk?"

Sulay sudah jalan duluan aja. Di samping gue, Dea dari tadi cuma diam sambil menatap gadis kecil itu.

"Dea? Kamu kenapa?"

"Sulay jahat, Do. Dia jahat!" katanya tanpa menatap gue.

"Hah!? Jahat gimana?"

Dea mendekati gadis kecil itu yang kembali terbaring lemah. Dia merintih kesakitan sambil memegangi tangannya. Terlepas dari penampilannya yang mirip hantu, tetap aja dia itu seorang gadis kecil. Melihatnya mau nangis, gue jadi gak tega.

"Dia ini siapa?" tanya gue.

Dea menatap gue.

"Dia yang kalian cari, Do. Dia spirit yang dicari Sulay."

"Hah!? Dia bukan manusia!? T-tapi, kan katanya ... spirit ngamuk!?"

Dea mengeluarkannya dari lubang, meniup tangannya dengan sedikit asap merah hingga gadis kecil itu berhenti merintih.

"Terima kasih, Ra—"

Belum sempurna kalimatnya ketika Dea membantunya berdiri.

"Sekarang kamu mau apa?" tanya Dea.

"Saya mau mengambilnya kembali," sahutnya.

Gue jadi satu-satunya yang gak tahu apa yang terjadi. Apa Sulay ngelakuin suatu hal gak baik, ya? Masa iya, sih? Gue melihat Sulay sudah mau nyampai gerbang. Kayaknya gue harus nyusul dia, deh buat nanya langsung.

"Dea, aku nyusul Pak Sulay, ya."

Dea tiba-tiba menahan tangan gue.

"Do, aku harap kamu tahu harus berbuat apa nantinya."

Dea dan gadis itu berubah menjadi asap dan terbang ke udara hingga memudar. Di depan gerbang, Sulay lagi sibuk dengan HP-nya. Kayaknya dia lagi menelepon seseorang. Di depan gerobak es krim yang tadi ngasih Dea es krim gratis, terparkir sebuah mobil. Dari balik kacanya yang terbuka separuh, sepasang cowok dan cewek tampak lagi ngobrol sambil makan es krim.

Speaker bluetooth gue yang dari tadi bunyi dan memainkan lagu-lagu secara acak, kebetulan sedang memainkan lagunya "Terjebak Bersama" dari The Rain. Band favorit gue. Ketika melihat cewek itu, gue jadi teringat sama Mery. Mungkin karena sama-sama pakai kacamata. Dan ketika mendengar lirik lagunya, gue jadi terbayang wajah Dea. Mungkin karena gue dan Dea terjebak oleh sebuah kontrak yang ada di kaki gue ini. Sulay mengantongi HP-nya ketika gue mendekat.

"Mana Dea!?"

"Hilang, Pak. Jadi asap."

Sulay langsung mengusap mukanya sendiri.

"Kenapa lo biarin!? Kan udah gue bilang awasin dia terus!? Gimana, sih lo!"

"Y-ya ... m-mohon maaf, Pak."

"Kita langsung ke kantor dulu aja, deh. Yang penting misi sukes dulu."

Hampir tengah malam, mungkin jam 11 ketika kami sampai di kantor. Yang bikin perjalanan lama bukan karena jaraknya atau kecepatan motor gue, melainkan karena banyak gangguan di jalan. Lebih parah dari tadi sore.

"Gara-gara lo, nih kita jadi kemalaman!"

"Mohon maaf, Pak ... gue, kan kaget ngelihat banyak orang-orang aneh di jalan."

Bukannya menuju ruangan si Bos atau ruang informasi seperti yang gue duga dari tadi, langkah Sulay ternyata menuju ruang medis. Di dalam, Kak Kila bersama dua cewek berbaju putih sedang berdiri di depan seorang gadis kecil yang terbaring lemah.

"Maaf lama nungguinnya, ya," kata Sulay.

Agak aneh mendengar Sulay minta maaf.

"Tapi beneran dapat, kan?" tanya Kak Kila yang saat ini kelihatan lebih ramping dari sebelumnya.

Sulay mengeluarkan sebuah sisir kecil dari sakunya dan menyerahkannya pada Kak Kila. Gadis kecil yang terbaring itu tersenyum lemah. Sulay duduk di sebuah kursi dan kembali sibuk dengan HP-nya. Dua asisten Kak Kila mempersiapkan peralatan-peralatan yang gue duga adalah peralatan bedah. Mau ada apaan, nih!?

"Mohon m-maaf ... ini ada apaan, ya?"

Kak Kila menatap gue, menatap Sulay lalu menatap gue lagi.

"Mas gak dikasih tahu, ya?"

Gue menggeleng. Kak Kila menatap Sulay lagi.

"Eh, Do. Katanya Mery nyariin lo dari tadi. Coba lo temuin dia di kantin, deh," kata Sulay.

"Emang iya, Pak?"

"Buruan, deh. Nanti dia marah mampus lo," kata Sulay.

Iya juga, ya. Daripada bikin Mery marah, mending gue ke sana aja daripada gue di sini gak ngerti apa-apa. Memasuki kantin, gue kaget karena ada dekorasi merah muda di mana-mana. Aneh banget, biasanya, kan cuma ada hitam-putih.

Di depan kedai Mery, tertulis sebuah kalimat promosi yang menginformasikan bahwa ada racikan kopi spesial. Di balik meja seduhnya, agak ngagetin mata melihat Mery pake celemek merah muda! Kombinasi baju hitamnya dan celemek merah muda bikin gue gak berkedip.

Karena lagi banyak pelanggan dan gak mau gangguin dia, gue sengaja nyari tempat duduk yang dekat galon air putih biar gak mencolok. Gue iseng buka Instagram dan melihat Instastory Naya lagi megang banyak cokelat dan ada satu boneka berbentuk gelas merah muda.

Walau blur, gue yakin ada sepucuk surat di antaranya. Dan kayaknya itu sebuah pemberian dari seseorang. Gue jadi merenungi sebuah kenangan, di mana gue yang miskin ini gak pernah bisa ngasih dia hadiah-hadiah kayak gitu. Secangkir kopi cappucino yang mendarat di depan gue sukses bikin gue hampir jantungan.

"Jauh banget, sih nyari tempat duduk," kata Mery setelah menaruh kopi di depan gue.

"Eh ... i-iya. Kaget gue."

Mery duduk di depan gue, kedua tangannya menopang dagu saat menatap gue yang cuma berani menatap kopi itu.

"Lo kalau gak minum, lo parah, sih. Itu spesial, tahu!" katanya.

Gue diam aja sambil senyum kaku.

"Do, lo kenapa, sih mikirnya gue pengin duit lo tiap kali gue bikinin kopi?"

"Y-ya ... lo, kan jualan. D-dan ... gue gak punya duit."

Mery malah senyum kecil. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

"A-apa, nih?"

"Buat lo."

Itu adalah sebuah kotak kecil berwarna merah muda dengan pita hitam.

"Selamat Hari Valentine," katanya.

Sambil tersenyum, gue pengin membuka kotak itu tapi Mery memegangi tangan gue.

"Wah, lo gila, Do. Kopi spesial gue gak diminum tapi mau buka hadiah aja."

Jadinya, sambil ketawa-ketawa gue minum kopi cappucino spesial buatan Mery hari ini. Manis banget sampai ngalahin pahitnya kopi.

"Manis, kan? Kayak gue?" katanya.

"I-iya ... manis banget."

Saat gue dan Mery berpandangan sambil ketawa-ketawa, semua lampu berkedip hebat sampai hampir padam. Sebuah aroma bunga mawar menusuk hidung gue. Dari kaca besar di depan tempat cuci piring, segumpal asap merah keluar dari sana dan memecahkan kacanya dengan keras.

Berdirilah sosok Dea yang langsung menarik perhatian semua orang. Gue dan Mery langsung berdiri dari kursi. Mery berlindung di belakang gue ketika Dea mendekat. Tangan Mery memegangi bahu gue. Gue merasa tangannya gemetaran.

"Antar aku ke tempat Sulay," kata Dea.

Dia kemudian melihat secangkir kopi dan sebuah kotak berpita di atas meja, lalu menatap Mery.

"Ngapain pegang-pegang bahu Mardo!?"

Mery menatap gue. Bibirnya gemetaran. Secara gak diduga Dea meminum kopi bikinan Mery.

"Kopi apaan, nih!? Kemanisan!"

Dea numpahin isinya di depan kami. Gue melihat mata Mery memerah.

"Dea!"

Dengan kecepatan yang gue sendiri juga gak percaya, gue menebas Dea! Gue mengenai beberapa helai rambutnya karena dia jauh lebih cepat menghindar.

"Mardo! Apa-apaan, nih!?" katanya dengan kesal.

"Bikin kopi gak gampang, tahu!" sahut gue.

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!